Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padi varietas sunggal berumur hampir dua bulan menghampar di sawah seluas satu hektare. Kolam-kolam lele bersanding dengan lahan itu. Sumur-sumur bor ada di sekitar persawahan—untuk membasahi tanah. Padi itu sebagian besar menggunakan pupuk organik dan pestisida alami.
Pupuk tersebut, menurut Miftahul Abdurrakhman, menggunakan campuran telur, madu, susu, gula pasir, dan mikroorganisme lokal untuk memenuhi kandungan kalium. Untuk mendapatkan kandungan natrium dan fosfor dalam pupuk, ia menambahkan 30 persen pupuk kimia jenis NPK. Pestisidanya berasal dari campuran tembakau, cabai, bawang merah, dan kulit pohon mahoni.
Miftahul, 30 tahun, menyulap lahan bekas kebun tebu di kampungnya itu menjadi sawah produktif. Sejak 2017, pemuda Kampung Glondong, Dusun Bibis, Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu membersihkan sisa-sisa tunas tebu yang menancap di sana sejak 20 tahun lalu.
Dalam bertani, Miftahul menggunakan teknologi modern. Ia menyewa transplanter atau alat penanam padi dari kelompok tani di Bantul. Dibanding menggunakan buruh tandur, penanaman dengan mesin transplanter lebih hemat dan cepat. “Lagi pula, buruh tandur sekarang juga makin langka,” kata Miftahul di rumahnya, Kamis, 23 Mei lalu.
Di sawah seluas satu hektare, misalnya, Miftahul bisa merogoh uang dari Rp 3,5 juta sampai Rp 4 juta bila menggunakan tenaga manusia, sudah termasuk benih. Sedangkan dengan transplanter, biaya yang dia butuhkan hanya Rp 3 juta, juga sudah termasuk benih. Benih padi yang ditanam dengan mesin transplanter juga lebih muda sehingga menghasilkan lebih banyak anakan. Dengan sentuhan teknologi itu, Miftahul kini mampu memanen 7 ton gabah kering per hektare. “Setelah digiling, jadi tiga ton beras,” ujarnya.
Anggota kelompok tani Manunggal Pleret, Bantul, Muhammad Saefudin, mengatakan mesin yang beroperasi sejak dua tahun lalu itu dijalankan untuk menarik kalangan muda agar mau bertani. Mesin tersebut diperoleh dari bantuan Dinas Pertanian Bantul yang dikelola kelompok tani. “Tapi petani-petani sepuh masih kesulitan karena rumitnya pengoperasian mesin,” tutur Saefudin.
Tidak banyak pemuda di Bantul yang mau bertani seperti Miftahul kendati sudah ada teknologi modern pertanian. Miftahul baru mulai bertani dua tahun lalu. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, itu membongkar tabungan pribadi dan meminjam dari sana-sini untuk modal awal sebesar Rp 40 juta. Duit itu dipakai buat menyewa dan mengolah lahan, membeli benih dan pupuk kompos, serta untuk perawatan. Percobaan pertama itu langsung gagal. “Saya teledor merawat sawah,” katanya. Baru pada panen musim ketiga, atau September-Oktober 2018, modal itu balik.
Tidak seperti kebanyakan petani yang selesai bekerja saat gabah terjual, Miftahul memilih menggiling gabahnya sendiri. Beras-beras itu dia jajakan lewat akun Facebook. Ia mematok harga Rp 10 ribu per kilogram. “Jangan jual terpaksa. Petani harus paham pertanian dari hulu sampai hilir agar tak merugi,” ujar pemuda yang juga beternak lele ini.
Miftahul termasuk petani yang jeli. Dia benar-benar memanfaatkan momen Ramadan dan Lebaran. Beras-beras itu dia bungkus dalam kemasan kecil, 2,5 kilogram, seukuran beras zakat fitrah. Kemasan plastik itu dia sablon dengan ucapan “Selamat Idul Fitri” berkelir hijau. “Stok masih aman sampai Lebaran,” katanya, berpromosi.
Kini Miftahul sudah menuai panen kelima dari satu hektare lahan yang dia sewa. Dalam sekali panen, dia bisa untung Rp 8-10 juta. Miftahul ingin berekspansi. Tapi dia kesulitan mencari lahan.
Shinta Maharani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo