Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lebih dari sepekan gula pasir langka di pasar dan di toko-toko di Pontianak dan sekitarnya. Kalaupun ada, harganya naik gila-gilaan. Dari biasanya Rp 11-12 ribu per kilogram, sekarang mulai dijual di atas Rp 16 ribu. Bahkan di daerah hulu Kalimantan Barat harga gula tembus sampai Rp 20 ribu.
Kelangkaan yang baru terjadi dalam beberapa pekan terakhir itu terhitung luar biasa. Sebab, menurut data yang dihimpun Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Kalimantan Barat Syarif Usman Almuthahar, stok gula di wilayah itu sebenarnya sudah kosong sejak 16 bulan lalu. Tak ada lagi gula pasir yang biasanya didatangkan para pedagang dari pabrik-pabrik atau distributor di Jawa. "Kalau selama ini gula masih beredar di Kalimantan Barat, berarti itu gula ilegal," Usman memastikan, Kamis pekan lalu. "Baik yang dijual di pasar modern maupun pasar tradisional sama saja, itu gula rafinasi untuk industri, rembesan dari Malaysia."
Pernyataan Usman diperkuat oleh Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalimantan Barat Mahmudah. Menurut dia, 15 pedagang antarpulau yang terdaftar melaporkan saat ini hanya tersisa stok gula pasir satu ton. Padahal kebutuhan kristal manis ini di wilayah tersebut 6.400 ton per bulan.
Para pedagang itu tak mau mendatangkan gula dari Jawa karena harganya lebih mahal. Apegti mencatat, dalam kurun 16 bulan kekosongan stok itu, sedikitnya ada 88 ribu ton gula ilegal datang dari berbagai penjuru. Ada yang dari Thailand, Cina, India, bahkan Pakistan. Semuanya masuk melalui Kuching, Sarawak, Malaysia, yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Barat. Akibatnya, negara dirugikan Rp 156 miliar dari pajak dan bea impor yang tak dibayarkan.
Berbulan-bulan bebas beredar, belakangan gula haram dari negeri tetangga itu dirazia polisi. "Gula mentah yang masuk itu tidak cocok untuk dikonsumsi langsung manusia, karena untuk pabrik dan farmasi," kata Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Arie Sulistyo, Kamis pekan lalu. "Penertiban ini tak bisa ditawar."
Arie menjelaskan, gula impor masuk melalui pos pemeriksaan di Entikong, dan dipasok dari pergudangan gula di Pasar Tebedu Baru, yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pintu perbatasan itu ke arah Sarawak. Setelah gencar dirazia, menurut Arie, saat ini ratusan truk pengangkut gula tertahan di perbatasan. "Tapi polisi tak bisa memeriksa mereka. Karena kawasan perbatasan Entikong menjadi kewenangan Bea-Cukai," ujarnya.
Kesulitan lain terkait dengan panjangnya garis perbatasan di antara kedua wilayah, yang mencapai sekitar 850 kilometer. Selain melalui pintu resmi seperti Entikong, ada paling kurang 52 jalan lintas batas yang tak dijaga. "Jalan tikus" itu menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Sarawak. Sesuai dengan Perjanjian Dagang Lintas Batas 1970, tiap warga di perbatasan memiliki kuota belanja hingga 600 ringgit per bulan atau sekitar Rp 2,1 juta untuk membeli barang konsumsi dan perkakas lainnya. "Kuota belanja itu dimanfaatkan untuk membeli gula di Malaysia," Arie melanjutkan.
Gula dari kuota masyarakat itulah yang kemudian ditampung para pedagang. Mereka masih bisa menangguk untung lantaran harganya lebih murah dibandingkan dengan gula pasir legal dari Jawa. Di pasar Malaysia, gula pasir dibanderol Rp 6.000 per kilogram. Lalu ditambah biaya angkut dan ongkos "keamanan" di perbatasan dan sepanjang jalan, paling banyak Rp 2.000 setiap kilogramnya.
Lewat operasi penertiban, polisi telah menyita 717 ton gula pasir bersama dengan barang bukti lain, seperti kapal pengangkut dan kendaraan aneka jenis. Ada pula gula yang disamarkan dengan menyembunyikannya dalam mesin jahit yang dikirim. "Total 138 kasus dengan 139 tersangka," kata Arie. Salah satu tersangka disebut-sebut bernama A Sia, yang diketahui sebagai pemain lama bisnis gula haram di Pontianak.
Manisnya keuntungan dari rembesan gula rafinasi tak hanya menarik pedagang lintas batas seperti di Kalimantan Barat. Di Jawa, sebagai konsumen terbesar nasional, Kementerian Perdagangan juga menemukan setidaknya lima pabrik gula industri yang mereknya didapati beredar di pasar eceran, hal yang semestinya terlarang. "Ada lima pabrik gula, yang merek gulanya itu ditengarai merembes, ditemukan di pasar eceran," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina.
Tapi Srie buru-buru mengatakan belum bisa mendeteksi siapa persisnya pemain gula yang nakal itu. "Dari audit dengan PT Sucofindo, belum ada indikasi jelas pabrik gula mana yang menjual produk gula rafinasi ke pasar eceran. Bisa saja itu pemalsuan," ujarnya. Dia mengatakan, dari 44 perusahaan distributor gula rafinasi, sudah 30 perusahaan yang diperiksa. Jadwalnya, audit akan selesai pada akhir Oktober ini.
Pemeriksaan juga dilakukan atas perusahaan distributor karena pabrik gula rafinasi bisa menjual 20 persen produksinya lewat distributor, bukan langsung ke industri makanan dan minuman. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan perembesan gula untuk industri ini sangat mungkin terjadi. "Ini rawan, terutama untuk industri rumah tangga yang memproduksi makanan dan minuman," kata Panggah.
Banyaknya bukti perembesan gula mentah dan rafinasi ke pasar eceran inilah yang pada Kamis pekan lalu memicu ketegangan dalam rapat Dewan Gula Indonesia di kantor Kementerian Pertanian. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil mempertanyakan mengapa pemerintah menyetujui impor gula mentah melampaui kebutuhan industri. "Kebutuhannya 1,4 juta ton, tapi tahun ini impor gula mentah sudah hampir 3,5 juta ton," katanya kepada Menteri Pertanian Suswono, yang memimpin rapat. Hadir pula di sana perwakilan dari Kementerian Perdagangan dan beberapa instansi lain.
Mendengar pertanyaan itu, Arum bercerita, Suswono malah kaget. "Pak Menteri mengatakan izin impor itu sudah melampaui kewajaran," katanya. Sebaliknya, Srie Agustina yang juga hadir balik menuding, setiap izin impor gula mentah harus mendapat rekomendasi dan persetujuan Kementerian Pertanian. "Jadi tegang dan saling adu argumen. Buat kami, impor yang berlebihan ini jelas membunuh petani tebu."
Seusai rapat, Suswono mengatakan produksi gula kristal putih nasional tahun ini diperkirakan hanya 2,54 juta ton, atau turun 1,77 persen dibanding tahun sebelumnya. "Anomali iklim, yang seharusnya musim kering malah hujan berkepanjangan, yang akhirnya menurunkan rendemen. Dari sisi produksi tebu sebetulnya naik," ujar Suswono.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mengakui inefisiensi di pabrik gula masih cukup tinggi. Gamal beralasan, kebanyakan pabrik gula di Indonesia sudah berusia tua dan menggunakan teknologi lama. "Pabrik tua sudah ompong-ompong, disuruh mengunyah, ya susah," kata Gamal sambil bercanda.
Melihat proyeksi produksi gula tahun ini, Suswono mengatakan pemerintah akan meninjau kembali rencana swasembada gula yang ditargetkan tercapai pada 2014. "Kami akan mengevaluasi secara menyeluruh, juga kebutuhan konsumsi. Berapa konsumsi rumah tangga dan industri makanan dan minuman. Jangan sampai banyak gula rafinasi merembes ke pasar. Ini tentu merugikan petani," kata Suswono.
Y. Tomi Aryanto, Bernadette Christina, Aseanty Pahlevi
Tahun | 2012 | 2013 |
Produksi gula kristal | 2,59 juta ton | 2,54 juta ton |
Produksi tebu/hektare | 72,1 ton | 76,8 ton |
Target swasembada ditunda, dengan perkiraan produksi 2014 : 3,1 juta ton
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo