YANG ditunggu-tunggu para "pecandu" kasus Eddy Tansil-Bapinda akhirnya muncul juga di Kejaksaan Agung. Kurang 10 menit dari pukul 8 pagi, sedan warna krem metalik yang mengantarkan Sumarlin tiba di gedung utama lembaga pimpinan Singgih itu. Sambil menjinjing tas kulit berwarna hitam, Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) ini bergegas menuju ruang kerja Singgih. Kedatangannya Jumat pekan lalu adalah untuk memberikan keterangan tambahan tentang pembobolan Rp 1,7 triliun di Bapindo. Selain Singgih, dalam ruangan yang sama telah menunggu Jampidsus (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus) A. Soetomo dan dua jaksa senior lainnya. Setelah berbasa-basi tak lebih dari 5 menit dengan Singgih, bekas Menteri Keuangan ini langsung disodori beberapa lembar kertas yang berisi 20 pertanyaan. Jawaban Sumarlin memang diperlukan untuk melengkapi 25 jawaban tertulis yang telah disampaikannya pertengahan bulan lalu. Tak sampai 40 menit, kertas itu kembali disodorkannya kepada tim pimpinan Singgih. Setelah itu, seorang pastor menuntunnya untuk membacakan sumpah. Semua serba lancar dan santai. Lebih dari itu, adalah Sumarlin yang kabarnya meminta kepada Singgih agar diberi kesempatan menjawab pertanyaan wartawan. Dalam "jumpa pers" 5 menit ini, lelaki kelahiran Blitar itu menyatakan, "Siap hadir di persidangan bila diperlukan." Tapi ketika pertanyaan mengarah pada keterlibatannya dalam skandal uang negara Rp 1,7 triliun, Sumarlin menghindar. "Seorang saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah dapat tidak hadir di persidangan. Kan begitu prosesnya," kata Sumarlin seraya melirik ke arah Singgih. Menurut sumber TEMPO, pertanyaan untuk Sumarlin adalah seputar pertemuan 2 Juni 1992. "Kami mau mengecek keterangan Sjahrizal dan Towil," ujarnya. Sebagaimana pernah diberitakan, rapat direksi Bapindo 2 Juni 1992 yang dipimpin Sjahrizal pada intinya memutuskan penghentian kucuran kredit bagi Eddy Tansil. Namun, petangnya -- ini cerita Towil kepada penyidik -- Sjahrizal, yang saat itu menjabat sebagai Direktur II Bapindo, dipanggil oleh Dirjen Moneter Oscar Suryaatmadja (almarhum) untuk menghadap Sumarlin. Sepulangnya dari kantor Sumarlin, Sjahrizal membatalkan keputusan rapat direksi sebelumnya. Singkatnya, kredit untuk Eddy, yang semula dihentikan, lalu dikucurkan kembali. "Berdasarkan hasil pembicaraan itu, maka diterbitkanlah faks UWL I Nomor 458 tanggal 3 Juni 1992 kepada Golden Key dan tembusan ke cabang Jakarta," jelas Towil. Keterlibatan Sumarlin kian jelas, ketika jaksa mendesak Towil dengan pertanyaan, "Siapa yang bertanggung jawab dalam keputusan menyimpang seperti Yang teriadi pada 16 Juni 1992." Jawaban Towil, "Secara hukum, para anggota dewan direksi yang bertanggung jawab atas KRD (keputusan rapat direksi). Namun secara moral, Bapak J.B. Sumarlin, yang pada waktu itu selaku Ketua Dewan Pengawas Bapindo, ikut pula bertanggung jawab." Towil juga mengakui bahwa penerbitan banker's acceptance bagi Eddy Tansil tadi telah bertentangan dengan UU Perbankan (14/67) tentang jaminan. "Tapi sesuai pengarahan Menteri Keuangan kepada Sjahrizal, maka ketentuan dalam undang-undang itu tak terpikir oleh direksi," kilahnya. Apakah saat itu memang ada kehendak dari para direksi untuk menyetujui permohonan kredit Golden Key?" tanya penyidik. "Ya, karena permohonan itu diajukan dengan referensi dari Menko Polkam Sudomo dan dukungan Menteri Keuangan Sumarlin. Bahkan menurut business feeling direksi, proyek itu cukup baik," kata Towil. Tapi keterangan Towil dan Sjahrizal yang banyak menyebut-nyebut Sumarlin itu, menurut sumber TEMPO, dibantah habis oleh Sumarlin. Bekas menteri keuangan itu memang begitu percaya diri dan menebar senyum ke sana kemari. Sebaliknya, Nasruddin Sumintapura, yang diperiksa Sabtu pekan lalu, justru tampak tegang. Jika Sumarlin tiba kurang 10 menit dari pukul 08.00, Nasruddin kelebihan 10 menit. Dan saat keluar dari sedannya, Mitsubishi Eterna warna maroon, bekas Menteri Muda Keuangan itu memperlihatkan senyum hambar. Ketika menyelesaikan "soal" yang diajukan Singgih, Nasruddin -- kini anggota DPA -- perlu waktu hampir 2 jam. Menjelang pukul 10.00, barulah ia selesai. Ketegangan Nasruddin juga terlihat, ketika memberi keterangan pada wartawan. Kendati tanyajawabnya cukup singkat, tapi suaranya getir, matanya berkaca-kaca. Ia disebut-sebut menerima tembusan surat Sudomo kepada Direktur Utama Bank Exim (1989) dalam kaitannya denan pembiayaan proyek Eddy. Soal tembusan surat Sudomo itu diakuinya. "Tapi, bunyinya saya lupa," kata Nasruddin. Ini bertentangan dengan keterangannya beberapa waktu lalu. Kepada TEMPO ia bersumpah, tidak tahu-menahu soal pengucuran kredit kepada Eddy. Dosen Fakultas Ekonomi UI ini juga santer diisukan ikut menelepon Sjahrizal pada 2 Juni 1992. Ketika ditanyai soal ini, ia tak mau menjawab. "Saya kira itu sudah materi persidangan," katanya. Ia juga tak menjawab pertanyaan seputar isu uang imbalan. Dalam satu hal, Nasruddin menyamai Sumarlin, yakni siap diajukan sebagai saksi di persidangan. " Ditegaskannya juga, ia tak akan mundur sebagai anggota DPA. Kembali ke soal Sumarlin. Meski sikapnya di hadapan tim kejaksaan tampak lebih "menguasai medan", Guru Besar Fakultas Ekonomi UI itu tak lepas dari kecaman. Pengacara Sjahrizal, Mohamad Assegaf, menyatakan, di persidangan nanti ia akan memohon kepada hakim untuk mengajukan Sumarlin ke depan majelis. "Kalau sekadar keterangan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dengan sumpah, kami kan tak bisa mengorek lebih dalam lagi. Itu sama halnya kami menghadapi kertas mati," kata pengacara yang berpengalaman membela Dicky Iskandar Dinata ini. Menurut Assegaf, keterangan di bawah sumpah hanya berlaku bagi saksi yang diduga keras tak mampu hadir di persidangan. Misalnya, orang sakit yang kondisinya bisa bertambah parah bila mesti hadir di pengadilan. Selain itu, aturan tersebut dimaksudkan bagi seseorang yang mengemban tugas negara dalam jangka waktu lama, misalnya harus berperang ke Bosnia. Yang juga sebal mendengar ucapan Sumarlin adalah Hakim Agung M. Yahya Harahap. Menurut Yahya, yang berhak memutuskan hadir atau tidaknya saksi di pengadilan adalah hakim. "Di sini hakim harus betul-betul memperhitungkan asas imposibilitas atau ketidakmungkinan," katanya. Orang memang boleh tak hadir karena telah memberi kesaksian di bawah sumpah, misalnya, karena lokasi pengadilan sangat sulit dijangkau dari kediaman saksi. Yahya lebih jauh menjelaskan, bilamana saksi merupakan kunci permasalahan, hakim wajib menghadirkannya ke persidangan. "Dan bila yang bersangkutan tidak mau, hakim dapat melakukan upaya paksa," ujarnya lagi.Andi Reza Rohadian dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini