Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Main aki di inggris

Pabrik aki exide europe, inggris, terus rugi. kendati ditawar sejumlah perusahaan eropa, akhirnya jatuh ke tangan pt sapta, milik keluarga sofyan wanandi. setelah australia, giliran pasaran di AS dilirik.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak yang tahu, barangkali, pada 5 Mei lalu satu transaksi terjadi di Dagenham, sebuah kawasan industri di pinggiran London, Inggris. Sebuah pabrik aki berusia 75 tahun pindah tangan hari itu. Pemilik barunya adalah jagoan aki Indonesia, Sofyan Wanandi. "Itu kami lakukan sebagai pijakan pertama untuk menyambut pasar tunggal Masyarakat Eropa di tahun 1992," katanya. Exide Europe, pabrik itu, agaknya lagi babak belur. Tahun lalu mereka merugi 2,5 juta uang Inggris. Penjualannya pun anjlok 25 persen. Konon, sudah 10 tahun Exide tak mencatat laba. Melihat gelagat buruk begitu, Chloride Group, pemiliknya, ingin melepaskan beban yang terus menggerogoti saku mereka. Maka, kabar penjualan Exide Europe terembus sejak November tahun lalu. Berita inilah yang tercium oleh Sofyan. Mendengar ada pabrik aki sedang grogi, apalagi di salah satu negara ME, ia segera saja melakukan kontak-kontak. Justru yang begini inilah yang dicarinya. "Yang penting kan pasarnya," kata Sofyan. Dia tak sendirian. Varta dari Jerman Barat, CEAC milik Prancis, dan beberapa pembuat aki lain di Eropa pun berminat. Tawaran yang masuk juga bersaing ketat. Bahkan pabrik aki Eropa itu berani menawar jauh lebih tinggi dibanding Sofyan. Maka ketika kabar itu pecah: Exide Europe jatuh ke tangan orang Indonesia, Inggris pun terkejut. Exide akhirnya dijual US$ 26,5 juta (sekitar Rp 45 milyar) ke PT Sapta, peusahaan milik keluarga Wanandi. Sebenarnya, tak semuanya dirogoh dari kantung Sapta. Ada dua perusahaan Inggris lain yang ikut serta: 15% dari kocek Porter Investment, sementara 35% dicari Sapta dari Modal Ventura milik Alan Patricoff. Sapta memang sangat berminat memperpanjang napas pabrik itu. "Kalau Varta dan yang lain itu malah ingin menutup pabrik di Dagenham," kata Dirut PT Sapta, Edward Wanandi, adik Sofyan paling bontot. Buat ukuran Eropa, Exide yang punya 600 pegawai memang tak layak lagi diurus. Maka, yang diincar oleh para peminat itu hanyalah pasar Exide dan jaringan penjualannya yang No. 2 terbesar di Eropa. Itu sebabnya orang-orang Dagenham lebih suka melepas ke Sapta, meski tawarannya cuma 75% dari calon pembeli lain. Buat Sapta, pabrik yang mampu menghasilkan 22 juta unit aki setahun itu masih bisa diperpanjang umurnya. "Pantas dibeli dengan harga segitu," Edward menerangkan. Jika melihat pengalaman Sapta di bidang aki, omongan Edward itu mestinya layak dipercaya. Berdiri tahun 1983, PT Sapta sudah masuk ke industri aki sejak akhir 1987. Kala itu, perusahaan yang 100% sahamnya dimiliki oleh keluarga Wanandi ini membeli Century Batteries di Australia. Mereka mengajak Yuasa, merek kondang aki dari Jepang, berpatungan. Penampilan Century saat dibeli Sapta tak beda jauh dengan Exide, berantakan. Tak sampai dua tahun kemudian, PT Sapta sudah bisa mengumumkan keuntungan dari pabrik berkapasitas 800 ribu unit setahun itu. Salah satu kiat Sapta ketika itu: mereka memindahkan sebagian pabrik Century ke Indonesia. Ini jelas sangat menguntungkan mengingat biaya produksi dan ongkos buruh yang murah di sini. Kali ini pun optimisme masih mengikuti langkah Edward. "Setelah saya teliti, mereka cuma mismanagement," katanya. Segera setelah transaksi, Sapta menugasi Norm Emanouel, Chief Executive Century Australia, membenahi keadaan. Tak tanggung-tanggung, ia pasang target, "Dua tahun lagilah, semua akan beres." Buat Sofyan Wanandi, yang di Sapta duduk sebagai chairman, aki memang sedang jadi kesenangan. Di negara maju, industri ini malah mulai ditinggalkan. Selain polusi berat yang dihasilkannya, ongkos buruh tinggi membuat tak efisien. Masih ada lagi, teknologinya juga tak banyak berkembang. Exide misalnya, sejak 75 tahun lalu sudah bikin aki tanpa banyak perubahan. "Kita harus cepat masuk, kalau tak mau diserobot negara berkembang lain," Sofyan bersemangat. Setelah Exide, dirikan tajam Sofyan diarahkan ke Amerika, pasar aki nomor satu di dunia. "Sudah ada sasaran, tapi saya belum bisa bicara banyak," kata Sofyan. Kalau itu benar terjadi, maka raja aki nomor satu di dunia bakalan berkantor di Kebon Sirih, Jakarta.Yopie Hidayat dan Bandelan Amarudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum