Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI tak tampak rasa sesal pada Roosdiana Suharto. Padahal, permintaan penurunan bea masuk minyak sawit mentah, atawa crude palm oil (CPO), Indonesia kepada pemerintah India ditolak mentah-mentah, dua pekan lalu. Upaya Ke-tua Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia itu bersama Menteri Pertanian hingga ke New Delhi tak mampu melunakkan sikap India, yang menaikkan bea masuk CPO 15 persen menjadi 80 persen, sejak medio Februari lalu.
Menurut Roosdiana, kunjungan tim Departemen Pertanian memang bukan upaya lobi. Tim bertandang ke New Delhi untuk pertemuan antarnegara berkembang dalam forum G-20. Mumpung di India, Menteri memanfaatkannya dengan melakukan kunjungan perkenalan, alias courtesy call, kepada Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, dan Menteri Perdagangan negeri itu. Pertemuan pun berjalan kurang dari satu jam. "Itu hanya forum perkenalan," kata Roosdiana. "Kalau forum resmi, kita minta negosiasi dengan framework WTO, misalnya."
Beban eksportir CPO pun kian berat sejak Kamis pekan lalu, ketika India menaikkan harga patokan impor CPO US$ 23 per ton, menjadi US$ 423. Da-sarnya adalah kenaikan harga CPO di pasar dunia, dari US$ 390 menjadi US$ 430 per ton, belakangan ini. Padahal, dengan harga lama saja, CPO Indonesia sudah terpukul.
Ketika harga masih US$ 400, dengan bea masuk 80 persen, rata-rata kenaikan biaya ekspor per ton US$ 25. Sementara minyak kedelai atau soybean oil, yang menjadi saingan utama CPO, tidak naik. Komoditas lain seperti refined bleached deodorised (RBD) olein hanya sekitar 6 persen. Walhasil, CPO Indonesia menjadi komoditas paling menderita.
Indonesia sepatutnya gusar atas kebijakan pemerintah India. Di pasar negeri itu, Indonesia adalah raja CPO dengan pangsa pasar 68,49 persen (1,9 juta ton dari produksi nasional 11 juta ton). Dari sini, devisa yang diperoleh hampir US$ 3 miliar atau Rp 27 triliun. Nomor dua adalah Malaysia, dengan 28,31 persen (produksinya 13 juta ton). India adalah negara importir CPO terbesar di dunia (4 juta ton).
Sebagai eksportir terbesar, setiap kebijakan tarif India tentu sangat mempengaruhi Indonesia. Tapi, data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan belum ada gangguan atas volume ekspor. Setiap bulan volume ekspor CPO dan turunannya masih berkisar 200 ribu ton.
Menurut Ketua Umum Gapki, Derom Bangun, kenaikan bea masuk dan harga patokan impor memang sedikit melemahkan daya saing CPO terhadap minyak kedelai. Sementara dulu eksportir membayar bea masuk US$ 320 per ton, sejak kenaikan Kamis lalu makin mahal menjadi US$ 338. Walhasil, harga CPO di pasar India lebih mahal sehingga konsumen lebih memilih minyak kedelai.
Namun, lantaran volume konsumsi CPO juga sangat besar, hampir 55 persen dari kebutuhan minyak nabati India, permintaan tetap saja tinggi. "Apalagi produksi minyak kacang tanah India menurun, sedangkan pasokan minyak kedelai impor juga berkurang," kata Derom Bangun.
Impor minyak kedelai ke India memang sedang tersandera. Produsen minyak kedelai, seperti Brasil, sedang menurun produksinya akibat musim kering panjang lalu. Menurut situs berita Financial Express, curah hujan saat ini tak cukup mengembalikan hasil panen ke posisi semula. Akibatnya, harga minyak kedelai juga melonjak.
Di bursa komoditas Chicago, Amerika Serikat, harga minyak kedelai pengiriman Mei naik US$ 1,23 sen menjadi US$ 22,77 sen per pon. Ini berarti harga naik 13 persen dan menjadi margin tertinggi sejak Juli 2001. Di bursa lain, Kuala Lumpur Commodity Exchange, per 30 Maret lalu harga juga naik dari US$ 23 sen per libs menjadi US$ 23,69.
Hal senada diutarakan Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk., Maruli Gultom. Eksportir yang setiap bulan memasok 3.000 ton CPO ke India ini mengaku belum ada pengaruh atas kinerja ekspor perusahaan. Apalagi Malaysia juga kena perlakuan serupa. Lain ceritanya jika Malaysia mendapat bea masuk lebih rendah. Alhasil, perusahaan tak menyiapkan strategi khusus. "Tren jangka panjang, CPO tetap dibutuhkan karena harganya lebih murah ketimbang minyak kedelai, dengan pasokan relatif stabil," kata Maruli.
Karena itu, kegagalan "lobi" tim Departemen Pertanian dicoba ditebus tim Departemen Perdagangan dalam sebuah misi dagang, 24-26 Mei. Misi ini merupakan lanjutan forum komisi bersama, atau joint commission Indonesia-India, di New Delhi, 23 Februari lalu. Waktu itu pemerintah Indonesia sudah mempertanyakan kebijakan kenaikan bea masuk. Bahkan itu dipertegas dalam kelompok kerja atau working group sektor ekonomi.
Menteri Perdagangan Mari Pangestu berjanji akan mempertanyakan batas waktu kenaikan bea masuk dan harga patokan impor. Menteri juga akan menagih janji pemerintah India yang menyanggupi menghapus pembedaan kandungan beta-karotena antara CPO dan produk turunannya, saat menerima tim Menteri Pertanian, dua pekan lalu. "Mereka menerima argumen kita," ujar Mari. "Kami akan terus melacak implementasinya."
Sejak September tahun lalu, pemerintah India memang mensyaratkan kandungan beta-karotena CPO Indonesia 500-2.500 mg per kg. Makin tinggi kadar beta?berperan sebagai provitamin A?makin baik kualitas CPO. Setelah dilobi sana-sini, India bersedia menurunkan kadarnya menjadi 250-2.500 mg untuk CPO. Sedangkan produk turunan CPO kandungannya tetap tinggi, 500-2.500 mg. Padahal, secara teknis, pada produk yang mengalami pengolahan, kadar betanya otomatis menyusut.
Soal kandungan zat provitamin A ini ada cerita sendiri. Sumber Tempo membisikkan, persyaratan beta-karotena itu sebenarnya dipromotori Malaysia, yang kualitas CPO-nya lebih baik. Maksudnya, menekan volume ekspor CPO Indonesia. Maruli Gultom membenarkan cerita itu. Dampaknya, volume ekspor Indonesia sempat turun 15-20 persen, meski untuk CPO memang sudah diturunkan kembali ke level semula sejak Februari lalu.
Ketua Kelompok Kerja Indonesia-India di sektor perdagangan, Deddy Saleh, menjelaskan upaya lobi perlu dilakukan lagi supaya India minimal tidak menambah beban baru dengan menaikkan bea masuk. Problemnya, kemungkinan tarif CPO naik lagi juga masih tinggi. Dalam aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), batas tarif, atau tariff bound, CPO di India 300 persen, sedangkan minyak kedelai 45 persen. Dan terakhir, benar-benar menurunkan persyaratan beta-karotenanya.
Kalangan pengusaha menilai potensi penurunan bea masuk masih terbuka?meski potensi kenaikannya juga sama besar. Sebab, pada masa Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Pandjaitan, Indonesia berhasil menurunkan bea masuk menjadi 65 persen dari 75 persen?naik 300 persen pada 28 Februari 2001. "Perlu waktu enam bulan untuk menurunkan bea masuk itu," kata Roosdiana Suharto.
Pengusaha juga meminta pemerintah berperan lebih baik dalam perdagangan ekspor minyak sawit ini. Dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia tertinggal jauh meski sama-sama eksportir besar dunia. Derom Bangun menyarankan peningkatan peran Komisi Minyak Sawit Indonesia, yang selama ini tak lebih dari lembaga "litbang" dengan kewenangan nol besar.
Malaysia mempunyai banyak badan demi mengurusi minyak sawit. Untuk pemasaran, Malaysia punya Malaysian Palm Oil Promotion Council dengan perwakilan di tujuh negara, termasuk India. Untuk pengembangan, ada Malaysian Palm Oil Board, yang meliputi kalangan pejabat pemerintah dan pengusaha. "Promosi kita memang kalah jauh," kata Derom.
Maruli Gultom justru menyarankan pemerintah lebih meningkatkan peran marketing intelligence di India untuk komoditas minyak sawit. Tujuannya supaya bisa mengetahui lebih dini kebijakan yang bakal diambil pemerintah India. "Atase perdagangan kita di sana harus lebih banyak memantau perkembangan komoditas ini," katanya.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo