Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gelembung Krisis dari Teluk Persia

Penguasa Dubai bermimpi mengubah padang pasir menjadi pusat keuangan dan turisme dunia. Kini proyek itu di ambang kebangkrutan.

7 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA saat persoalan utang Dubai World meledak ke permukaan Rabu dua pekan lalu, Syekh Mohammed bin Rashid al-Maktoum seperti terasing dalam ”kesibukannya”. Ia malah jalan-jalan santai, mengunjungi British Museum di London, Inggris. Selama tur di sana, penguasa Dubai itu tidak lupa berselancar ke situs jejaring sosial Twitter. ”Terinspirasi oleh artefak-artefak Islam, mendorong seluruh muslim, khususnya anak muda, mempelajari dan meneliti warisan kebudayaan mereka,” tulis pria 62 tahun ini di dalam akun Twitternya, saat melihat koleksi artefak kuno Islam di museum itu.

Lawatan Perdana Menteri sekaligus Wakil Presiden Uni Emirat Arab ke Inggris itu menyembulkan tanda tanya: seberapa dalam pengetahuan Mohammed tentang krisis keuangan yang mengancam Dubai World, perusahaan investasi milik pemerintah Dubai. Beberapa mantan penasihat Syekh menduga orang di sekeliling Mohammed—yang tak lain anggota keluarganya—tidak menyuplai informasi aktual ihwal ancaman gelembung krisis yang bakal mengguncang Dubai.

”Mereka seperti membiarkan Syekh Mohammed dalam kegelapan selama beberapa minggu atau bahkan berbulan-bulan,” kata salah satu bekas penasihatnya. Padahal ratusan proyek properti di salah satu negara bagian Uni Emirat Arab itu mangkrak. Sedangkan investor asing, yang sebelumnya menyemut di negara Teluk Persia itu, berbondong-bondong angkat koper. Ratusan pegawai pulang kampung ke negara masing-masing.

Akibatnya, Dubai World mengentak dunia pada Rabu dua pekan lalu. Perusahaan itu meminta semua penyedia pembiayaan memperpanjang jatuh tempo utang US$ 26 miliar (sekitar Rp 247 triliun) hingga enam bulan ke depan. ”Dubai World dan Nakheel meminta kondisi untuk tidak membayar utang,” kata pemerintah Dubai saat memberikan pernyataan. Kewajiban yang mesti ditanggung Dubai World memang bejibun. Total utangnya US$ 59 miliar, mendominasi utang pemerintah Dubai senilai US$ 100 miliar.

Sedangkan Nakheel, anak usaha Dubai World di sektor properti, punya obligasi syariah US$ 3,5 miliar yang jatuh tempo Senin pekan depan, dan utang lain senilai US$ 980 juta yang jatuh tempo pada 13 Mei 2010. Gara-gara minta jatuh tempo diperpanjang, nilai obligasi Nakheel merosot 27 persen. Nakheel tak lain pengembang Palm Islands, 300 pulau buatan yang didesain menyerupai pohon palem.

Adapun Limitless, anak usaha Dubai World lainnya, memiliki utang obligasi US$ 1,2 miliar yang jatuh tempo pada 31 Maret 2010. Pemerintah Dubai telah menunjuk konsultan Deloitte untuk membantu restrukturisasi sebagian utang Dubai World.

Kondisi gagal bayar atas sebagian obligasi yang jatuh tempo itu mengguncang dunia. Pada akhir dua pekan lalu, bursa Eropa dan Asia bertumbangan. Di Prancis, misalnya, indeks jeblok 2,6 persen. Di Asia, indeks Hang Seng tertekan paling dalam, 7,1 persen. Disusul indeks Kospi, 4,96 persen.

Di sisi lain, bom waktu berupa timbunan utang itu telah memercikkan pertanyaan seputar kemungkinan memanasnya hubungan antara Dubai dan Abu Dhabi, negara bagian Uni Emirat Arab lainnya yang diharapkan mengulurkan bantuan. Syekh Mo—begitu para jurnalis biasa memanggil Mohammed—menepis spekulasi itu. Ia meminta para juru warta, bila berani menanyakan kemungkinan itu, sebaiknya tutup mulut.

lll

TERLAHIR sebagai keturunan al-Maktoum, klan penguasa Dubai sejak 1833, Syekh Mohammed cukup ambisius. Ia dikenal sebagai raja pengembang, yang bermimpi membangun Xanadu abad ke-21 di tengah padang pasir—suatu hal yang oleh kritikus dianggap mustahil. Xanadu adalah ibu kota Cina pada saat Kubilai Khan menjadi penguasa, di era Dinasti Yuan. Syekh Mohammed juga ingin Dubai bisa menjadi pengganti London atau Hong Kong sebagai pusat keuangan dunia dan turisme pada masa depan. ”Apa yang telah saya capai buat Dubai baru 10 persen dari visi saya,” katanya suatu ketika.

Ikhtiar Mohammed ini terinspirasi oleh Syekh Rashid bin Saeed al-Maktoum, ayahnya, yang ingin meletakkan Dubai dalam peta sebagai pelabuhan dan pintu masuk perdagangan dunia. Dia juga bermimpi bisa memimpin kebangkitan bangsa Arab dengan menyulap kawasan Teluk. Model yang ia pilih bukan Las Vegas—seperti yang dikira oleh banyak orang—melainkan Cordoba, kota di Spanyol yang pernah dikuasai bangsa Arab pada abad ke-10.

Syekh Mohammed sadar, berbeda dengan Abu Dhabi yang kaya minyak, Dubai tidak begitu memiliki kekayaan alam berlimpah. Itu sebabnya, untuk menarik investor asing, sejak awal 1980-an ia memilih mengembangkan proyek-proyek mercusuar. Mohammed punya visi membangun sebuah kota yang toleran, metropolis, terbuka, dan bisa diakses oleh beragam agama penduduk dunia—suatu hal yang mungkin tidak disenangi oleh beberapa negara Arab lain.

Namun, bagi sebagian orang, wilayah berpenduduk 1,6 juta jiwa itu menjadi simbol negara Arab modern. Presiden Barack Obama, dalam pidato di Kairo, Mesir, pada Juni lalu, memuji Dubai sebagai tempat pembangunan ekonomi bekerja.

Daerah yang memiliki produk domestik bruto US$ 80 miliar itu didatangi Microsoft, General Electric, Cisco Systems, dan perusahaan lainnya. Dan hampir semua bank investasi terkemuka dunia berkantor di Dubai International Financial Center. Gedung-gedung yang menjulang di langit Dubai itu menjadi kebanggaan warga setempat.

Itu sebabnya, meski pembangunan yang jorjoran itu memicu ledakan di bidang konstruksi dan properti, Nakheel tetap meluncurkan megaproyek: membangun menara senilai US$ 38 miliar dengan tinggi hampir dua pertiga mil (1.072 meter). Proyek itu diluncurkan pada saat pasar finansial global runtuh Oktober tahun lalu.

Ketika itu, CEO Nakheel Chris O’Donnell optimistis angka permintaan di pasar akan melampaui jumlah pasokan, meski ada pasang-surut ekonomi. ”Fundamental di pasar properti terlalu kuat,” katanya. ”Tidak akan kolaps.”

Perhitungan Chris O’Donnell keliru. Yang terjadi setelah itu, harga real estate, khususnya residensial, di Dubai menukik tajam hingga 50 persen. Para pengembang memangkas pekerja dan membatalkan proyek-proyek yang mereka kerjakan. Penghematan yang dilakukan dalam setahun terakhir itu mencapai puncaknya saat pemerintah Dubai menyampaikan kabar mengejutkan, ingin merestrukturisasi utang Dubai World, induk usaha yang terlibat dalam beberapa proyek pelabuhan, infrastruktur, dan properti.

Ledakan ini terjadi karena gelembung properti dunia terkonsentrasi di Dubai. Ledakan ini dipicu oleh mudahnya penyaluran kredit, yang tidak diatur dalam peraturan yang ketat, tapi dikuasai oleh para spekulan dan pejabat pemerintah. Buat meredam gejolak itu, sekitar US$ 430 miliar untuk proyek-proyek konstruksi harus dihapus di Uni Emirat Arab, negara gurun dengan jumlah penduduk 7,7 juta jiwa. Proyek yang dijadwal ulang itu mayoritas berlokasi di Dubai.

Beberapa pengagum Syekh Mohammed mengakui, apa yang dilakukan pemimpinnya terlalu cepat. Salah satu yang dia lakukan adalah memberikan perusahaan yang berbeda-beda buat empat penasihat pribadinya—dijuluki ”The Four Horsemen”. Masing-masing perusahaan saling menyalip, dari membangun pusat perbelanjaan yang dilengkapi lereng ski indoor hingga membangun Burj Dubai, pencakar langit tertinggi di dunia.

Dalam prakteknya, para bankir dan pengamat asing mengatakan, sementara Syekh Mohammed menekankan pentingnya keterbukaan dan transparansi, beberapa anggota direksi pada perusahaan-perusahaan itu ditekan untuk memberikan lisensi buat teman dan anggota keluarga penguasa. Bahkan ada anggota keluarga yang meminta pembagian laba perusahaan. Sedangkan media lokal sangat ”hormat” kepada keluarga Al-Maktoum dan cenderung menyiarkan berita yang ”baik-baik” saja ihwal Dubai.

Beberapa hari sebelum gagal bayar Dubai World merebak, Syekh Mohammed mengganti tiga dari empat orang kepercayaannya di dewan penasihat Dubai Investment Corporation, yang tugasnya mengawasi semua urusan bisnis pemerintah. Dewan itu kini seluruhnya diisi anggota keluarga penguasa.

John Sfakianakis, dalam kolomnya di Bloomberg, menuding pengambil keputusan di Dubai tidak transparan. ”Mereka terus menyangkal kalau masalah yang dihadapi serius.” Sedangkan pengamat tidak pernah terbuka mempertanyakan data yang dipublikasikan Dubai World.

lll

Analis bertanya-tanya, mampukah Syekh Mohammed menyelamatkan Dubai dari ambisi pribadinya yang mulai tak terkendali. Muncul di depan juru warta pada Selasa pekan lalu, Syekh Mohammed mengatakan persoalan utang itu bukan hal besar. Ia menuduh media membesar-besarkan berita itu.

Pernyataan Mohammed didukung Sultan bin Saeed al-Mansouri. Menteri Ekonomi Uni Emirat Arab itu mengatakan pembayaran utang Dubai World hanya masalah waktu. Utang itu, kata dia, tidak akan mempengaruhi kinerja ekonomi Dubai dan Uni Emirat Arab. Meski utang-utang itu tidak dijamin oleh pemerintah Dubai, bank sentral Uni Emirat Arab siap turun tangan. ”Bank sentral telah menyuntikkan uang untuk mengatasi setiap masalah yang mungkin muncul dari kemungkinan gagal bayar utang Dubai World,” katanya.

Sultan bin Saeed yakin Dubai World akan menghormati komitmennya setelah utang itu direstrukturisasi. Dubai World dijadwalkan bertemu dengan kreditor pekan ini untuk membahas restrukturisasi utang. Di antaranya Standard Chartered, HSBC, Lloyds, dan Royal Bank of Scotland.

Rencana pembicaraan itu memberikan sentimen positif di pasar saham. Sejak awal pekan lalu, lantai bursa di Asia dan Eropa pulih. ”Reaksi pasar terhadap Dubai berlebihan,” kata Michael Tomalin, Kepala Eksekutif National Bank of Abu Dhabi.

Tapi bukan tidak mungkin gelembung baru kembali pecah. Soalnya, proses restrukturisasi utang baru dimulai dan bisa memakan waktu berbulan-bulan, melibatkan 100-an akuntan, pengacara, bankir, dan profesional dari London. Masalahnya, menggugat Dubai World di kandangnya, dengan jaminan aset berbasis di sana, akan sangat mahal ongkosnya ditinjau dari sisi hukum yang berlaku di sana.

Di mata John Sfakianakis, Kepala Ekonomi Banque Saudi Fransi-Credit Agricole Group, yang harus ditunjukkan oleh pemerintah Dubai adalah transparansi. ”Sebagai entitas ekonomi, Dubai belum selesai,” katanya. ”Tapi, bila Dubai terus menyesatkan pasar global, investor internasional akan mengucapkan selamat tinggal.”

Yandhrie Arvian (WSJ, New York Time, AFP) Di Luar Badai Dubai

Getaran Dubai World bak kembang api. Itu kata Deputi Menteri Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengenai krisis keuangan perusahaan Arab tersebut. Mengagetkan tapi implikasinya lebih banyak terjadi di negara itu sendiri. ”Belum jelas dampaknya terhadap investor dan perusahaan jasa Indonesia,” kata Edy di Jakarta pekan lalu.

Sejumlah anak usaha Dubai World berinvestasi dan membentuk perusahaan patungan di Indonesia. Beberapa di antaranya merupakan hasil World Islamic Economic Forum kelima di Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, awal Maret lalu. Misalnya saja Star Petro Energy, bersama perusahaan Itochu (Jepang), dalam proyek pengembangan kilang minyak Pertamina di Balikpapan dengan investasi senilai US$ 1,7 miliar. Juga Ras Al-Khaimah Emirate dengan pemerintah daerah Kalimantan Timur dalam proyek infrastruktur.

Investasi lainnya, Dubai Ports World menggandeng PT Pelindo dan PT Terminal Petikemas, senilai US$ 175 juta. Juga joint venture dengan PT Batam Maritime Center senilai US$ 500 juta, proyek kawasan wisata Lombok dengan Bali Tourism Development Corporation, dan PT Emirates Telecom dengan PT Excelcomindo Pratama Tbk. melalui pembelian 1,13 miliar lembar saham. Selain itu, Limitless Ltd. dengan PT Bakrieland membangun Rasuna Epicentrum, dan RAK Minerals and Metals Investment berinvestasi dalam proyek pelabuhan Tanjung Api-api.

Edy menjelaskan, belum terlihat tanda-tanda kepanikan sistemik yang berimbas pada proyek-proyek tersebut. Sejauh ini, tak ada penarikan atau pelepasan saham negara padang gurun tersebut di pasar modal Nusantara. Tapi sebagian proyek itu memang belum apa-apa. Misalnya, proyek pelabuhan di Batam dengan Dubai masih wacana, proyek resor Dubai di Nusa Tenggara Barat belum jalan, dan ekspor ke Dubai juga belum berkembang.

Sebagian lagi sudah berjalan, antara lain di Rasuna. Untuk proyek ini, PT Bakrieland Development Tbk. memilih memberikan ruang kepada Limitless untuk menyelesaikan sisa kewajibannya hingga kuartal pertama 2010. Anak usaha Dubai World ini masih memiliki sisa kewajiban senilai US$ 110 juta, yang belum sepenuhnya dibayarkan. Ini menjadi salah satu penyebab pembangunan Rasuna tertunda enam bulan, dari target selesai akhir 2009.

”Kami berharap pada kuartal kedua 2010 sudah selesai,” kata Presiden Direktur Bakrieland Hiramsyah S. Thaib di Jakarta pekan lalu. Hiram mengaku belum akan merevisi kontraknya dengan perusahaan Arab yang memiliki 30 persen saham itu. ”Kami akan segera bertemu Limitless untuk membicarakan dampak gagal bayar Dubai World,” ujarnya. Kalaupun kerja sama harus dihentikan, Hiram yakin akan mudah menemukan penggantinya.

Operator telepon seluler berlabel XL juga tenang-tenang saja. Anak usaha Dubai World, Emirates Telecom (Etisalat), membeli 1,13 miliar lembar atau 16 persen saham PT Excelcomindo Pratama Tbk. (EXCL) pada Desember 2007. Pembelian saham tersebut senilai US$ 438 juta. Meski demikian, Head of Corporate Communication XL Febriati Nadira menegaskan perusahaannya tidak akan terpengaruh. ”Pengaruhnya tidak ada,” kata Nadira.

Nieke Indrietta, Famega Syavira

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus