RUMAH megah di Jalan Bangka, Jakarta Selatan, itu dipenuhi karangan bunga. Ada bahkan yang dari Singapura dan Prancis. Semerbak wangi merebak di seantero rumah yang dihuni Wage Mulyono, Marsekal Muda TNI-AU yang sejak pekan lalu resmi menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia. Jabat tangan datang bergantian. Di antara ucapan-ucapan selamat itu, ada pula suara-suara yang mempertanyakan perihal pengangkatannya. Mengapa justru Dirut Pelita Air Service ini yang kejatuhan bulan, bukan orang dalam Garuda sendiri atau orang Merpati. Yang jelas, "Presiden yang menetapkannya," kata Menteri Perhubungan Azwar Anas. Wage sendiri mengaku tak pernah berangan-angan menjadi orang nomor satu di Garuda. Selama ini ia sudah merasa puas sebagai Direktur Pelita Air Service, yang dipangkunya sejak 1979. Ia sudah bertekad melaksanakan pesan Presiden, yang melantiknya 12 tahun silam. "Saya harus di Pelita sampai pensiun. Sampai umur 60 tahun," katanya mengenang. Tapi, jalan nasib berbicara lain. Kira-kira sebulam lalu, ia dipanggil Azwar Anas. "Menteri bilang, saya akan diusulkan kepada Pak Harto untuk menduduki jabatan Dirut Garuda. Calonnya cuma saya," kata Wage. Dan hasilnya ia ketahui pukul 9 pagi, hanya satu hari sebelum dilantik. "Pak Azwar yang memberitahukannya." Tak ada pilihan lain. Ia harus meninggalkan Pelita. Posisinya akan digantikan oleh Kapten Hudiono, yang selama ini menjabat Direktur Operasi Pelita. Meskipun terlambung ke posisi lebih tinggi -- memimpin sebuah flag carrier -- nama Wage tetap akan terpateri dalam sejarah manajemen Pelita dan dikenang oleh para staf, pilot, serta semua jajaran perusahaan itu. Wage Mulyono-lah yang berani mengambil risiko demi menyukseskan jurus-jurus efisiensi yang dilancarkannya di Pelita. Dia menciutkan semua jenis pesawat hingga menjadi tiga jenis saja. Dengan begitu, biaya pembelian keperluan cadangan bisa dikurangi. Dia pula yang pada 1981 menyapih perusahaan ini dari Pertamina, setelah terbebas dari utang dan merasa mampu membiayai kebutuhannya sendiri. Wage lalu menjajakan pesawat-pesawat carteran yang ternyata menguntungkan. "Tahun 1991 kami untung Rp 35 milyar. Dan sekarang, asetnya mencapai 250 juta dolar Amerika," katanya. Orang Banyumas yang lahir pada 17 Juli 1938 ini memang bukan orang baru di bidang penerbangan. Seusai menamatkan pendidikan di Akabri Udara Yogyakarta pada 1960, ia menyandang pangkat Letnan Dua Penerbang AURI. Ketika Trikomando Rakyat (Trikora) digelar untuk merebut Irian Barat, Wage menerbangkan pasukan payung. Lantaran kepiawaiannya mengemudikan kapal terbang, berkali-kali pula ia mengantar Presiden Soeharto ke berbagai tempat di seluruh Nusantara. Pada masa Orde Baru, selama empat tahun (1969-1973) dia menjabat sebagai ajudan Pak Harto. Namun, sejak menjadi Dirut Pelita, tugas sebagai pilot ditinggalkannya. Bahkan ia tidak pernah terbang lagi. "Karena saya menderita kelainan jantung," kata Wage. Ia kemudian menjalani operasi jantung di Australia pada 1984. Meskipun begitu, Wage tetap terlihat gagah. Sementara dulu ia kuat berjalan kaki 5 km tiap hari, kini berganti dengan main golf setiap Selasa dan Sabtu. Karena main golf ini baru dilakukan selama empat bulan terakhir -- setelah berhenti selama enam tahun -- handicapnya tergolong tinggi: 20. Hobinya yang lain ialah berburu kijang dan rusa. Di samping memiliki jenjang karier yang bagus di bidang penerbangan, Wage juga tergolong anggota ABRI yang sukes. Selama empat tahun ia menjabat Komandan Skuadron 17 Jakarta. Terakhir pangkatnya adalah Marsekal Muda TNI, yang diterimanya pada 1986. Untuk segala jasa dan pengabdiannya di TNI-AU, Wage dianugerahi delapan bintang tanda jasa, di antaranya Satya Lencana VIII dan XXIV serta Bintang Shakti (untuk Operasi Trikora). Dan di rumah, Wage Mulyono yang sudah menunaikan ibadah haji ini adalah juga bintang keluarga bagi Sri Mangkorowati, istrinya, dan dua anak: Sri Handayani dan Boki Hastuti. Priyono B. Sumbogo, Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini