OPEC kembali dibayang-bayangi keretakan. Patokan harga minyak untuk RAPBN 1992-1993 mungkin lebih rendah dari APBN berjalan. EKSPOR minyak bumi, yang selama ini cukup menentukan pendapatan negara, prospeknya tahun depan kurang memberi harapan. Harga komoditi itu diperkirakan menurun, sementara OPEC tampaknya tidak bisa berbuat banyak. Hal ini tercermin dari sidang OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) yang berlangsung di Wina, Austria, pekan lalu. Wartawan TEMPO Iwan Qodar Himawan, yang meliput sidang tersebut, melihat kartel yang beranggotakan 13 negara ini mulai dibayangi keretakan lagi seperti dulu. Para menteri perminyakan negara anggota yang hadir disitu -kecuali Oscar Garcon dari Ekuador -memang sepakat untuk mulai membicarakan kuota. Sebagaimana lazimnya pada tiap musim semi dan musim panas, permintaan minyak akan menurun. Padahal, sekitar waktu itu, justru suplai minyak diduga akan meningkat. Mengapa? Dua anggota OPEC yang terlibat dalam Perang Teluk tahun lalu, yakni Irak dan Kuwait, akan kembali menyerbu pasar. Bagi Kuwait, tak ada hambatan lagi untuk produksi, karena sejak 6 November silam, negara itu berhasil memadamkan api yang merajalela di atas 700 sumur minyaknya, gara-gara Perang Teluk. Jika tingkat produksi pulih, Kuwait tentu kembali ke kuotanya yang 1,5 juta barel per hari. Sementara itu, ekspor minyak Irak dewasa ini dikendalikan PBB. Pemerintah Saddam Hussein hanya boleh mengekspor minyak senilai US$ 1,6 milyar per tahun. Tapi mungkin saja PBB mengendurkan kuota minyak Irak, tahun depan. "Kami sudah siap mengekspor 1.250.000 barel per hari," kata Menteri Perminyakan Irak, Osama Abdul Razzak Al-Hiti. Selain "ancaman" Kuwait dan Irak, para anggota OPEC masih harus memperhitungkan ekspor minyak Uni Soviet. Produksi minyaknya, yang rata-rata sekitar 11,2 juta barel per hari, sekarang diperkirakan tinggal 9,6 juta. Sedangkan ekspor minyak Soviet diduga menyusut dari 2,2 juta ke 1 juta barel per hari. Dengan memperhitungkan berbagai kemungkinan itu, tiap anggota OPEC sampai kepada angka yang berbeda. Menteri Perminyakan Arab Saudi berpendapat, permintaan minyak OPEC akan meningkat hingga 25,2 juta barel per hari. Sedangkan pihak Indonesia memperkirakan permintaan minyak OPEC akan melorot ke 23,6-24,2 juta barel per hari. Produksi OPEC sekarang ini, seperti dilaporkan Sekjen OPEC, sekitar 23,8 juta barel. Jika perhitungan Indonesia benar, produksi OPEC tak dapat tidak harus ditekan. Dan kuota harus kembali diatur. Di sinilah timbul masalah. Pihak Arab Saudi dan Venezuela berpendapat, kuota harus dipotong across the board, artinya semua anggota dikenai pemotongan dengan persentase sama dari tingkat produksi sekarang ini. Usul ini kontan diprotes oleh kubu yang produksinya mentok. Dalam hal ini yang vokal adalah Aljazair dan Libya. Sedemikian sengitnya perdebatan itu, hingga sidang memutuskan untuk menunda soal kuota sampai pertemuan Februari 1992. "Saya kira pertemuan Februari nanti akan hangat," kata Menteri Pertam- bangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita. Tapi, dari sidang di Wina itu, Sekjen OPEC Prof. Subroto mendapat gambaran, harga minyak tahun depan akan susah dikatrol. Ia malah memperkirakan, angka US$ 19,5 seperti patokan APBN berjalan mungkin tak bisa dipertahankan dalam RAPBN 1992-1993. "Saya pikir maksimum US$ 18," katanya. Delapan belas itu angka optimistis. MW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini