Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gara-gara visa

Persaingan antar bank, BII, BCA, bank duta & citibank kian tajam. pemegang visa card bii hanya dikenakan komisi 2% khususnya pedagang. BCA berani menurunkan 1%, kartu kredit dapat melancarkan perdagangan.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEBOH kartu kredit Visa kini mulai reda, tapi ada apa sebenarnya? Uang plastik yang paling populer di Jakarta itu dikeluarkan oleh empat bank besar: BCA (Bank Central Asia), Bank Duta, Citibank, dan BII (Bank Internasional Indonesia). Kabarnya, ada delapan bank lagi yang bersiap-siap menawarkan pelayanan serupa. Laris, memang. Dengan Visa, pemegang kartu ini boleh berbelanja -- ke berbagai pihak -- termasuk beli tiket penerbangan dan menginap di hotel dengan kredit berjangka 30 hari. Dananya akan ditagih pada bank yang mengeluarkan kartu kredit. Bank melunaskannya 2-3 hari kemudian, dengan meminta komisi (discount rate) yang berkisar 2,5%-3%. Dari hasil komisi inilah para pengusaha kartu kredit --termasuk Visa -- menghidupi usahanya. Tapi BII, yang baru masuk dalam bisnis Visa Card sejak awal tahun ini, ternyata menarik komisi hanya 2%-2,5% dari pedagang. BII pun mengistimewakan pedagang, misalnya dengan kredit untuk perluasan toko. Bahkan kredit individu (rumah atau mobil) juga ditawarkan kepada pemilik toko dan karyawannya, asalkan bersedia menerima pembayaran dengan kartu Visa BII. Hebatnya lagi, ada petugas BII yang ditempatkan di toko-toko penerima Visa. Begitu toko tutup, seluruh tagihan kabarnya langsung dibayar tunai. Nyata benar bedanya dengan bank lain yang baru membayar 2-3 hari kemudian. Makhluk mana yang tak tergoda? Kiat bank kelompok Bimoli itu mendorong pedagang untuk membuat sales draft alias tagihan seluruh pelayanan Visa pada BII. Tentu, ada saja yang mengunjukkan kartu Visa keluaran bank lain, tapi, demi kelancaran, BII akan menagih kepada bank-bank tersebut (Bank Duta, BCA, atau Citibank). Praktek ini, ternyata, diperbolehkan perusahaan Visa International dari AS. Visa juga menetapkan, bank yang menerima sales draft akan menagih kepada bank yang mengeluarkan kartu kredit. Kendati demikian, cara BII merebut pedagang bisa dianggap merugikan bank lain. Bank Duta merasa omset penerimaannya -- dari sekitar 50.000 pemegang kartu Visa -- merosot. "Kami sudah direcoki," kata Pudji Sumanto, Manajer Operasional Visa Bank Duta. Cara BII membawa uang tunai langsung kepada pedagang juga dikritik Willy Santoso, pimpinan Pusat Kartu Kredit di BCA. "Itu kan tak benar. Bank seharusnya mendidik masyarakat agar tak membawa uang tunai," kata Willy. Bank-bank yang dirugikan segera membalas aksi BII. Ada yang mendekati pedagang untuk menolak Visa BII. BCA pun ikut mengancam. "Kalau persaingan jor-joran ini berlangsung terus, bank kecil akan mati. BCA berani menurunkan discount rate sampai 1%," kata Willy. Ryza J. Adam, Direktur Operasional BII, tenang-tenang saja. "Itu soal pelayanan saja," kata Ryza, yang baru dua bulan di BII, setelah 16 tahun berkarier di Chase Manhattan Bank. Ia membenarkan, BII hanya minta komisi 2%. "Itu kami lakukan pada nasabah inti BII. Ini kan sama saja dengan persaingan bank-bank merebut deposito," kata lulusan FE UI 1967 itu. Perihal layanan ekstra untuk pedagang dan anak buah mereka sejak dulu sudah dirintis. Dan BII memang aktif juga di bidang pelayanan kredit individu. Belanjaan yang dibiayai dengan kredit Visa BII kini berkisar Rp 5 milyar sebulan. "Paling banyak di sektor biro perjalanan dan hotel," kata ibu dua anak ini. Lepas dari persaingan itu, kartu kredit ternyata meningkatkan perdagangan. "Dulu orang berbelanja hanya pada hari gajian. Sekarang bisa setiap hari," kata R. S. Sadono Brodjolukito, Direktur PT Ratu Sayang International, yang mengelola pusat pertokoan Ratu Plaza. Sadono melihat bahwa toko-toko juga lebih senang menerima kartu kredit daripada cek. "Kalau ada transaksi besar, mereka tinggal tanya ke bank lewat telepon. Bila bank bilang oke, penjualan pun jalan," katanya. Tapi masih ada satu masalah lagi, yakni setiap bank menginginkan pemakaian mesin otorisasi dan pencetak sendiri-sendiri. Ini merepotkan kasir untuk mengecek pemegang kartu yang masuk daftar hitam (daftar orang-orang yang senang belanja tapi tak mau melunasi tagihan bank).Max Wangkar, Moebanoe Moera, Budiono Darsono, Sidartha P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum