ADA saat datang dan ada saat pergi. Muhammad Soeparno, bekas Direktur Utama Garuda Indonesia, dalam upacara serah terima di Departemen Perhubungan, Jumat pekan lalu, melepas jabatannya sebagai direktur utama Garuda Indonesia, -- yang sudah diembannya selama empat tahun. Penggantinya adalah Wage Mulyono, Marsekal Muda TNI AU dan bekas Direktur Utama Pelita Air Service. Soeparno mengaku telah mendengar, ia akan diganti sejak tahun 1989. "Jadi, kalau saya sekarang diganti, saya sudah siap," katanya dalam wawancara dengan TEMPO di rumahnya, Jumat malam. Padahal diakuinya juga, dalam hati ia bertanya: mengapa saya diganti? Pertanyaan serupa, juga terlompat dari mulut banyak orang. Sejak periode Wiweko, penggantian pucuk pimpinan BUMN pembawa bendera RI itu memang selalu disorot orang. Namun, pidato Menteri Perhubungan Azwar Anas dalam upacara pelantikan Wage Mulyono, secara tak langsung bisa ditafsirkan sebagai jawaban. Intinya: di Garuda masih banyak kelemahan yang harus diperbaiki. Salah satu kelemahan yang terbesar ialah belum efisien. Inefisiensi itu banyak penyebabnya. Pertama, utang Garuda sudah terlalu besar. Utang ini diwariskan sejak Direktur Utama Wiweko Soepeno, yang memulai kepemimpinannya dengan membereskan kekalangkabutan Garuda dari masa Orde Lama dan kemudian secara ekspansif memperbesar armada. Wiweko kemudian diganti oleh RAJ Lumenta. Memang, sejak 1988, berkali-kali Soeparno, yang menggantikan Lumenta, memproklamasikan bahwa Garuda Indonesia sudah mencatat laba. Tapi ini memancing kritik karena BUMN itu sebenarnya masih dalam posisi merugi. Soalnya, laba itu belum memperhitungkan biaya investasi serta kerugian perusahaan yang telah menumpuk sejak tahun 1980 hingga 1987 (Rp 1,2 triliun). Seluruh kerugian Garuda dari tahun 1985 s/d 1987 -- seperti diungkapkan Azwar Anas -- sudah hampir Rp 900 milyar (lihat grafik). Itu belum termasuk kerugian tahun 1980 s/d 1984, yang pernah diungkapkan mantan Dirut Garuda Indonesia, R.A.J. Lumenta. Jumlahnya US$ 151,5 juta atau sekitar Rp 300 milyar. Laba antara tahun 1988 s/d 1991 yang berjumlah sekitar Rp 820 milyar, tentu belum bisa menutupi segala kerugian tadi. Dengan demikian, perusahaan ini belum bisa membayar pajak penghasilan badan usaha. Pajak yang disetor Garuda pada tahun 1990 (Rp 113,49 milyar) dan pada tahun 1991 (Rp 102,44 milyar) barulah merupakan pajak penghasilan karyawan dan anak-anak perusahaannya. Padahal, sekarang ini justru pemerintah sangat mengharapkan bantuan semua lapisan, termasuk perusahaan swasta dan BUMN untuk mendukung pembiayaan negara lewat setoran pajak. Hal ini ditegaskan juga oleh Menteri Perhubungan Jumat pekan lalu. Untuk menutup segala kerugian tadi, tentu saja tidak cukup waktu satu-dua tahun. Usaha efisiensi memang sudah dirintis direksi. Di zaman Wiweko, penekanan biaya dilakukan dengan penghematan sajian bagi penumpang penerbangan di bawah satu jam. Di bawah Lumenta, yang dilakukan ialah mengoptimalkan operasi pesawat Garuda, antara lain dengan menciptakan rute baru. Ia berhasil karena akhirnya tak ada lagi pesawat yang nganggur. Hanya, kemampuan pesawat-pesawat itu untuk terbang lebih dari 10 jam sehari, ternyata masih terhambat oleh kurangnya fasilitas lapangan terbang. Tak semua bandar udara yang diterbangi Garuda bisa didatangi malam hari. Lain lagi langkah yang ditempuh Soeparno. Ia meminta berbagai fasilitas dari pemerintah. Misalnya, hibah pusat perawatan pesawat di Bandara Cengkareng, revaluasi terhadap aset sehingga bisa mendapatkan pinjaman bank, dan fasilitas kredit ekspor yang berbunga hanya sekitar 11%. Sorang juru pemasaran yang berpengalaman, Soeparno tiba-tiba bicara bahwa Garuda sudah untung dan siap untuk go public. Pernyataan ini kabarnya tanpa lebih dulu dikonsultasikan dengan Departemen Keuangan dan Departemen Perhubungan. "Ini, kan pernyataan yang bisa menyesatkan calon investor," kata sumber TEMPO. Soalnya, untung Garuda yang dimungkinkan oleh berbagai fasilitas, tentu bukanlah jaminan untuk go public. Kontan, pernyataan go public dari Soeparno, dibantah Menteri Perhubungan dan Menteri Keuangan. Ketika itulah, mulai terdengar bahwa jabatan Dirut Garuda akan segera diganti. Apalagi ada kasus lain. Sewaktu Presiden berkunjung ke Jepang, RRC, dan Vietnam (November 1990), manajemen Garuda ketahuan "melakukan pemborosan". "Sementara rombongan Presiden berusaha irit, pihak Garuda malahan mengadakan pesta dengan mengundang 70 tamu di Hotel Imperial, tempat Presiden menginap," tutur sumber TEMPO. Manajemen Garuda juga dinilai terlalu lemah menghadapi sekelompok pengusaha. Bukannya Garuda bersikukuh mendapatkan harga barang dan jasa yang lebih murah, malah ada pejabat Garuda yang, kabarnya, ikut memainkan harga barang. Secara tak langsung, hal ini disinggung Menteri Perhubungan dalam pidato pengarahannya pada manajemen baru. "Saya mengingatkan agar setiap pelaksanaan tender, hendaknya selalu berpedoman kepada penawaran yang paling menguntungkan negara." Konon, permainan harga serta penggelapan barang, juga terjadi di Garuda Maintenance Facility (bengkel pemeliharaan dan reparasi pesawat di Cengkareng). Ada sumber TEMPO yang menyebutkan, penggelapan di sini berkisar Rp 20 milyar, sumber lain bilang sampai Rp 40 milyar. Namun, Menteri Azwar tidak menyinggung masalah itu dalam pernyataan resminya. Hanya ia berpesan kepada manajemen baru, "Peranan Garuda Maintenance Facility sebagai salah satu profit centre perusahaan terus ditingkatkan, baik dalam kemampuan maupun kapasitasnya." Faktor inefisiensi lain yang disentil Menteri Perhubungan ialah perencanaan armada musiman. "Pengalaman telah menunjukkan bahwa kurang tanggapnya Garuda terhadap kebutuhan ini, sering menempatkan kita pada posisi yang sulit untuk mendapatkan pesawat yang baik. Biaya sewanya relatif menjadi lebih tinggi," ujar Azwar. Contoh yang disebutkan hanyalah angkutan haji. Dampak musim liburan dan musim haji, banyak individu dan pengusaha yang terpaksa batal bepergian karena tak kebagian kursi. "Perlu saya ingatkan masih tingginya keluhan dan kritik masyarakat terhadap mutu pelayanan Garuda, terutama menyangkut kelambatan dan penundaan jadwal keberangkatan pesawat, serta pelayanan tiket biro perjalanan," kata Menteri. Satu keluhan paling umum dari masyarakat ialah soal kursi pesawat yang dikatakan penuh, tapi ternyata kosong. Ada dugaan, sejumlah relasi pimpinan Garuda mendapat jatah kursi penerbangan Garuda. "Penjualan kursi-kursi dikoordinasi oleh suatu keluarga, dan dijual lewat sekian travel biro," kata pejabat tinggi tadi. Pucuk pimpinan Garuda juga dinilai tak mendukung kebijakan pemerintah tahun lalu. Perjanjian penerbangan udara yang ditandatangani Departemen Perhubungan RI dengan pihak Kementerian Perhubungan Udara Ummar Salion di Singapura, misalnya. Namun, Soeparno membantah tuduhan bahwa ia melawan pemerintah. "Saya sebenarnya hanya memberikan pendapat. Saya tak bilang Garuda dirugikan sekian. Yang saya protes soal Singapura karena menimbulkan kebocoran perekonomian nasional," ujarnya gencar. Diakuinya, cara bicaranya mungkin terlalu blakblakan. "Mungkin karena telah terpengaruh cara hidup saya yang cukup lama di luar negeri. Istri saya juga orang Batak," kata Soeparno. Untuk membenahi segala kelemahan itu, dierlukan penyegaran manajemen alias orang baru dari luar Garuda. Isu tentang ini, sudah tercetus sejak tahun 1989, dan calon pengganti yang disebut-sebut waktu itu adalah Kapten F.H. Sumolang (mantan pilot Presiden Soeharto, mantan Direktur Operasi PT Garuda Indonesia, dan kini menjabat Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines). Namun, di luar dugaan, pilihan jatuh pada Wage Mulyono, yang juga adalah mantan pilot Presiden Soeharto dan pernah menjadi ajudannya, serta kini berpangkat Marsekal Muda TNI-AU, terakhir menjabat Direktur Utama PT Pelita Air Service yang sukses. Sebagai seorang jenderal berbintang dua, Wage mewakili bobot kepemimpinan tertentu, selain profesionalisme dan sukses membina sebuah maskapai penerbangan: Pelita Air Service. Perusahaan ini disapih dari PT Pertamina tahun 1981, dan sejak 1988, pembukuannya sudah diaudit BPKP dengan predikat wajar tanpa syarat. Dengan omset hanya sekitar Rp 192 milyar, Pelita sudah mencatat laba Rp 35 milyar, dan membayar pajak penghasilan sekitar Rp 11 milyar. Tahun lalu, Pelita sanggup membeli pesawat Fokker 100 seharga US$ 31 juta, dengan pembayaran tunai. Sukses Wage di Pelita itu teramat menyilaukan. Keberuntungan yang sama, Insya Allah bisa dicetak juga olehnya di Garuda Indonesia. Max Wangkar, Linda Djalil, dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini