Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pahit Gula oleh Rendemen

Sejumlah pabrik gula dituding mengelabui rendemen milik petani. Kerugian potensial mencapai Rp 2 triliun per tahun.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAMAN keemasan industri gula di Indonesia sudah lama berakhir. Itulah masanya 179 pabrik gula bertebaran di negeri ini dengan kadar gula dalam tebu (rendemen) di atas 14 persen, dengan kapasitas 15 ton gula per hektare. Kini cuma tersisa 58 pabrik gula. Produktivitasnya pun lunglai, tinggal 5 ton gula per hektare. Para petani tebu pun bubar, karena tak ada untungnya lagi menanam tebu.

Di tengah kesuraman itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Institute for Science and Technology Studies (Istecs) menemukan keganjilan dalam perhitungan rendemen tebu. Berdasarkan penelitian sepanjang 2002-2003, tim itu menemukan empat pabrik gula milik negara mengelabui rendemen milik petani, sehingga menimbulkan kerugian Rp 18 miliar. "Nilai rendemen diturunkan," kata Nurmahmudi Ismail, Ketua Tim Proyek Unggulan Teknologi Restrukturisasi Gula Nasional BPPT.

Pabrik Gula Tjoekir di Jombang, Jawa Timur, misalnya, pada 2002 menurunkan kadar gula dalam tebu milik petani dari rata-rata 7,13 persen menjadi 6,84 persen. Selisih 0,2 persen itu setara dengan 687 ton gula?bila dirupiahkan sekitar Rp 2,4 miliar. Kecurangan diduga juga terjadi di pabrik gula Rendeng di Kudus, Jawa Tengah. Di pabrik milik PT Perkebunan Negara IX ini pada 2003 rendemen ditekan ke angka 5,49 persen dari 6,45 persen. Artinya, "tekor" 3.000 ton gula atau Rp 10,5 miliar.

Dari empat pabrik tebu yang dimasuki BPPT (Tjoekir, Pangka/Tegal, Rendeng, dan Tersana Baru/Cirebon), kerugian yang timbul diperkirakan mencapai Rp 18 miliar. Tapi, dalam perhitungan BPPT, setiap tahun ada potensi kerugian Rp 2 triliun dalam industri gula nasional. Perhitungan ini didasarkan pada banyaknya pabrik tebu yang menolak diperiksa BPPT. Pengurangan rendemen ini bisa terjadi karena penelantaran budidaya tebu, baik oleh petani dan pabrik gula maupun uzurnya mesin penggilingan.

Menurut Nurmahmudi, praktek seperti itu bisa terjadi karena petani tidak memahami patokan perhitungan rendemen. Keadaan diperburuk oleh ketidakjelasan pabrik gula menyampaikan perhitungan yang semestinya. Menurut Nurmahmudi, temuan BPPT itu sudah dilaporkan ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Departemen Pertanian pada Februari lalu. "Tidak ada tanggapan sama se-kali," ujarnya.

Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Soebagiono, malah mengaku belum menerima kajian dari lembaga milik pemerintah itu. "Saya telusuri dulu ada di mana laporan tersebut," katanya. Celakanya, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) pun tak banyak membantu petani. Tempat berkeluh-kesah para petani tebu ini, kata Nurmahmudi, malah menjalin kongkalikong dengan pabrik gula dalam soal nilai rendemen itu. "Tidak ada kepedulian pengurus APTRI terhadap transparansi nilai rendemen," kata Menteri Kehutanan dan Perkebunan dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid ini.

Bahkan, kata Nurmahmudi, pengurus APTRI tak banyak membantu BPPT untuk mengurai masalah ini. Pengurus APTRI cabang Pasuruan, Jawa Timur, misalnya. Mulanya pengurus menerima kehadiran BPPT dan Istecs untuk mendampingi petani dalam perhitungan rendemen. Namun di tengah jalan mereka sekonyong-konyong menghentikan kerja sama. "Mereka mulai merasa kehadiran kami akan membongkar perhitungan rendemen yang benar ke petani tebu," ujarnya.

Perhitungan rendemen diatur dalam surat keputusan Menteri Pertanian. Untuk menghitungnya diperlukan alat dan metode khusus yang selama ini hanya dilakukan di pabrik. Rendemen yang diperoleh sangat bergantung pada kandungan sukrosa, yang merupakan bagian dari gula total. Nilai rendemen yang digunakan untuk menghitung hasil di pabrik gula adalah rasio antara hasil gula kristal dan bobot tebu yang digiling.

Sebetulnya, kecurangan nilai rendemen sudah dirasakan para petani tebu. Rasimin, petani tebu asal Kudus, contohnya. Pada 2000 dia mengaku ditipu mentah-mentah oleh Pabrik Gula Rendeng. Pada awal musim giling rendemen 50 ton tebu miliknya masih dihargai 7 persen. Tapi, 17 hari menjelang musim giling berakhir, kadar gula tinggal 4 persen. "Ini curang sekali," kata Rasimin, yang setia memasok tebu ke Rendeng sejak 1982.

Rasimin pun memutuskan bercerai dengan Rendeng. Apalagi APTRI tidak peduli pada soal-soal seperti itu. Rasimin kemudian beralih ke Pabrik Gula Madukismo di Bantul, Yogyakarta. Cara ini, kata dia, sudah cukup menghukum Rendeng. Jadi, tak perlu melaporkan penipuan ini ke Departemen Pertanian atau aparat berwenang lainnya.

Ternyata Rasimin tidak sendiri. Masih ada puluhan petani asal Kudus, Jepara, Pati, dan Rembang yang ikut-ikutan menjalin kerja ke Madukismo. "Tiap kuintal tebu dihargai Rp 20 ribu," kata Taufiqurohman, petani asal Kudus. Bandingkan dengan Rendeng, yang hanya mau membayar Rp 16 ribu per kuintalnya. Belum lagi, kata dia, pembayarannya kerap kali telat. Pendeknya, Madukismo lebih menguntungkan.

Pengelola Rendeng membantah temuan BPPT dan Istecs. "Dengan pendekatan analisis seperti apa sehingga muncul kesimpulan itu (manipulasi nilai rendemen)?" kata Kepala Tata Usaha Pabrik Gula Rendeng, Heri Mulyadi, dengan nada tinggi. Penilaian rendemen milik petani mengacu pada kualitas tanam: masak, bersih, dan segar.

Heri menjelaskan, tebu butuh perlakuan istimewa, baik pada masa tanam maupun musim giling. Masa tanam memerlukan waktu 10 bulan. Petani sering mengabaikan aturan ini. Sebelum proses penggilingan, tebu harus segar dan bersih dari kotoran slamper. "Jika tidak bersih, tebu kami bongkar untuk dibersihkan dan dikenakan denda Rp 40 ribu," ujarnya, yang mengaku belum menerima kajian BPPT itu. "Tidak ada kecurangan dalam soal rendemen."

Bantahan serupa datang dari APTRI. Ketuanya, Abdul Wahid, malah menuding balik kajian BPPT dan Istecs mengada-ada. Namun Nurmahmudi hakul yakin akan temuan timnya. Untuk itu, dia meminta pemerintah mengambil sejumlah langkah strategis untuk menghilangkan praktek curang pabrik gula itu. Caranya, transparansi dalam penentuan rendemen.

Soalnya, mekanisme saat ini membuka peluang munculnya praktek penyimpangan. Selain itu, katanya, industri gula membutuhkan dukungan permodalan yang tangguh dan pengadaan bibit unggul. "Untuk meningkatkan rata-rata rendemen dan produksi tebu nasional," kata bekas Presiden Partai Keadilan ini.

Andai kata praktek manipulasi rendemen bisa dihilangkan sama sekali, bukan tidak mungkin Rasimin, Taufiqurohman, dan puluhan petani tebu asal Kudus lainnya kembali ke Rendeng. Nilai kadar gula dalam tebu milik petani bisa dihargai kembali di kisaran 7 persen. Kalau itu terjadi, kata Rasimin, "Saya pun siap rujuk lagi."

Stepanus S. Kurniawan, M. Nafi (Jakarta), Bandelan Amarudin (Kudus)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus