Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Garuda siapa yang punya garuda

Pergantian Dir-ut Garuda. Profil Wage Mulyono. Wawancara dengan M. Soeparno. pembelian pesawat md11. Gmf menghemat biaya perawatan dan perbaikan pesawat. persaingan di jalur internasional. di bawah soeparno, kondis Garuda bisa dibilang baik. kekurangan Garuda dalam segi pelayanan perlu diperbaiki dan ditingkatkan, karena kompetisi di jalur internasional semakin ketat.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Muhammad Soeparno diberhentikan sebagai DirUt Garuda, Menteri Perhubungan Azwar Anas mengantar kepergian itu dengan dua catatan. Pertama, pergantian orang nomor satu Garuda bukan hal baru. Lalu, sejak 1985, Garuda mengalami pasang surut yang ditandai angka-angka laba rugi cukup tajam. Sejak pekan lalu, Soeparno harus mempercayakan BUMN kedua terbesar ini pada penggantinya, Wage Mulyono, di saat kondisi Garuda boleh dibilang lumayan. Ada laba, ada pembenahan manajemen yang cukup penting, dan lebih dari itu, ada potensi yang siap dikembangkan. Paling menonjol dari potensi itu adalah (rencana) penambahan 37 pesawat jet -- sudah dimulai dengan satu jet MD-11 -- yang akan memperkuat posisi Garuda menjelang tahun 2000. Bicara tentang potensi, manajemen secara umum atau laba di atas kertas, timbul kesan bahwa Garuda di bawah Soeparno terbilang baik. Memang, Menteri Azwar Anas juga menegaskan bahwa Garuda harus bisa lebih baik, satu pesan barangkali, yang merupakan jawaban kunci, mengapa Soeparno diganti. Dalam bisnis, ambisi untuk lebih baik atau yang terbaik tentu penting, apalagi jika bergerak di sektor jasa, seperti Garuda. Dalam segi layanan, Garuda bisa jadi masih kedodoran. Kalau mau dicari-cari, penyebabnya aneka ragam. Tapi pangkal dari semua kelemahan servis Garuda mungkin terletak pada ekonomi kita yang belum berorientasi sepenuhnya pada servis, seperti halnya Singapura. Dengan tradisi ditambah gemblengan Lee Kuan Yew, jadilah Singapura pusat servis yang paling kompetitif di belahan bumi selatan ini. Lalu ditambah disiplin serta imbalan memuaskan, maka Singapore Airlines (SIA) tinggal memetik jasa layanan yang siap pakai. Garuda Indonesia tidak mungkin memetik jasa yang siap pakai seperti itu. Mengapa? Karena memang tidak tersedia di pasaran tenaga kerja. Kalau mau bicara kasar, bahkan manajemen Garuda harus mendidik pramugarinya untuk bisa tersenyum dengan anggun dan berbicara Inggris dengan jelas dan pas. Dua komponen itu mungkin sepele, tapi jelas merupakan salah satu kunci untuk bisa lebih baik. Sementara itu, masih banyak komponen lain yang harus ditingkatkan mutunya. Dalam kata lain, entrepreneurship Garuda harus ditingkatkan. Kisruh dengan SIA, misalnya, mencerminkan betapa belum siapnya Garuda menghadapi maskapai dari negara tetangga itu, gara-gara pihak Indonesia tidak cerdik dan kurang jeli menilai kekuatan pesaing. Akibatnya seperti yang ramai diberitakan, dengan pesawatnya yang berbadan besar, SIA meraup lebih banyak penumpang dari Jakarta ke banyak negara di Eropa dan Amerika, di muka hidung Garuda. Akibat itu saja, kerugian yang akan diderita Garuda (opportunity lost) mencapai Rp 1 trilyun per tahun. Tuntutan banyak, kendala juga tidak sedikit, di antaranya yang bersifat birokratis seperti dikeluhkan Soeparno. Sementara itu, kompetisi di jalur internasional kian ketat. Itulah aneka tantangan yang harus dihadapi Garuda. Andai kata Wage Mulyono tak segera bisa mengatasi pelbagai tuntutan itu, Garuda, yang pada tahun 1990 berada pada peringkat ke-31 majalah Fortune, mungkin saja meluncur ke peringkat lebih rendah. Apalagi, sejak dua tahun silam, Garuda lebih banyak melayani jalur internasional ketimbang jalur domestik, yang kini digarap Merpati Nusantara. Tambahan lagi, penerbangan Sempati, diamdiam sudah pula menyaingi Garuda, termasuk ke Singapura, dan sebentar lagi mungkin ke Bangkok, siapa tahu. Posisi Garuda yang strategis serta permasalahan yang dihadapinya mendorong TEMPO untuk kembali membuat laporan utama tentang BUMN tersebut. Laporan utama terakhir tentang Garuda kami tampilkan pada 1980. Bagian I membahas masalah keuangan, diikuti tulisan mengenai manajemen, kekuatan armada dan persaingan di jalur internasional. Ada cerita mengenai karier Wage Mulyono, dan wawancara khusus dengan Soeparno. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus