ADA kabar baik buat PT Krakatau Steel. Menurut Menko
Ekuin/Ketua Bappenas Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, India sudah
menyatakan minat untuk membeli sejumlah besar besi spons dari
pabrik baja di Cilegon, Jawa Barat. Pernyataan itu dikemukakan
oleh Prof Widjojo pekan lalu, dalam perjalanan pulang dari New
Delhi, ibukota India, bersama rombongan Presiden Soeharto.
Tak dijelaskan oleh Menko lkuin Widjojo, kapan kiranya
kapal-kapal mulai mengangkut besi spons dari pelabuhan Cigading,
yang terletak dikompleks Krakatau Steel yang 2.300 hektar itu.
Tapi pernyataan yang keluar dari Prof. Widjojo itu bisa
dipastikan akan membuat lega Dir-Ut PT Krakatau Steel Ir. Tunky
Ariwibowo.
Besi spons, yang di kalangan industri dikenal sebagai
adalah bahan baku untuk membuat baja. Termasuk salah satu
produksi Krakatau Steel yang berhasil, besi spons itu kabarnya
sulit untuk dijual. "Sekarang banyak menumpuk di Cilegon," kata
sebuah sumber Krakatau Steel baru-baru ini kepada TEMPO .
Menurut rencana, di akhir 1979 Krakatau Steel menghasilkan
500 ribu ton besi spons. Sedang di tahun 1980 ini, produksi besi
spons diperkirakan mencapai dua kali jumlah itu. Adapun pabrik
besi spons di Krakatau Steel memiliki kapasitas produksi
sebanyak 2 juta ton serahun.
Sampai sekarang banyak kapasitas yang masih berlebih di
Krakatau Steel: selain besi spons, juga billet -- bahan baku
untuk membuat besi baja berbentuk segi empat--dan wire rod,
yakni bahan baku untuk membuat berbagai jenis kawat. Masih
banyak lagi produksi jenisjenis besi dan baja yang belum
mencapai sasaran produksi sepenuhnya di Krakatau Steel. Itu
diakui oleh Dir-Ut Ariwibowo sendiri, ketika menerima Menteri
Perindustrian A.R. Soehoed, di cilegon pertengahan November
lalu.
Tapi yang agaknya paling merisaukan para pejabat itu adalah
tersiarnya berita bahwa Krakatau Steel yang sekarang menderita
rugi yang bukan kepalang. Seperti diungkapkan koran Sinar Pagi,
sejak tahun 1977 sampai dengan enam bulan pertama 1980, PT
Krakatau Steel menderita rugi Rp 350 milyar (US$ 560 juta).
Adapun sumbernya disebutkan berasal dari laporan kantor akuntan
terkenal Price Waterhouse dan dari Akuntan Negara.
Alkisah, laporan dari Price Waterhouse dan Akuntan Negara
itu menyebutkan bahwa di tahun 1977 pabrik itu direncanakan
merugi sebanyak Rp 7,6 milyar Tapi nyatanya kerugian yang
diderita jauh lebih bcsar Rp 18,6 milyar.
Setahun kemudian pabrik yang dipimpin Dir-Ut Ariwibowo itu
memperkirakan akan mengidap rugi Rp 7,9 milyar, tak jauh berbeda
dari yang direncanakan pada 1977. Tapi dalam praktek kerugian
itu membengkak menjadi Rp 52,9 milyar. lalu di tahun 1979, lebih
dahsyat lagi rcncana rugi adalah Rp 40,8 milyar, tapi kenyataan
rugi mencapai Rp 87 milyar.
Anehnya, rencana kerugian seperti dikemukakan pihak akuntan
itu, semakin- besar saja. Maka pada 1980, kerugian pun
direncanakan bakal mencapai Rp 158,6 milyar. Tapi dalam enam
bulan pertama tahun l980 saja, proyek besi baJa yang masih
banyak menganggur itu sudah merugi Rp 88,3 milyar. Kerugian
selama dua kuartal itu, katanya, adalah berdasarkan laporan
direksi, dan belum diperiksa oleh Akuntan Negara.
Cacad Bawaan
Kalau benar sampai begitu besar kerugiannya, pabrik besar
itu masih saja merupakan suatu gajah nganggur (whiteelephant).
Santoso Donoseputro, wakil ketua Komisi Vl DPR, dalam sebuah
percakapan dengan TEMPO baru-baru ini mengibaratkan PT Krakatau
Steel bagaikan seorang penderita penyakit "waterhoofd" --suatu
cacad bawaan yang biasanya diderita oleh anak kecil yang
berkepala besar.
Kalau sinyalemen yang dikemukakan oleh Santoso itu benar,
bisa dipastikan pabrik itu tak akan panjang usia. Tapi syukurlah
Menteri Perindustrian A.R. Soehoed cepat-epat menjelaskan duduk
soalnya, di depan Komisi VI DPR yang membidangi masalah Energi
dan Penanaman Modal, 2 Desember. "Itu har.ya merupakan perkiraan
rugi-laba yang dibuat oleh akuntan," katanya. Sedang ditinjau
dari segi masuk keluarnya uang sesuai dengan arus-kas
(cash-flow), menurut Soehoed, pabrik baja komplit (integrated)
itu berjalan baik. "Krakatau Steel bukan sekedar pabrik saja,
tapi merupakan suatu pusat pengembang an prasarana," kata
Soehoed.
Menurut Soehoed, beban investasi prasarana kira-kira sama
besarnya dengan investasi yang mengalir ke unitunit produksi.
Dengan kata lain, Menteri Perindustrian itu ingin berkata,
Adalah tidak pada tempatnya kalau investasi di bidang prasarana,
seperti pelabuhan dan jalanjalan dimasukkan dalam perhitungan
untungrugi. "Jumlah kerugian seperti diungkapkan dalam koran
bukan kerugian yang sebenarnya, rapi kerugian karena faktor
biaya penyusutan," katanya.
Bisa Menggelembung
Mendukung kcterangan rekannya, Menteri PAN/Wakil Ketua
Bappenas J.B. Sumarlin tak lupa memberikan contoh prasarana PLTU
yang sebagian besar masih dibiarkan tak terpakai. Kelima PLTU
yang dibuat perusahaan Jerman Siemens AG, sebagai proyek
serah-kunci (turn-key) itu berjumlah 400 MW. "Tapi yang terpakai
baru sekitar 80 megawatt (MW)," kata Sumarlin.
Sebuah sumber yang mengetahui tak membantah, banyak proyek
prasarana di Krakatau Steel yang kini masih menganga. Tapi
menurut sumber itu kerugian sebanyak Rp 350 milyar itu tidak
termasuk perhitungan biaya prasarana. "Itu melulu dilihat dari
kegiatan unit-unit produksi," katanya.
Bicara soal banyaknya uang yang sudah tertanam dalam proyek
baja itu, sumber TFMPO itu memperkirakan tak kurang dari UU$ 2.7
milyar. "Itu termasuk penyelesaian seluruh tahap 1, termasuk
kegiatan dalam tahun ini," kan-nya.
Kalau diperhitungkan penanaman dalam tahap II, jumlahnya
"bisa kembali menggelembung sampai di atas US$ 3,5 milyar," kata
sumber tersebut. Beberapa pengamat merasa was-was juga melihat
besarnya uang yang disedot ke dalam proyek itu. "Apalagi kalau
ke-4 tahap jadi dilaksanakan," kata seorang pejabat Krakatau
Steel di Jakarta. Pembagian investasi dalam empat tahapan itu,
yang dikerjakan oleh perusahaan Kaiser Engineering dari AS, juga
dikenal sebagai Master Plan PT Krakatau Steel. Dan sudah selesai
dikerjakan pada akhir 1976.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini