PRIBUMI, biasanya diartikan kelompok pengusaha yang lemah, tidak
ulet dan selalu harus dibantu. Prasangka seperti ini terbantah
dalam tokoh A. Kasoem, pengusaha dan ahli kacamata terkenal yang
meninggal dalam usia 61 tahun pekan lalu.
Lahir di Garut, anak keempat dari petani Hasan Basri itu memang
memiliki sesuatu yang jarang ditemui di antara pengusaha
Indonesia sekarang: keras dan tak suka foya-foya. Berkendaraan
Mercy tua keluaran 1961, orang kaya itu dikenal sebagai
dermawan, tapi tak suka masuk restoran. Ia tak suka nonton film,
kecuali yang dokumenter. Ia menyetel radio dan TV hanya waktu
siaran warta berita. Kalau pergi ke Jakarta ia cukup makan
jagung rebus di Puncak. Atau nongkrong di warung nasi dalam
perjalanan ke Yogya, pakai dasi.
Mungkin hanya dasi itu "kementerengan" Kasoem. Selalu terbuka
terhadap kritik anak-anaknya, Kasoem lalu menyekolahkan mereka
ke luar negeri, untuk memperdalam bidang optik atau manajemen.
Tapi itu tak berarti sang ayah suka memasukkan
pendapat-pendapat yang dari buku itu ke dalam perusahaannya. Dia
tergolong pengusaha yang masih 'kuno' untuk zamannya meski
sempat bermukim di Jerman untuk belajar ilmu optik. Dan Kasoem,
otodidak itu, kemudian bisa bicara Inggeris hanya dari mengikuti
kursus siaran Radio Australia (ABC) dan BBC.
Barangkali sikapnya yang penuh disiplin dan keras itu diperoleh
dari Kurt Schlosser, pengusaha kacamata di Jalan Braga, Bandung,
sebelum perang. Ketika PD II meletus, Kasoem pernah bilang pada
orang Jerman itu apa tak sebaiknya bangsa Jerman membantu untuk
mempercepat kemerdekaan Indonesia? Herr Schlosser pun menjawab:
"Apa gunanya merdeka kalau perekonomian masih saja dikuasai
orang asing."
Kata-kata itulah yang rupanya melecut Kasoem semasa mudanya, dan
Kurt Schlosser yang tertarik padanya lalu banyak menularkan
ilmunya pada anak Priangan itu. Termasuk ilmu menjual kacamata,
yang kata Schlosser, "tak bisa diperoleh di sekolah."
Ternyata pemuda yang oleh teman-temannya dipanggil Acum itu
memang pengusaha tulen. Setelah menguasai ilmu membuat kacamata,
pemuda lulusan Taman Dewasa yang pernah ikut kursus dagang itu,
tak malu-malu menjual kacamata dari rumah ke rumah. Dan ketika
Jerman kalah perang, toko gurunya itu berhasil dibelinya seharga
16.000 gulden. Tapi yang menarik adalah ketika pemuda Kasoem
yang ikut pergerakan itu mengungsi ke Leles, dan sempat membuka
toko kacamata di Tasikmalaya. "Waktu itu suami saya sudah mampu
membuat sendiri mesin penggosokan kacamata yang dinamonya
digerakkan dengan sepeda," kata Khomeiny Kasoem, jandanya,
kepada wartawan TEMPO Hasan Syukur.
Ketika Bandung menjadi 'lautan api', Kasoem pun mengungsi ke
Klaten, dan bertemu jodohnya. Sang isteri (yang tentu saja tak
ada hubungan dengan pemimpin revolusi di Iran itu), ternyata
berdarah dagang juga. Waktu itu saja, Ny. Khomeiny sudah
berdagang mebel dan memiliki 10 toko.
Tak heran kalau kebolehan itu juga menurun ke anak-anaknya.
Hudaya, insinyur lulusan Braunsweigh di Jerman Barat, punya tiga
toko kacamata di tiga kota dengan nama Leopard Optical. Lily,
puterinya yang belajar manajemen di London, kini memiliki dua
optik dengan nama El Kasoem. Nugraha juga punya sebuah, dan
Doddy yang seperti ayahnya juga belajar optik di Jerman Barat,
kini mengembangkan 4 optiknya. "Semua itu hasil jerih payah kami
sendiri, tanpa bantuan dari orang tua," kata Doddy.
Modernisasi Itu Apa?
Almarhum Kasoem memang mendidik anak-anaknya secara 'spartan'.
Tak dimanja. Modal tak diberi. Tapi diam-diam Ny. Khomeiny
rupanya bertindak sebagai bankir untuk anak-anaknya. "Pinjaman
dengan bunga yang rendah itu, tentu atas sepengetahuan bapak
juga," kata seorang anaknya.
Pendidikan yang keras itulah, menurut Doddy, yang membuat mereka
juga maju. Selagi jadi karyawan ayahnya, tutur Doddy,
anak-anaknya tak diistimewakan dan mendapat gaji seperti
karyawan lain, sesuai dengan kedudukannya. Tapi ada keuntungan
besar yang bisa dipetik "Kami banyak kesempatan berkenalan dan
belajar dari para importir kacamata," kata Lily.
Ada satu lagi yang diwariskan Kasoem kepada keluarganya: Pabrik
optik di Kadungora, yang dibangun dengan modal sendiri dan
pinjaman dari BNI 1946 sebanyak Rp 69 juta. Mulai dibangun sejak
1969, pabrik itu baru diresmikan pada 23 September 1974 oleh
Wakil Presiden waktu itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Nama
Kasoem pun makin terpatri, ketika pada 16 Pebruari 1975 dia
diterima sebagai anggota Ilmu Pengetahuan Optic Jerman Barat.
Rencananya pabrik yang mempekerjakan ahli-ahli asing itu,
termasuk bekas gurunya Kasoem, Dr. Hermann Gebest, akan
memprodusir kacamata secara besar-besaran, juga lensa potret
sampai mikroskop. Siapa yang akan tampil sebagai Dir-Ut-nya,
rupanya masih dirundingkan antara para ahli warisnya. Siapa juga
tokoh baru dari Kasoem, tak perlu repot rasanya dengan aman
baru. Bukan karena sudah siap secara material. Tapi karna
seperti kata Doddy, yang mengutip petuah almarhum, "modernisasi
bagi Indonesia itu sebenarnya adalah kesederhanaan itu sendiri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini