SEKARANG lagi musimnya orang-orang asing mengerahkan tenaga penggali di berbagai pelosok Indonesia. Mereka benar-benar mengharapkan hasil dari lubang-lubang berpeluang emas -- dalam arti kata yang sebenarnya. Sudah 34 perusahaan diteken kontrak karyanya sejak akhir tahun lalu. Dan masih 60 perusahaan lagi yang antre untuk ikut menggali. Maklum, logam mulia hasil penambangan itu, sejak September tahun lalu sudah bisa diekspor. Harganya dapat lebih tinggi dari US$ 13.000 per kg. Izin penambangan tidak lagi hanyn untuk memenuhi pasaran dalam negeri. Ditambah lagi, permintaan di luar negeri rupanya masih kurang. Rupanya, produsen emas terbesar, Afrika Selatan yang mencapai 80% produksi dunia itu lagi kena embargo banyak negara, seperti Amerika dan MEE. Tak ayal lagi Indonesia, yang terkenal kaya sumber alamnya, lantas seperti menjadi tempat perburuan harta karun. Kekuatan ekspor Indonesia sudah dibuktikan oleh lebih dari sepuluh perusahaan, antara lain PT Gatra Pentamartia, PT Closal, CV Mas Paris. Sejak Oktober 1986 sampai dengan Februari lalu ekspor mereka keseluruhan rata-rata 328 kg ke Singapura dan Hong Kong. Paling tinggi terjadi Maret, mencapai 1.404,56 kg, dengan nilai US$ 16.150.731. Sebagian besar dilakukan oleh PT Gatra Pentamartia: 550 kg. Lain halnya dengan PT Aneka Tambang yang sampai kini baru mengekspor 5 kg ke Jepang, meskipun mengetahui harga ekspor lebih baik ketimbang dalam negeri. "Orientasi kami bukan ekspor, kok," kata Purba Situmorang, Kepala Biro Humasnya. Dalam keadaan harga emas sangat fluktuatif sehari bisa ganti harga sampai dua kali kebutuhan dalam negeri tetap perlu diperhatikan. Meskipun produksi meningkat dari 2.619,1 kg pada 1985 menjadi 3.283,1 kg tahun lalu. PT Lusang Mining, yang mulai menghasilkan April tahun lalu, juga belum tergoda oleh pasar yang menggairahkan itu. Perusahaan yang menambang emas di Bengkulu ini lebih suka menjual ke Aneka Tambang dalam bentuk bullion (konsentrat emas yang masih mengandung mineral, tembaga, dan perak). Hasil emasnya tahun lalu, menurut Gerry Mbatemooy, salah seorang direktur Lusang Mining, adalah 356,6 kg. Tahun ini diperkirakan naik menjadi 550 kg, sedangkan tahun depan proyeksinya mencapai 1,1 ton. Sebenarnya, ada juga kemungkinan mengekspor hasil tambangnya itu. "Tapi itu berarti meniadakan fungsi Aneka Tambang yang punya alat pemurnian logam," kata Mbatemooy. Untuk ekspor seperti itu emasnya perlu sertifikat dulu dari Aneka Tambang, yang menyatakan minimal berkadar 99,95% emas murni. Sedangkan standar emas murni Indonesia mencapai 99,98%. Lusang Mining, perusahaan patungan Indonesia-Australia, sudah mendahului pemburu emas lainnya. Sayapnya sudah melebar dengan tujuh perusahaan pertambangan emas dan dua penambangan batu bara. Ara Tutut di Aceh, yang sebenarnya sudah dimulai bersamaan dengan Lusang Mining, produksinya tertunda sampai Juli 1988 karena ada masalah teknis yang belum diselesaikan. Padahal, dana yang sudah tersedot ke situ US$ 9,8 juta sejak 1980. Nusa Lontar Mining di NTT, tutur Mbatemooy, sudah memulai pengeborannya. Selebihnya di NTB, Sumatera Barat, dan Maluku, masih dalam tahap eksplorasi yang bisa makan waktu sepuluh tahun -- sebelum menghasilkan emas. Perburuan emas diramaikan juga oleh masyarakat di lokasi penambangan, seperti di tengah rimba Mongondow, Sulawesi Utara. Sekitar 12 ribu jiwa mengadu nasib dengan menggali, sementara mesin-mesin diesel menderu mengolah tanah galian yang sudah dicuci, dalam lahan 250 ha yang sudah dikapling-kapling. Perusahaan Daerah (PD) Gadaresa yang menyewakan kapling-kapling seluas 72 m2 dan 150 m2 itu. Tarif per m Rp 3.500 dalam jangka setahun. Pekerja di situ dalam seminggu bisa mengantungi Rp 100 ribu (TEMPO, 25 April 1987). Tetapi tidak semua penambang partikelir seperti itu bernasib baik. Contohnya, penambang yang kemudian menjadi pekerja di tambang milik Gerry Mbatemooy. Katanya, mereka kebanyakan bekas penambang yang terjerat utang kepada para tengkulak emas, yang sebelumnya mengiming-imingi uang untuk pembelian dengan sistem ijon. "Ada yang utangnya sebesar tiga kilogram emas murni," ujar Gerry Mbatemooy. Yang jelas, pendulangan rakyat seperti itu sulit diketahui hasilnya. Di Pontianak, misalnya, Aneka Tambang pernah menerima permintaan pemurnian emas yang -- tercatat -- mencapai 60 kg sebulan. Ini sebuah prestasi yang tak terduga. Memang, banyak lokasi yang mengandung emas. Tak heran bila para pemburu emas perusahaan asing, yang padat modal itu, mengajukan permohonan penambangan. Biaya eksplorasinya saja lebih dari US$1,5 juta. Padahal, penggalian makan waktu lama, dan tak ada yang menjamin suatu lubang menghasilkan. Sehingga, para bankir banyak yang enggan mengambil risiko memberi kredit untuk usaha semacam itu. Gerry Mbatemooy pun bisa mendapat kredit justru dari luar negeri. Penambangan yang penuh risiko ini, kendati hasilnya baru kelihatan 5-10 tahun mendatang, banyak yang berani bertaruh. Kapan lagi, mumpung harga emas masih berkilau. Suhardjo Hs., Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini