Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gebrakan arifin dan sumarlin

Menteri keuangan dan perdagangan mengeluarkan sk untuk pabrik rokok agar melampirkan tanda bukti penyerahan cengkeh sebelum mendapat pita cukai. sistem tata niaga cengkeh agar mantap.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Perdagangan bersama Menteri Keuangan mengeluarkan SK yang menggariskan perilaku standar bagi semua pabrik rokok. Sebuah jaminan sukses bagi BPPC? HUTOMO Mandala Putra atau Tommy Soeharto kembali membuktikan kebolehannya sebagai Ketua Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Untuk kesekian kalinya, Tommy berhasil memantapkan posisi BPPC dalam tata niaga cengkeh yang baru, setelah adanya SK Bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan. Diberlakukan per 1 Desember 1991, SK itu pada intinya mengharuskan pabrik rokok besar dan menengah mendapatkan tanda bukti penyerahan cengkeh (TBPC) lebih dahulu, sebelum memperoleh pita cukai. Pembaca barangkali masih ingat, sejak tata niaga cengkeh diberlakukan 1 April berselang, sudah dua kali BPPC memperoleh Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Yang pertama Rp 359 milyar, dengan bunga 17% setahun. Yang kedua, lebih besar, yakni Rp 400 milyar, bunganya 19% setahun. Ini berarti bahwa separuh lebih dari seluruh plafon KLBI 1991/1992 (Rp 1.500 milyar) terpakai untuk komoditi nonpangan, tepatnya untuk menampung cengkeh dari KUD-KUD. Kendati ditunjang KLBI, keluhan petani cengkeh masih bergaung, kabarnya karena cengkeh mereka tidak terserap oleh BPPC. Sementara itu, KLBI yang dinikmatinya itu bulan ini akan jatuh tempo. Tak syak lagi, BPPC nyaris tersudut ke posisi rawan. Padahal dari 150 ribu ton cengkeh BPPC, baru sekitar 30 ton yang terjual. Apa yang terjadi? Pihak pabrik rokok, agaknya, belum segera memerlukan cengkeh tambahan. Penyebabnya bisa macam-macam. Mungkin karena stoknya masih cukup, mungkin juga produksi menurun hingga kebutuhan cengkeh berkurang. Atau boleh jadi karena beralih ke rokok putih. Tidak semua dugaan itu ditunjang data, tapi H. Saiful Anas, Direktur PR Jambu Bol, mengakui dua hal berikut. Stok cengkeh masih banyak dan pemasaran rokok menurun tajam. Sekjen Gappri Djuffan Ahmad menyatakan bahwa sejak tata niaga cengkeh diberlakukan 1 April silam, "Produksi rokok kretek secara nasional turun 10%." Selama delapan bulan ke depan, prospek rokok juga tidak cerah karena menurut seorang pengusaha, ada musim hujan serta datangnya bulan puasa. Menghadapi permintaan cengkeh yang seret, sedangkan KLBI segera jatuh tempo, pimpinan BPPC konon sempat cemas. Dalam keadaan seperti itulah, SK Bersama tersebut diturunkan. Kepala Biro Humas Departemen Keuangan Bacelius Ruru menjelaskan bahwa SK Bersama dibuat untuk memantapkan berfungsinya sistem tata niaga cengkeh. Tak perlu diuraikan lagi bahwa sistem itu akan sangat efektif untuk menyukseskan penjualan cengkeh BPPC. Soalnya, tanpa pita cukai, rokok sama sekali tak layak jual. Maka, SK tersebut -dilengkapi dengan ketentuan Konversi Kandungan Cengkeh, perubahan tarif cukai sigaret putih buatan mesin, dan batas minimum harga eceran rokok produksi pabrikan besar -ibarat merengkuh dayung, satu dua pulau terlampau. "Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan melayani pemesanan pita cukai ... jika bersamaan dengan pemesanan tersebut dilampirkan pula Tanda Bukti Penyerahan Cengkeh (TBPC) dari BPPC," Bacelius Ruru menjelaskan lebih jauh. Mekanisme tersebut harus efektif karena data pemesanan pita cukai dari setiap pabrik akan dijadikan alat untuk mencocokkan jumlah cengkeh yang sudah diserahkan ke pabrik. Ketentuan ini tak berlaku atas pabrik kategori K-1000 (kapasitasnya diasumsikan 1.000 batang per hari). Menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kumhal Djamil, dengan diterapkannya sistem ini, permintaan akan cengkeh bisa dipantau. "Memudahkan perencanaan untuk penanaman dan untuk mengetahui stok pabrik rokok," katanya. Aturan baru ini disusun karena ada indikasi penyimpangan. Seperti kata Kumhal, laporan pabrik rokok tentang stok cengkeh mereka dan tingkat penyerapan cengkeh BPPC tidak klop. Oktober tahun lalu, misalnya, pabrikan melaporkan bahwa persediaan cengkeh (60 ribu ton) cukup untuk sembilan bulan. Ini berarti bahwa Juli lalu mestinya mereka sudah kehabisan stok. Ternyata, sampai Oktober silam, volume cengkeh yang diserap masih kurang. "Mungkin mereka tidak melaporkan jumlah persediaan sebenarnya, atau ada kebocoran dalam pembeliannya, atau masih ada upaya penyelundupan," kata Kumhal. Bertolak dari kondisi yang serba tak jelas itu, Pemerintah akhirnya memberlakukan regulasi baru ini. BPPC menetapkan harga cengkeh sekitar Rp 14.500/kg. Kalau tak segera terjual, bulan depan harganya akan lebih tinggi. Kenaikan itu, menurut Tommy Soeharto, tak lain untuk menutup biaya gudang dan bunga bank. Seperti lazimnya pengusaha di Indonesia, kenaikan biaya produksi otomatis dibebankan pada pembeli. Seorang pemilik pabrik rokok di Kudus mengatakan bahwa setiap hari harga cengkeh naik Rp 9/kg. Padahal, Gappri mengharapkan, harga bisa stabil pada Rp 9.000/kg. Dampak harga yang memberatkan sudah terasa sejak tata niaga cengkeh diberlakukan April lalu. Seperti sudah dikatakan oleh Sekjen Gappri Djuffan Ahmad ada penurunan produksi. Tahun lalu jumlah produksi 135 milyar batang sanggup menyetor cukai Rp 1,77 trilyun (realisasi APBN 1990/1991). Ada kekhawatiran bahwa target cukai tembakau Rp 2 trilyun untuk 1991/1992 tidak akan tercapai. Namun, Pemerintah memberikan keringanan pada pabrik besar -pembayar pajak terbanyak -supaya target itu tercapai. Dahulu mereka dikenai aturan, harga jual per batang minimum Rp 65, tetapi sekarang menjadi hanya Rp 55 per batang. Mereka mengeluh, harga Rp 65 per batang sulit laku. Demi kelancaran pemakaian cengkeh, Pemerintah pun memberikan sedikit proteksi pada pabrik kretek, yaitu kenaikan tarif cukai bagi rokok putih. Yang dijual Rp 65 per batang sekarang cukainya 37,5% (dahulu 32,5%). Sigaret putih seharga di atas Rp 45 sampai Rp 65 per batang dikenai cukai 35% (sebelumnya 27,5%). Bagi yany berharga maksimal Rp 45 per batang, cukainya tetap 22.5%. Pengusaha rokok umumnya tidak berkeberatan atas ketentuan baru ini. Yang dikhawatirkan adalah ketepatan BPPC dalam pengiriman cengkeh dan pemberian surat bukti penyerahan cengkeh. Selama ini, DO sangat lambat diterima pabrik bahkan sampai 10 hari. Yang juga dirasakan sebagai beban adalah ketetapan mengenai kandungan cengkeh dalam setiap batang rokok. Menurut sumber yang memahami lika-liku industri kretek, biasanya kandungan cengkeh untuk pabrik rokok SKM besar adalah 0,55 gram per batang rokok. Lewat ketentuan baru, kandungan itu harus 0,6325 gram per batang. Pabrik menengah besar yang sejak dahulu kandungan cengkehnya hanya 0,40 gram per batang, kini harus 0,55 gram, sementara pabrik menengah yang kandungan cengkehnya semula 0,30 gram, sekarang harus 0,45 gram per batang. Dengan regulasi yang terlalu jauh ini -yang rupanya dianggap tidak mustahil -pabrikan rokok hampir-hampir tidak punya hak menentukan ciri dan kualitas produk yang dihasilkannya. Bila di pabrik rokok memang ada penyertaan modal Pemerintah, keterlibatan semacam itu tentu bisa dimaklumi. Namun, bila mereka tidak "berutang budi" kepada siapa-siapa, kurang adil memperlakukan industriwan rokok sebagai "orang asing di lahannya sendiri". Mohamad Cholid, Bambang Aji, Bambang Sujatmoko, Bandelan Amarudin, dan Jalil Hakim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus