Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Banyak Gen Z Menganggur

Gen Z penyumbang terbesar angka pengangguran. Sebagai konsumen, daya beli gen Z yang melemah berdampak buruk pada industri.

24 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pencari kerja mencari lowongan kerja saat mengikuti Mega Career Expo di Gedung Serba Guna Senayan, 17 Mei 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penyumbang angka pengangguran terbanyak di kalangan gen Z berasal dari lulusan SMK. Angka pengangguran tersebut bahkan mencapai sekitar 8,9 persen.

  • Jumlah penduduk usia 15-24 tahun tanpa kegiatan produktif atau youth not in education, employment, and training (NEET) pada 2023 mencapai 9,9 juta orang.

  • Selain menjadi pekerja, generasi Z merupakan konsumen. Sehingga apabila mereka tidak memiliki pemasukan, daya beli juga melemah dan berdampak buruk pada industri.

ZAFA Adelia, 22 tahun, berbulan-bulan mencari pekerjaan di Jakarta. Lulusan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia yang termasuk generasi Z alias gen Z itu sudah mengirim puluhan surat lamaran kerja, tapi belum satu pun yang membuahkan hasil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai angkatan kerja baru, Zafa khawatir tak memenuhi kualifikasi bekerja di perusahaan. "Karena fresh graduate, kadang juga bingung harus punya skill apa dan dapatnya di mana," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 23 Mei 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa kali Zafa menemukan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan latar pendidikannya. Sayang, perusahaan menetapkan syarat minimal pengalaman bekerja satu sampai tiga tahun. Bahkan ia mengungkapkan banyak perusahaan yang mengenakan biaya pelatihan dengan iming-iming diterima bekerja. 

Ketatnya persaingan pencari kerja di Jakarta membuat Zafa mempertimbangkan melamar bekerja di daerah lain. Namun ia masih ragu karena upah minimum yang lebih kecil. Karena itu, dia berupaya mencari lowongan magang meski tak dibayar. Dengan mengikuti magang, ia berharap dapat menambah pengalaman bekerja dan memenuhi persyaratan yang dibutuhkan perusahaan. 

Bunga, 22 tahun, menghadapi masalah yang sama. Lulusan D-3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga itu sudah dua tahun belum mendapat pekerjaan tetap. Menurut Bunga, tak banyak perusahaan yang mau menerima lulusan D-3. 

Di sisi lain, Bunga merasa tidak cocok dengan jurusan yang ia pilih. Ia pun memilih mencari pekerjaan di bidang yang berbeda dengan pendidikannya. Sebagai pemula, dia juga terhalang oleh syarat minimal pengalaman bekerja. "Lowongan magang saja bahkan dicari yang sudah berpengalaman. Perusahaan tidak mau menerima orang yang baru memulai," ucapnya.

Ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan angkatan kerja baru memang menjadi salah satu pangkal masalah banyaknya gen Z yang menganggur. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyoroti penyumbang angka penganggur terbanyak di kalangan gen Z berasal dari lulusan SMK. Angka pengangguran tersebut bahkan mencapai 8,9 persen. "Penganggur kita ini terbanyak disumbang lulusan SMK dan SMA. Ini terjadi karena adanya miss-match," ucapnya. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), anak muda atau gen Z menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran tersebut. Gen Z merupakan penduduk yang lahir antara 1997 dan 2012. Proyeksi populasi dari BPS menyebutkan jumlah gen Z pada 2024 mencapai 80-85 juta jiwa. 

BPS mencatat jumlah penduduk usia 15-24 tahun tanpa kegiatan produktif atau youth not in education, employment, and training (NEET) pada Agustus 2023 mencapai 9,9 juta orang. Artinya mereka tidak sedang sekolah, bekerja, atau dalam pelatihan. Jumlah NEET mencapai 22,25 persen dari total populasi usia 15-24 tahun secara nasional. Sebanyak 5,73 juta orang di antaranya merupakan perempuan muda dan 4,17 juta lainnya laki-laki muda. Lulusan SMK merupakan penyumbang angka NEET terbanyak, yaitu 8,9 persen. 

Data terbaru hasil Survei Angkatan Kerja Nasional BPS menyebutkan angkatan kerja per Februari 2024 mencapai 149,38 juta orang. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 4,82 persen atau 7,20 juta orang. Sebanyak 16,82 persennya berusia 15-24 tahun. 

Pencari kerja mengisi data saat mengikuti Mega Career Expo di Gedung Serba Guna Senayan, 17 Mei 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Tren pengangguran sempat melonjak pada masa pandemi, tapi melandai sejak tiga tahun terakhir. Pada 2020, angka pengangguran mencapai 7,07 persen dari total penduduk atau sebanyak 9,7 juta orang. Kemudian angkanya turun menjadi 9,1 juta orang pada 2021, lalu 8,4 juta pada 2022, dan 7,99 juta pada 2023. 

Meski cenderung melandai, jumlah penganggur usia muda tetap tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 mengenai Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Melalui aturan tersebut, pemerintah mengharuskan institusi pendidikan dan pelatihan menyesuaikan programnya dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.

Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, regulasi itu mendorong adanya kerja sama antara pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Kementerian Ketenagakerjaan; serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia untuk menghadirkan tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah.

Dua tahun sejak peraturan itu terbit, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai permasalahan pengangguran di kalangan anak muda masih belum terpecahkan. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menilai ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan keterampilan para lulusan masih menjadi kendala. 

Menurut Bob, pemerintah juga harus membangun industri yang dapat menyerap tenaga kerja serta berfokus pada anggaran pendidikan dan pelatihan agar lebih efektif. "Kasihan gen Z ini juga tidak mendapat pelatihan yang memadai karena anggaran pelatihan yang kecil sekali," ucapnya kepada Tempo, Kamis, 23 Mei 2024. 

Adapun pemerintah mengalokasikan Rp 4,8 triliun untuk pelatihan peserta program Kartu Prakerja 2024. Bob membandingkan besaran anggaran pelatihan di Singapura yang jumlahnya mencapai Sin$ 500 atau setara dengan Rp 5,9 juta untuk setiap penduduk angkatan kerja baru dan Sin$ 4.000 atau sekitar Rp 47 juta untuk usia 40 tahun ke atas. 

Bob menekankan, selain menjadi pekerja, gen Z merupakan konsumen. Jadi, apabila mereka tidak memiliki pemasukan, daya beli juga melemah dan berdampak buruk pada industri, mengingat kontribusi industri terhadap produk domestik bruto sebesar 18,75 persen. Lemahnya daya beli gen Z juga membuat industri tidak mampu menyerap tenaga kerja. 

Pencari kerja antre masuk saat mengikuti Mega Career Expo di Gedung Serba Guna Senayan, 17 Mei 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Di samping itu, Apindo mengungkapkan terjadinya pelemahan industri padat karya. Sedangkan industri padat modal tidak bisa banyak menyerap tenaga kerja. Walhasil, terjadi perpindahan dari sektor formal ke informal. "Apalagi pendidikan gen Z relatif lebih tinggi sehingga berharap mendapat pekerjaan yang lebih baik, sesuai dengan pendidikannya," ujar Bob. 

Pergeseran penyerapan tenaga kerja gen Z ke sektor informal ini juga menjadi sorotan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti. Menurut dia, salah satu penyebab tingginya angka pengangguran di kalangan anak muda adalah banyak pekerjaan gen Z yang tidak terdeteksi. Misalnya pembuat konten media sosial Instagram, YouTube, dan platform online lainnya. 

"Gen Z punya preferensi sendiri. Mereka lebih suka kerja by remote yang tidak terikat waktu dan tempat dengan penghasilan yang mungkin lebih besar," ujar Esther. Hal itu membuat banyak gen Z tidak terdaftar sebagai pegawai kantor di mana pun meski mereka punya pendapatan. 

Kendati demikian, Esther tak menampik tingginya angka pengangguran terjadi karena kebutuhan di pasar tenaga kerja tidak cocok dengan kualifikasi sumber daya yang tersedia. Untuk mengatasinya, Esther berharap pemerintah dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta membuat ⁠program yang menghubungkan para lulusan dengan pasar tenaga kerja. Ia menilai perubahan kurikulum juga diperlukan agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri. 

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, juga menilai sistem pendidikan yang tidak cocok dengan dunia usaha dan industri menjadi penyebab banyaknya gen Z yang menganggur. "Apalagi banyak lapangan kerja lama yang hilang dan munculnya lapangan kerja baru terkait dengan perkembangan teknologi," ujarnya. 

Langkah yang perlu dilakukan pemerintah, menurut Hadi, adalah menyelaraskan pendidikan dengan dunia usaha dan industri. Meski pemerintah telah meluncurkan program Merdeka Belajar, Hadi menilai sarana dan prasarananya masih perlu ditingkatkan.  

Seiring dengan perbaikan sistem pendidikan, Hadi berujar penciptaan lapangan kerja perlu ditingkatkan. Caranya adalah meningkatkan sektor riil dan pemberian fasilitas bagi para investor. Terlebih, menurut dia, rasio kewirausahaan di kalangan muda kecil karena keterampilan teknis atau soft skill yang masih rendah.  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Aisyah Amira berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Reporter di Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus