Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Perjalanan berdasi effendy

Effendi,33, buronan kelas kakap, kini ditahan di palembang. tertangkap ketika membongkar apotik pembina di jambi.sudah 79 kali merampok,pada 1988- 1991, ia melakukan kejahatan dari kota ke kota.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia merampok dari kota ke kota. Punya sejumlah nama samaran, dan empat tahun main kucing-kucingan dengan polisi. BAGAI seekor tupai, Effendy, 33 tahun, menyimpan jurus yang piawai. "Ia penjahat yang punya otak. Kita sampai empat tahun kehilangan jejak. Ternyata, ia melanglang ke beberapa provinsi lain," kata Mayor Jenderal Rukmana S. "Tapi, sepandai-pandai penjahat, akhirnya ia tertangkap juga," ujar Kapolda Sumatera Bagian Selatan itu. Bagi polisi, Effendy tergolong buron kelas kakap. Ia mempunyai sejumlah nama samaran, seperti Rizal, Saiful, Hengki, atau Solihin. Ayah empat anak berpembawaan tenang ini tamatan SD. Kulitnya putih, dan rambut sedikit gondrong. Ia ditangkap saat akan membongkar Apotek Pembina di Jalan Husni Thamrin, Jambi, pertengahan November lalu. Kini ia ditahan di Palembang. Pada awal pemeriksaan, Effendy mengaku terlibat kejahatan hanya di Jambi. Setelah melalui pemeriksaan intensif, ia mengaku melakukan kejahatan di mana-mana. "Termasuk merampok di Pulau Kemarau, yang menggemparkan Palembang itu," kata Rukmana. Saat itu mereka membawa satu senjata api. Seorang anak buahnya melukai seorang satpam. Kemudian, mereka kabur. Selain itu, alat yang biasa mereka gunakan dalam aksinya adalah linggis dan kunci T, menggunakan sepeda motor, dan sekali-sekali menyewa taksi. Untuk melakukan aksi di sungai, mereka memakai speedboat. Effendy dkk, juga terlibat tindak kejahatan dengan kekerasan di Pulau Gundul, Pulau Borang, Jalur 18 Airsugian, dan Makuang. Menurut Rukmana S. kepada wartawan, pekan lalu, Effendy menghilang dari Palembang setelah memimpin perampokan di perairan Sungai Musi, 30 Juli 1988. Ketika itu ia menyikat Rp 30 juta dari PT Lolamina. Jatah gaji karyawan perusahaan udang itu baru diambil dari bank. "Saya selalu membawa anak buah tiga atau empat tiap kali merampok," katanya. Anak buahnya sampai 30 orang, terdiri dari berbagai suku. Bersama mereka inilah Effendy melakukan berbagai aksi di 14 tempat di Indonesia. Kepada polisi, diakuinya bahwa di tiap tempat lebih dari sekali ia melakukan kejahatan. Misalnya, di Palembang 18 kasus, di Surabaya 1, di Jakarta 5, Medan 4, Banda Aceh 7, Bali 7, Irian Jaya 7, dan di Jambi 4 kasus. Memilih sasaran nasabah bank, menurut Effendy, karena gampang. Ia menyamar sebagai nasabah. Setelah sasaran ditemukan, lalu diikuti. Dari pengamatan Effendy dkk., para nasabah yang membawa uang biasa meninggalkan uang di dalam mobil. Jadi, ketika mobil itu parkir, mereka tinggal membongkar pintunya. Ringkas. Uang yang didapat bisa ratusan juta tanpa perlu menimbulkan korban nyawa. Ketika kantongnya kering-kerontang, menurut Effendy, tak tak ada jalan lain kecuali merampok. "Pendidikan saya rendah," katanya. Sejak kecil ia mengaku sudah nakal dan merepotkan orangtuanya. "Dari enam bersaudara, saya sendiri laki-laki," tuturnya. "Ketika pikiran tenang, saya salat. Tapi kalau lagi kacau, terutama kala tidak punya uang, saya malas salat," tambahnya. Karena selalu sukses merampok, ia ketagihan. "Apalagi sehari terkadang bisa membawa kabur uang Rp 25 juta. Walaupun hanya sedikit, uang rampokan itu saya kirim untuk biaya sekolah dan biaya hidup anak dan istri saya," ceritanya. Hasil rampokan yang dibagi rata itu kebanyakan dipakainya bersenang-senang dengan temannya di bar. Dari sini ia mendapat kenalan, yang ternyata bisa diajak bergabung dalam komplotannya. Sebelum ditangkap di Jambi, ketika d Palembang, ia mencoba bertobat. "Tapi selalu tidak bisa, dan perasaan ingin merampok timbul terus," ujarnya. Ia bersembunyi di Palembang. Ketika polisi lengah ia merampok lagi. Sasarannya, toko manisan dan apotek. Ketika polisi menangguk tiga anggotanya, Effendy merasa sudah tidak aman tinggal di Palembang. Lalu ia kabur ke Irian, 1989, dengan pesawat via Jakarta, dan mengajak dua temannya, Herry Ilyas dan Ronian. Kepada istrinya ia pamit ke luar kota dengan alasan berdagang. Ia meninggalkan uang sedikit untuk keluarganya. Di Irian mereka merampok nasabah bank, dan sempat panen sampai Rp 76 juta. Setelah tujuh kali mereka merampok dan sebulan tinggal di sana, anak buahnya tertangkap di hotel tempat mereka menginap. "Saya lalu kabur ke Ujungpandang," katanya. Di ibukota Sulawesi Selatan itu Effendy merampok lagi. Uangnya digunakan untuk membeli tiket pesawat ke Banjarmasin. Dari sini ia melompat ke Jawa, kemudian ke Jakarta. Ternyata, menurut Effendy, di Jakarta hasilnya tidak banyak. "Karena orang seperti saya di Jakarta banyak. Jadi, kami pun pindah- pindah. Paling lama di satu daerah itu satu bulan, malah tak sampai," katanya. Dari situ ia melakukan lompatan panjang ke Medan. Lagi-lagi ia membawa pasukan. Kali ini perjalanan dilakukan dengan bus. Di Medan ia dinanti oleh dua temannya. Empat kali mereka melakukan kejahatan, lalu melompat pula ke Aceh dengan menyewa minicab Rp 50.000 per hari. Dari Aceh Effendy melompat lagi. "Kalau agak banyak uang, saya pulang ke Palembang karena kalau lama-lama di satu daerah saya khawatir ketahuan polisi," katanya. Di Palembang ia sempat menengok keluarga, meski hanya sebentar, untuk memberi uang belanja. Tiap berjumpa dengan orang baru. ia mengaku sebagai pengusaha. Penampilannya memang memungkinkan untuk mendustai orang. "Selama ini, kepada istri dan anak-anak, saya bilang saya ini seorang pedagang," katanya. Kebolehan membalur mata orang ini dibaginya pada anak buahnya. Misalnya, jika naik pesawat, mereka menjaga penampilan dengan selalu mengenakan dasi, hingga tidak ada yang curiga, walaupun sebagian anak buahnya itu pernah masuk bui. Kelihaian Effendy main kucing-kucingan dengan polisi baru saja berakhir. Kini ia ingin bertobat. "Keluar dari penjara nanti, saya berusaha menjadi orang baik-baik," katanya dengan suara pelan. Selain mempunyai rekor 79 kali merayahi harta dan uang hanya dalam waktu 1988-1991, setiap melakukan aksinya pun Effendy mungkin tergolong punya rekor dalam mengindahkan nyawa korbannya. "Yang saya butuhkan uangnya. Kasihan kalau mereka disakiti," ujarnya dalam percakapan di selnya dengan Aina Rumiyati Aziz dari TEMPO, akhir November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus