Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Garuda, perlukah rtb?

Perusahaan garuda yang dinilai maju, bertindak keras. merumahkan 6 pilot dan 11 teknisi. kemudian mereka mendatangi kantor pusat gia. mereka menuntut persoalan gaji terutama kesejahteraan teknisi.(eb)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMANDAN Garnisun Ibukota, Kol. Eddy Nalapraya, Senin pekan ini tampak di kantor pusat PT Garuda Indonesia Airways, Jl. Juanda, Jakarta. Kehadiran perwira menengah yang juga Asisten Intel Kodam V Jaya itu menarik perhatian para pilot yang berkerumun di lantai bawah. Apalagi Eddy baru saja bertemu Dir-Ut Garuda, Wiweko. Bicara apa? "Saya minta discount untuk rombongan pencak silat yang mau ke Singapura," katanya. Kol. Eddy juga duduk sebagai ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia, Jakarta. Tapi ia menjangkau bahu Subekti, kapten pilot DC-9 yang "dirumahkan". Di muka pintu keduanya bicara sebentar. Lalu? "Saya diminta untuk meninggalkan tempat ini bersama teman-teman," sahut Subekti. "Tapi besok harus menghadap Dir-Ut." Peristiwa 6 pilot dan 11 tehnisi Garuda yang "dirumahkan" itu sudah memasuki minggu ketiga. Meskipun hari itu ada 3 pilot yang sudah dibebaskan (release), Irawan, Darmadi dan Rizali, serta 3 tehnisi lain. Tak jelas siapa yang memulai menyulut api. Tapi dengan bantuan aparat Laksusda Jaya dan Skogar, telah dilakukan suatu penggerebekan terhadap 12 karyawan tehnisi dan pilot, pada 14 Juni malam, di sebuah rumah di Kebayoran Baru. Ditahan semalam, mereka telah ditanyai, lalu dinasehati seperlunya oleh bagian Intel Kodam V Jaya. Tapi menjelang mereka akan dilepaskan, petugas keamanan Garuda menyerahkan 5 orang mekanik lagi untuk diperiksa. Apa soalnya? "Ini adalah luapan ketidakpuasan," begitu kata seorang pilot. Persoalan gaji dan suasana kerja, menurut beberapa pilot, memang merupakan masalah belum terselesaikan. Sukses Garuda di bawah kepemimpinan Wiweko vang keras, dianggap tak seimbang dengan balas jasa yang diperoleh para karyawan umumnya. Garuda di bawah asuhan Wiweko memang maju pesat. Tahun depan perusahaan yang selama 11 tahun dipimpinnya itu sudah akan mengoperasikan 4 Boeing 747. Tapi janji untuk menaikkan gaji rupanya belum juga dipenuhi. Pemerintah sejak awal Maret lalu sudah mengizinkan Garuda untuk menaikkan tarif kapal terbang dengan 35%, untuk mengimbangi akibat dari Kenop-15 dan kcnaikan harga BBM. Kekesalan karyawan konon mencapai puncaknya ketika menerima amplop gaji akhir Mei lalu. Mereka sebenarnya mengharapkan menerima bonus 'uang pendidikan anak'. Tapi yang hari itu disodorkan oleh kasir adalah pengumuman baru direksi, tentang keharusan untuk memakai topi pengaman (helm) bila mengendarai sepeda motor. Bonus memang dibagikan, dua minggu setelah adanya maklumat helm itu. Tapi, kata seorang pegawai administrasi di Jl. Juanda "kejadian di hari gajian itu telah menimbulkan sikap yang masabodoh (apati) karyawan, terutama dari bagian teknik, yang umumnya masih muda dan naik motor." Seorang kapten penerbang yang ikut ditahan, menerangkan, sebenarnya yang mereka lakukan adalah ingin "minta perhatian pimpinan." Kata pilot itu: "Kami yang bertanggungjawab atas keselamatan penerbangan, dan mencoba untuk mengusahakan cara yang kami anggap terbaik bagi semuanya." Itu pula sebabnya "para pilot menerima ajakan rekan-rekan di bagian teknik untuk mencari dan menelurkan perumusan yang baik." Ke 17 orang itu pun bertemu beberapa kali, untuk mengajukan suatu konsep perbaikan. Tapi mereka dianggap bikin "rapat gelap." Kalau Cuaca Buruk Surat keputusan yang mengharuskan para karyawan yang ditindak itu untuk "tinggal di rumah" memang ditakuti. Sebab semua tunjangan, termasuk tunjangan terbang, akan dihapuskan. Dengan kata lain, "orang seperti saya yang biasa menerima Rp 200 ribu sebulan, jadinya cuma menerima Rp 17.000," kata seorang karyawan. Tapi pihak direksi, seperti dinyatakan sekretaris perusahaan Lumenta, rupanya tak melihat keresahan itu disebabkan tingkat gaji yang kecil. Dia lalu mengungkapkan berapa saja yang dibawa pulang pilot sebulan antara Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu sebulan untuk seorang pilot DC-10 misalnya. Sedang bagian tehnik, berpenghasilan antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu sebulan. "Saya tak mengatakan gaji mereka besar, tapi lihat saja sendiri," katanya. Apa yang dikatakan Lumenta mungkin berlaku untuk para pilot itu. Tapi seorang tehnikus golongan V dengan masa kerja lebih 4 tahun, berpenghasilan Rp 40 ribu sebulan. Lalu baru-baru ini seorang tehnikus golongan IX yang sudah bermasa kerja 15 tahun, mendapat tambahan gaji pokok sebesar 75 perak terhitung 1 Januari lalu. Dan uang lembur mereka? Harian Kompas menyebutkan lembur di Garuda adalah Rp 15 per jam. Maka seorang tehnikus yang kelebihan 100 jam kerja dengan uang makan 100 perak sehari, sudah harus senang mendapat tambahan Rp 6.500 sebulan. "Bayangin mas, kami yang sehari-hari berhadapan dengan mesin-mesin yang vital ini, bagaimana nggak kropos badan," keluh seorang tehnikus muda. Kalau benar demikian, yang terjadi di perusahaan negara yang tergolong paling maju itu, apalagi kalau bukan keresahan? Kini anak-anak Garuda yang tidak puas itu diminta untuk "kembali ke pangkalan" (return to base), seperti ucap Lumenta. Bila cuaca buruk di tempat tujuan, para pilot memang disarankan untuk balik putar haluan. Apakah kini pimpinan Garuda sendiri tak perlu putar haluan, karena cuaca buruk?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus