NASIB pasar si roda dua ternyata tak lebih baik dari si roda empat, yang tengah dilanda lesu darah. Lihat saja angka produksi tahun lalu, cuma 260 ribu buah setahun alias 30% dari kapasitas terpasang yang tersedia, 780 ribu unit. Kenapa? Kejadian sejak tiga tahun lalu ini memang tidak hanya disebabkan menurunnya daya beli. Tapi ada juga faktor lain yang tak kalah besar pengaruhnya. Misalnya meningkatnya pendapatan masyarakat yang biasa menggunakan sepeda motor. Setelah sepeda motornya dianggap tidak efisien lagi, kini mereka -- konsumen maksudnya -- tidak lagi melirik sepeda motor yang baru. Tapi lebih suka membeli mobil. Tentu saja, sesuai dengan kemampuan kalangan menengah, mobil yang dipilih (kebanyakan) dari kelas komersial, seperti Kijang dan minibus. Apalagi penjualan mobil jenis ini sedang diramaikan dengan sistem obral. Maka, konsumen yang punya uang pas-pasan pun, dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan -- seperti sistem cicilan tanpa bunga -- mampu membeli mobil. Akibatnya, ya itu tadi, sepeda motor jadi seret lakunya. Ambil saja Vespa. Pada tahun 1986, skuter Italia yang diproduksi PT Danmotors Indonesia ini bisa terjual 29 ribu buah atau rata-rata 2.400 buah per bulan. Tapi awal tahun ini menurun, seperti penjualan April lalu, hanya tinggal 533 buah. Bagaimana tidak turun, "kalau mahasiswa saja sekarang sudah banyak yang pakai mobil," kata Hans Tabaluyan, Dirut Danmotors. Memang, di masa jayanya, sampai di tahun 1970-an, Vespa masih termasuk kendaraan yang bergengsi di berbagai kota besar, juga di mata cewek. Tapi sekarang? Menurut Hans, pasar Vespa sudah bergeser ke kota-kota kabupaten. Maka, kota-kota besar tak lagi jadi andalan. Betul, konsumen di daerah perkotaan pun masih ada, "tapi mereka dari kalangan konsumen yang lebih rendah lagi penghasilannya," ujarnya. "Ya..., seperti dari kalangan gurulah," ucap Angky Camaro, Manajer Pelaksana Suzuki Group. Seperti halnya Vespa, dengan menukiknya penjualan, perakitan Suzuki pun tak lagi bisa mengecap untung. Bagaimana tidak, kalau produksinya, seperti tahun lalu, hanya 4 ribu unit. Atau hanya 40% dari kapasitas terpasang, yakni 10 ribu unit sebulan. Yang mujur, kendati masih di bawah omset Suzuki, adalah Yamaha. Dengan memasarkan jenis sport dan bebek, penjualannya terus menaik (30 ribu unit pada tahun 1986, menjadi 43 ribu unit pada tahun lalu). Sayangnya, "Angka itu masih jauh di bawah titik impas," kata Sutrisno, Direktur PT Harapan Sakti Motor, yang merakit Yamaha. Itulah sebabnya, untuk menutupi biaya produksi, para perakit sepeda motor melakukan berbagai diversifikasi usaha. Suzuki, misalnya, untuk menghindarkan PHK, mengaryakan para pekerjanya pada perakitan mobil. Sementara itu, perakitan Yamaha sudah lama menerima pekerjaan membuat komponen barang-barang elektronik, seperti pengepresan body setrika listrik atau rice cooker. Begitu juga perakit Vespa. Danmotors belum lama ini berunding dengan sebuah perusahaan Amerika untuk memproduksi berbagai komponen kompresor. Hasilnya? "Lumayanlah, untuk menutupi biaya operasi," kata Hans. Bagaimana dengan Honda? Merk yang memimpin pasar sepeda motor ini pada 1986 mampu menjual 162 ribu unit, tapi tahun lalu tinggal 136 ribu. Dan PT Federal Motor (perakit Honda) pun tampaknya tak mau kalah dalam soal diversifikasi usaha. Menurut Ridwan Gunawan, Direktur Operasi Federal, perusahaannya mengeluarkan investasi Rp 2 milyar untuk diversifikasi. Dengan modal tambahan itu, kini Federal tak hanya memproduksi sepeda motor. Tapi juga sepeda, komponen plastik untuk industri elektronik, kaca spion mobil, helm, boks televisi, hingga komponen kloset. Hasilnya, "Tak hanya melancarkan cash flow, tapi juga mendatangkan keuntungan," kata Ridwan.BK, BD, MBSM, SP, LPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini