KEKAYAAN Prajogo Pangestu pekan lalu amblas Rp 630 miliar. Kerugian besar yang tiba-tiba itu bukan karena sang raja kayu kalah dalam spekulasi valas. Tapi karena harga saham-saham Barito Pacific Timber di Bursa Efek Jakarta, dalam 5 hari anjlok 15% menjadi Rp 8.600 per lembar. Sial memang! Dan saham Barito tidak rugi sendirian. Dan karena saham itulah yang menjadi anutan selama ini, maka ia pun menarik harga saham-saham lain meluncur turun. Saham Bakrie Brothers yang blue-chips pekan lalu ikut menderita rugi. Faktor penyebabnya adalah kebijakan yang diambil Allan Greenspan, Ketua Federal Reserve Bank, AS. Senin pekan lalu bos bank sentral AS itu menaikkan lagi suku bunga Fed Fund (FF) dari 3,50% menjadi 3,75%. Fed Fund adalah surat berharga jangka pendek yang dikeluarkan bank sentral AS -- mirip Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di sini. Naik-turunnya bunga FF akan menjadi tolok ukur bagi suku bunga deposito di Amerika. Apa yang dilakukan Greenspan itu sepintas memang kecil (kenaikan bunga 0,25%). Tapi, tindakannya Senin pekan lalu itu terasa lebih menohok, karena sudah ke-3 kalinya dilakukan dalam 10 pekan terakhir. Ada dugaan, bulan Mei ini dia akan mengambil tindakan yang sama. Itu jika ada indikasi kuat bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan terus melaju. Kebijakan Fed tadi dimaksudkan untuk membendung pertumbuhan ekonomi agar tidak melaju terlalu cepat, hingga mengobarkan inflasi. Pertumbuhan ekonomi AS, yang diukur dalam Produk Domestik Bruto (GDP) pada triwulan I 1994, sudah mencapai 7,5% -- lebih tinggi dari periode yang sama tahun (Januari-Maret) 1993. Sedangkan inflasi tercatat 2,6%. Dampak dari langkah Fed tadi, para manajer dana internasional langsung membuat proyeksi. Daya beli konsumen akan berkurang, khususnya mereka yang biasa membeli dengan kartu kredit atau mencicil kredit rumah dan mobil. Dunia bisnis tentu akan terpukul dan harga saham jatuh. Maka, ramailah para manajer dana melemparkan saham-saham perusahaan di bursa New York (Wall Street) dan memindahkan investasinya ke bank. Gegap gempita di pasar uang dan pasar modal AS segera menjalar ke Indonesia. Beberapa manajer dana luar negeri diduga terpaksa menjual saham mereka di Jakarta, karena harus menutup modal mereka yang susut di Wall Street atau di bursa Tokyo. "Untuk diketahui, saham Barito yang dijual di bursa tahun lalu kini lebih dari 90% sudah di tangan investor luar negeri," kata Presdir Barito Pacific Timber, Yoso A. Gautama. Nah, boleh jadi investor asing itu kecewa atas penampilan Barito, yang diperkirakan cuma menghasilkan 3% untuk per lembar saham, atau separuh dari bunga deposito dolar. Otomatis, jatuhnya harga saham memicu gairah di kalangan bankir. Untuk mereka yang mau mendepositokan Rp 1 miliar ke atas, bankir menawarkan bunga 2% di atas bunga deposito yang rata- rata 12% per tahun. "Kenaikan 2% itu terpaksa dilakukan supaya pemilik uang tidak lari ke deposito di luar negeri," kata seorang Wakil Presiden Direktur dari sebuah bank swasta di Jakarta. Bankir tadi mengakui bahwa dewasa ini ada semacam larangan tak tertulis dari BI, agar bank tidak menaikkan suku bunga. Gubernur BI Soedrajad Djiwandono toh tidak melarang. "Suku bunga di AS memang naik. Tapi itu bukan kecenderungan global. Perbankan Indonesia tidak harus langsung menaikkan suku bunga. Lihat dulu kebutuhannya," kata Soedrajad, usai berbicara dalam seminar di Klub Enteos, Jakarta, Kamis pekan lalu. Jadi, bank-bank pemerintah sudah dipastikan tidak akan menaikkan suku bunga. Bukan karena "budaya takut" pada atasan, tapi karena mereka sekarang lagi tak membutuhkan dana untuk ekspansi kredit. Dirut BNI Winarto Sumarto bahkan berpendapat bahwa tidak akan terjadi pelarian modal. Alasannya, suku bunga deposito rupiah di sini masih lebih menguntungkan dari deposito dolar. Deposito rupiah rata-rata masih sekitar 11% per tahun, sedangkan simpanan dolar di Singapura berbunga paling tinggi cuma 5,187% per tahun. Kabarnya, ada kekhawatiran di kalangan bankir bahwa para pemilik dana besar (Rp 1 miliar ke atas) akan memindahkan simpanannya di bank luar negeri. "Bukan karena suku bunga di luar negeri melonjak, tapi karena kerusuhan di Medan serta isu-isu yang menegangkan di Jakarta," kata salah seorang bankir. Jutawan di Indonesia, kata sumber tadi lagi, cukup banyak. Simpanan Rp 1 miliar ke atas di bank swasta terbesar, katanya, meliputi 40% dari deposan. "Itu sebabnya bank akan merayu pemiliknya agar tidak lari," tambah sumber tadi. Menurut Winfried Tongken, mantan karyawan BDN yang kini menjabat Direktur Utama Yama Bank, dewasa ini dana sulit. Pemilik dana lihat-lihat inflasi, dolar naik terus, deposito rupiah rendah. "Banyak orang investasi dalam apartemen sehingga banyak dana mati," tambah Tongken. Bankir dari Kelompok Citra Lamtoro Gung itu mengatakan, mungkin dia akan menaikkan bunga deposito sekitar 1%. "Itu akan saya lakukan jika bank butuh untuk ekspansi kredit," kata Tongken terus terang. Dirut Tata Bank, Aninda Sardjana, juga menaikkan suku bunga untuk nasabah tertentu. "Untuk nasabah baru dengan deposito besar diberikan bunga 1% - 1,5% di atas tarif yang berlaku," katanya kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Tampaknya, suhu ekonomi perbankan di sini agak memanas. Masalahnya sekarang, apakah kenaikan suku bunga Fed tadi secara tidak langsung berimbas pada ekspor nonmigas dan beban utang kita? "Beban utang luar negeri pemerintah tidak akan terpengaruh, sebab bunganya tidak berubah-ubah. Utang swasta mungkin terpengaruh, sebab pinjaman mereka terkait pada LIBOR mengambang," ujar Dono Iskandar, Kepala Badan Analisa Keuangan & Moneter di Departemen Keuangan. Pukulan Greenspan di Washington ternyata bergaung juga di LIBOR (suku bunga pinjaman antarbank di London). Buktinya, sejak Senin pekan lalu LIBOR telah melonjak dari 5,062% menjadi 5,93%. Dampaknya tentu akan dirasakan bank-bank devisa serta perusahaan seperti Astra International, yang mempunyai pinjaman dengan bunga patokan LIBOR. Seorang eksekutif bank devisa yang mempunyai pinjaman luar negeri sebesar US$ 100 juta mengakui bahwa jika pinjaman diperpanjang maka akan dikenai bunga sekitar 25% lebih tinggi. Secara makro, hal tersebut akan memperberat beban utang luar negeri Indonesia. Maklum, 42% dari pinjaman luar negeri kita (sekitar US$ 90 miliar) adalah utang perusahaan swasta. "Saya kira, dampak dari kenaikan Fed Fund akan ada kenaikan (beban) sekitar US$ 100 juta," kata Mari Pangestu, pengamat dari CSIS. Tapi gebrakan Fed diperkirakan tidak akan terlalu berdampak bagi ekspor nonmigas. "Mungkin hanya terasa pada pemasok barang dengan kredit, karena biayanya akan naik," kata Mari. Pendapat Dono Iskandar juga sama. Ekspor itu secara langsung bergantung pada permintaan, bukan pada suku bunga. "Tapi, kenaikan suku bunga di AS akan menyebabkan kredit tidak sebesar biasanya. Aktivitas bisnis rendah, sehingga permintaan pun menurun," demikian Dono.Max Wangkar, Bambang Aji, Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini