Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia mengkritik rencana pemerintahan untuk mengubah 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air. Langkah ini dianggap sebagai ancaman serius bagi komitmen Indonesia dalam melestarikan iklim dan biodiversitas, serta berisiko memperburuk kerusakan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji mengatakan langkah itu berisiko memicu deforestasi lebih lanjut di hutan alam Indonesia. Pemerintah juga dianggap kurang transparan dalam merinci rencana penggunaan 20 juta hektare lahan tersebut. "Pemerintah seharusnya menyetop deforestasi jika benar-benar ingin menghindari bencana iklim yang lebih parah," kata Sekar dalam keterangan tertulis pada Selasa, 7 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemerintahan ini juga dinilai bertentangan dengan langkah pemerintah sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo, yang dalam Rencana Operasional Folu Net Sink 2030 menetapkan kuota deforestasi hingga 10,43 juta hektare pada periode 2021-2030. Jumlah tersebut setara dengan hampir seperempat luas Pulau Sumatera dan dapat melepaskan lebih dari 10 juta gigaton CO2 ke atmosfer.
Salah satu aspek yang mendapat sorotan tajam adalah pandangan Presiden Prabowo Subianto tentang ekspansi kebun sawit. Pernyataan Prabowo yang menyebutkan bahwa Indonesia perlu memperluas lahan sawit dan tidak perlu khawatir tentang deforestasi, dinilai sangat berisiko bagi masa depan hutan Indonesia. "Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Prabowo gagal memahami permasalahan dasar tentang hutan dan kebijakan bebas deforestasi yang diterapkan oleh Uni Eropa," tutur Sekar.
Retorika kedaulatan pangan dan energi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah hanya menjadi dalih untuk membuka lahan sawit, seperti yang terjadi di lahan food estate Gunung Mas yang dikelola Kementerian Pertahanan. "Ini bisa menjadi bencana bagi masyarakat adat, seperti masyarakat Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ekspansi kebun sawit," katanya.
Krisis Iklim
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyatakan alih fungsi hutan secara masif akan semakin memperparah krisis iklim yang sudah dihadapi Indonesia. "Alih fungsi lahan tidak hanya akan meningkatkan emisi karbon, tapi juga berpotensi memicu kebakaran hutan dan kabut asap, terutama jika dilakukan di lahan gambut. Hal ini akan menggagalkan upaya Indonesia untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon sesuai dengan Perjanjian Iklim Paris,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Selasa.
Selain itu, sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Indonesia memiliki kewajiban untuk menghentikan kepunahan spesies yang disebabkan oleh aktivitas manusia, dengan target pengurangan deforestasi yang tertera dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, laporan dari Global Carbon Project yang dirilis akhir 2023 menunjukkan bahwa emisi karbon Indonesia terus meningkat, menjadikannya sebagai negara penghasil emisi terbesar kedua dunia dari sektor lahan.