Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH hampir dua tahun, Garuda Indonesia akhirnya punya pilot baru. Dua pekan lalu, Emirsyah Satar dilantik menjadi orang nomor satu di perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia itu. Dia didampingi dua anggota direksi baru, Agus Priyanto dan Soenarko Kuntjoro.
Emirsyah, yang sebelumnya Wakil Direktur Bank Danamon, akan diawasi Dewan Komisaris Garuda yang dipimpin Abdul Gani. Duet ini bukanlah orang baru bagi Garuda. Abdul Gani adalah Direktur Utama Garuda sebelum digantikan Indra Setiawan. Ketika itu Emirsyah menjadi direktur keuangan.
Pelantikan Emirsyah paling tidak memupus berbagai rumor yang berseliweran di seputar Garuda selama hampir dua tahun terakhir. Pada Juni 2003, Indra Se-tiawan habis masa jabatannya. Namun, pemerintah tak juga mengganti dia meski sejumlah nama sempat beredar, di antaranya Samudera Sukardi dan Arwin Rasyid.
Kondisi Garuda sendiri makin buruk dalam setahun terakhir. Tahun lalu, misalnya, Garuda babak-belur dihajar kompetisi yang kian ketat dan banyaknya persoalan eksternal, seperti bom dan berbagai penyakit endemi di Asia. Komisaris Utama Garuda, Marsillam Simanjuntak, bahkan sudah mengajukan surat pengunduran diri berkait dengan berlarut-larutnya persoalan direksi Garuda.
Dengan dilantiknya Emirsyah, Garuda bolehlah kini bernapas lega. Toh, tetap ada cerita berbumbu menarik di balik pelantikan Emirsyah. Kabarnya, Deputi Logistik dan Pariwisata Menteri Negara BUMN, Ferdinand Nainggolan, diberitakan tak bersedia melantik Emirsyah. Dia bahkan tak hadir ketika pengambilan sumpah itu dilakukan. Menteri Negara BUMN, Sugiharto, akhirnya mengambil alih tugas itu.
Sumber Tempo mengatakan, Ferdinand merasa tak dilibatkan dalam pemilihan kali ini. Situasi ini sangat kontras dengan kondisi ketika Laksamana Sukardi menjadi Menteri Negara BUMN. Ketika itu Ferdinand selalu dilibatkan dalam penentuan direksi. Tak hanya di perusahaan penerbangan, tapi juga di sebagian besar perusahaan negara lainnya di bawah koordinasinya. Di bawah Laks, pelantikan direksi BUMN juga biasanya dilakukan para deputi.
Sugiharto membantah Ferdinand menolak melantik. "Itu wewenang menteri," ujarnya. Tak hadirnya Ferdinand karena sedang bertugas di Amsterdam, Belanda, selama sepuluh hari sampai hari pelantikan. Karena itu, Sugiharto mengakui Ferdinand juga tak mengetahui keputusan pelantikan itu.
Ferdinand, yang dihubungi Tempo melalui telepon selulernya ketika sedang berada di Tarutung, Sumatera Utara, membantah berseberangan dengan bos-nya. Menurut Ferdinand, dia dan tim memang mengajukan Emirsyah Satar menjadi salah satu kandidat yang diajukan kepada Sugiharto. "Emirsyah sudah melalui proses penyaringan, termasuk uji kelayakan tim," katanya.
Namun, dia mengakui dua nama direksi lainnya tidak masuk dalam daftar nama kandidat yang ia calonkan. Dia juga mengaku tidak dilibatkan dalam rapat penentuan akhir. "Laksamana Sukardi selalu mengajak bicara deputinya pada tahap final," kata Ferdinand. Walaupun begitu, katanya, wajar saja kalau menteri mengangkat nama lain di luar yang ia ajukan, karena itu menjadi hak dan wewenang menteri.
Ferdinand, yang sebelum berlibur ke Tarutung bertugas di Medan selama dua hari, mengatakan mungkin ada hal yang sang Menteri tidak ingin Ferdinand mengetahuinya. Dia berkali-kali meminta tidak dikonfrontasi dengan sang bos. "Tolong tulis yang baik saja," katanya. "Saya ingin mengakhiri ini baik-baik."
Sugiharto mengatakan, pemilihan direksi Garuda Indonesia tidaklah gampang. "Kami harus melakukan analisis masalah Garuda Indonesia dulu," katanya. Keuangan Garuda yang memprihatinkan membutuhkan direksi yang bisa melakukan restrukturisasi dan membuat kinerjanya kembali moncer. Dan Emirsyah, yang memiliki latar belakang keuangan, dinilai bakal bisa menerbangkan Garuda lebih tinggi.
Posisi utang yang kini masih US$ 845 juta memang menyulitkan Garuda. Setiap tahun perusahaan ini mesti merogoh sekitar US$ 110 juta untuk membayar utang. Dengan kompetisi yang sangat ketat belakangan ini, beban utang seperti itu membuat Garuda tak bisa leluasa terbang. Emirsyah-lah yang kini mesti membereskannya.
Leanika Tanjung, Agriceli, Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo