Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Seorang pribumi bernama kasoem

A. kasoem, 61, pengusaha dan ahli kacamata meninggal dunia. ia pejuang, dermawan dan keras pada dirinya sendiri dan mampu mendidik keempat anaknya mandiri. pabrik optiknya dikelola secara modern. (eb)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIBUMI, biasanya diartikan kelompok pengusaha yang lemah, tidak ulet dan selalu harus dibantu. Prasangka seperti ini terbantah dalam tokoh A. Kasoem, pengusaha dan ahli kacamata terkenal yang meninggal dalam usia 61 tahun pekan lalu. Lahir di Garut, anak keempat dari petani Hasan Basri itu memang memiliki sesuatu yang jarang ditemui di antara pengusaha Indonesia sekarang: keras dan tak suka foya-foya. Berkendaraan Mercy tua keluaran 1961, orang kaya itu dikenal sebagai dermawan, tapi tak suka masuk restoran. Ia tak suka nonton film, kecuali yang dokumenter. Ia menyetel radio dan TV hanya waktu siaran warta berita. Kalau pergi ke Jakarta ia cukup makan jagung rebus di Puncak. Atau nongkrong di warung nasi dalam perjalanan ke Yogya, pakai dasi. Mungkin hanya dasi itu "kementerengan" Kasoem. Selalu terbuka terhadap kritik anak-anaknya, Kasoem lalu menyekolahkan mereka ke luar negeri, untuk memperdalam bidang optik atau manajemen. Tapi itu tak berarti sang ayah suka memasukkan pendapat-pendapat yang dari buku itu ke dalam perusahaannya. Dia tergolong pengusaha yang masih 'kuno' untuk zamannya meski sempat bermukim di Jerman untuk belajar ilmu optik. Dan Kasoem, otodidak itu, kemudian bisa bicara Inggeris hanya dari mengikuti kursus siaran Radio Australia (ABC) dan BBC. Barangkali sikapnya yang penuh disiplin dan keras itu diperoleh dari Kurt Schlosser, pengusaha kacamata di Jalan Braga, Bandung, sebelum perang. Ketika PD II meletus, Kasoem pernah bilang pada orang Jerman itu apa tak sebaiknya bangsa Jerman membantu untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia? Herr Schlosser pun menjawab: "Apa gunanya merdeka kalau perekonomian masih saja dikuasai orang asing." Kata-kata itulah yang rupanya melecut Kasoem semasa mudanya, dan Kurt Schlosser yang tertarik padanya lalu banyak menularkan ilmunya pada anak Priangan itu. Termasuk ilmu menjual kacamata, yang kata Schlosser, "tak bisa diperoleh di sekolah." Ternyata pemuda yang oleh teman-temannya dipanggil Acum itu memang pengusaha tulen. Setelah menguasai ilmu membuat kacamata, pemuda lulusan Taman Dewasa yang pernah ikut kursus dagang itu, tak malu-malu menjual kacamata dari rumah ke rumah. Dan ketika Jerman kalah perang, toko gurunya itu berhasil dibelinya seharga 16.000 gulden. Tapi yang menarik adalah ketika pemuda Kasoem yang ikut pergerakan itu mengungsi ke Leles, dan sempat membuka toko kacamata di Tasikmalaya. "Waktu itu suami saya sudah mampu membuat sendiri mesin penggosokan kacamata yang dinamonya digerakkan dengan sepeda," kata Khomeiny Kasoem, jandanya, kepada wartawan TEMPO Hasan Syukur. Ketika Bandung menjadi 'lautan api', Kasoem pun mengungsi ke Klaten, dan bertemu jodohnya. Sang isteri (yang tentu saja tak ada hubungan dengan pemimpin revolusi di Iran itu), ternyata berdarah dagang juga. Waktu itu saja, Ny. Khomeiny sudah berdagang mebel dan memiliki 10 toko. Tak heran kalau kebolehan itu juga menurun ke anak-anaknya. Hudaya, insinyur lulusan Braunsweigh di Jerman Barat, punya tiga toko kacamata di tiga kota dengan nama Leopard Optical. Lily, puterinya yang belajar manajemen di London, kini memiliki dua optik dengan nama El Kasoem. Nugraha juga punya sebuah, dan Doddy yang seperti ayahnya juga belajar optik di Jerman Barat, kini mengembangkan 4 optiknya. "Semua itu hasil jerih payah kami sendiri, tanpa bantuan dari orang tua," kata Doddy. Modernisasi Itu Apa? Almarhum Kasoem memang mendidik anak-anaknya secara 'spartan'. Tak dimanja. Modal tak diberi. Tapi diam-diam Ny. Khomeiny rupanya bertindak sebagai bankir untuk anak-anaknya. "Pinjaman dengan bunga yang rendah itu, tentu atas sepengetahuan bapak juga," kata seorang anaknya. Pendidikan yang keras itulah, menurut Doddy, yang membuat mereka juga maju. Selagi jadi karyawan ayahnya, tutur Doddy, anak-anaknya tak diistimewakan dan mendapat gaji seperti karyawan lain, sesuai dengan kedudukannya. Tapi ada keuntungan besar yang bisa dipetik "Kami banyak kesempatan berkenalan dan belajar dari para importir kacamata," kata Lily. Ada satu lagi yang diwariskan Kasoem kepada keluarganya: Pabrik optik di Kadungora, yang dibangun dengan modal sendiri dan pinjaman dari BNI 1946 sebanyak Rp 69 juta. Mulai dibangun sejak 1969, pabrik itu baru diresmikan pada 23 September 1974 oleh Wakil Presiden waktu itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Nama Kasoem pun makin terpatri, ketika pada 16 Pebruari 1975 dia diterima sebagai anggota Ilmu Pengetahuan Optic Jerman Barat. Rencananya pabrik yang mempekerjakan ahli-ahli asing itu, termasuk bekas gurunya Kasoem, Dr. Hermann Gebest, akan memprodusir kacamata secara besar-besaran, juga lensa potret sampai mikroskop. Siapa yang akan tampil sebagai Dir-Ut-nya, rupanya masih dirundingkan antara para ahli warisnya. Siapa juga tokoh baru dari Kasoem, tak perlu repot rasanya dengan aman baru. Bukan karena sudah siap secara material. Tapi karna seperti kata Doddy, yang mengutip petuah almarhum, "modernisasi bagi Indonesia itu sebenarnya adalah kesederhanaan itu sendiri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus