Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kaget Ditelisik Kuningan

KPK mulai menelusuri kerugian negara dalam perjanjian kerja sama di Pasar Tanah Abang Blok A. Pemerintah DKI Jakarta ingin mengelola sendiri.

21 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya turun ke Pasar Tanah Abang. Perjanjian kerja sama antara PD Pasar Jaya dan PT Priamanaya Djan International milik Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz di lokasi itu diduga telah merugikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kuningan, kantor KPK, sudah meminta keterangan dua mantan Direktur Utama PD Pasar Jaya, Prabowo Soenirman dan Uthan D. Sitorus, tentang kerja sama yang telah berusia sepuluh tahun itu, Oktober ini.

"Kira-kira sebelum Lebaran lalu. Setelah itu diminta melengkapi dokumen," kata Uthan kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu, tentang pemeriksaan tersebut. Ia menerangkan, petugas KPK memintanya menjelaskan materi perjanjian, perubahan alias adendum, dan alasan perubahan. Salah satunya tentang perubahan pola bagi hasil yang semula berdasarkan total penerimaan gross (kotor) menjadi nett (bersih). Uthan beralasan, ada disposisi pimpinan dan kajian konsultan independen mengenai hal itu. "Semua dokumen pada periode kepemimpinan saya sudah saya serahkan."

Adapun Prabowo dimintai keterangan tentang proses penunjukan PT Priamanaya sebagai mitra Pasar Jaya untuk membangun dan mengelola pasar grosir terbesar se-Asia Tenggara itu. "Juga maksud dan tata cara perhitungan bagi hasil yang tertuang dalam perjanjian," kata Prabowo kepada Tempo.

Berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Nomor 1 Tahun 2003 dengan PD Pasar Jaya, PT Priamanaya mendapatkan hak membangun kembali pasar yang pernah terbakar pada 2003 itu. Pokok perjanjian itu menyebutkan, Pasar Jaya menyiapkan lahan kosong 8.900 meter persegi. Sedangkan Priamanaya menyediakan pendanaan sekitar Rp 800 miliar.

Kerja sama itu belakangan tersendat karena pola bagi hasil dan pengelolaan dianggap merugikan PD Pasar Jaya. Potensi kerugian pemerintah dalam proyek tersebut pun mulai terendus. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kelemahan perjanjian kerja sama dan pelaksanaannya. Hasil audit dengan tujuan tertentu itu diteken Kepala BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta Blucer W. Rajagukguk dan diserahkan ke Gubernur Joko Widodo pada Juni 2013.

Kelemahan yang dimaksud, antara lain, mengenai hak dan kewajiban dalam pemasaran. Berdasarkan pasal 19.1 ayat 5, Priamanaya berhak memasarkan dan menjual tempat usaha atau kios. Faktanya, selain menjual, Priamanaya menyewakan tempat usaha atau kios. Padahal urusan sewa-menyewa tidak diatur dalam perjanjian.

Berdasarkan data yang diperoleh BPK dari Priamanaya, per Oktober 2012, sebanyak 6.941 unit tempat usaha atau 88,65 persen telah terjual. Sedangkan 594 unit tempat usaha (7,59 persen) disewakan. Tapi, dalam laporannya kepada Pasar Jaya, Priamanaya hanya menyampaikan data kios yang terjual dan yang tersedia. Sedangkan tempat usaha yang disewakan tidak pernah diinformasikan.

Kelemahan lain menyangkut jangka waktu pemasaran dan pengelolaan. Jangka waktu pengelolaan, menurut pasal 11.3 ayat 1, adalah selama lima tahun terhitung sejak dimulainya pembangunan. Dengan persyaratan, apabila sekurang-kurangnya 95 persen dari total tempat usaha atau kios telah terjual atau terpasarkan, Priamanaya akan mengalihkan hak pengelolaan dan menyerahkan hak kepemilikan atas bangunan kepada Pasar Jaya.

Sebaliknya, menurut pasal 11.3 ayat 2, apabila masa pengelolaan berakhir tapi penjualan tempat usaha belum mencapai 95 persen, Pasar Jaya sepakat memperpanjang masa pengelolaan masing-masing untuk jangka waktu setahun sampai tempat usaha laku sekurang-kurangnya 95 persen. "Tidak ada penetapan batas waktu yang tegas mengenai berakhirnya masa pema­saran dan pengelolaan," demikian laporan tertulis BPK.

Kajian serupa pernah diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi DKI Jakarta, yang melakukan audit investigatif pada Mei 2010. BPKP menemukan penyimpangan dalam pembuatan ataupun pelaksanaan perjanjian yang merugikan pemerintah sedikitnya Rp 179,56 miliar.

BPKP juga menyoroti perubahan konsep bagi hasil, melalui adendum kelima. Bagi hasil yang seharusnya diterima Pasar Jaya 75 persen dari pendapatan kotor berubah menjadi penerimaan bersih, yakni setelah dipotong biaya pengelolaan, perawatan, dan pajak. Perubahan dilakukan pada periode kepemimpinan Uthan Sitorus. Uthan kepada Tempo pernah menjelaskan, ia tidak mengubah konsep bagi hasil, tapi memperjelas pasal-pasal yang berkaitan, yang tidak sinkron. Dalam perjanjian disebutkan, Pasar Jaya menerima 75 persen bagi hasil dari penerimaan pengelolaan. Di klausul lain dijelaskan, yang dimaksud penerimaan pengelolaan adalah pendapatan setelah dikurangi dengan biaya, misalnya ongkos pemeliharaan dan pajak. "Jadi saya tidak mengubah gross menjadi nett, tapi meluruskan pemahaman."

BPKP menyoroti pula pemilihan pengembang yang dinilai mengabaikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan tidak akuntabel. Indikasinya, tidak dibentuk tim pembangunan kembali pasar, tidak menyiapkan dokumen persyaratan teknis dan administratif. Padahal persyaratan itu penting sebagai acuan bagi swasta untuk mengajukan penawaran.

Sedangkan menurut perhitungan BPK, Pasar Jaya dirugikan Rp 12,4 miliar akibat kekurangan setor Priamanaya atas pembagian hasil bersih pengelolaan. Ada pula kerugian akibat biaya penerbitan sertifikat hak pemakaian tempat usaha dan surat izin pemakaian tempat usaha senilai Rp 79,9 miliar.

l l l

SELAMA dua bulan terakhir ini manajemen Pasar Jaya dan Priamanaya sudah duduk bersama untuk merundingkan kembali perjanjian pengelolaan pasar sesuai dengan rekomendasi BPKP dan BPK. Kuasa hukum Pasar Jaya, Taufik Basari, mengatakan renegosiasi dilakukan dengan mempertimbangkan hasil audit BPKP dan BPK serta putusan pengadilan. "Pembicaraan langsung oleh para pihak. Saya hanya memberi masukan sebagai kuasa hukum," kata Taufik.

Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 21 Mei lalu, memutuskan Pasar Jaya telah wanprestasi karena memutus kontrak kerja sama pengelolaan Pasar Tanah Abang Blok A. Pemutusan kontrak itu dinilai sebagai langkah sepihak. Namun majelis hakim juga menyatakan Priamanaya telah melanggar perjanjian dengan mengubah tata ruang/tata letak dan peruntukan/penempatan tempat usaha di tiap lantai tanpa persetujuan Pasar Jaya. Juga tidak membayar biaya pengelolaan pasar/service charge 5 persen untuk kios yang belum terjual, sebesar Rp 8 miliar. Persidangan kasus ini dipantau Komisi Yudisial atas permintaan tim kuasa hukum Pasar Jaya.

Menurut Desmi Hardi, kuasa hukum Pasar Jaya yang lain, di tingkat tim negosiator kedua pihak telah mencapai kesepahaman atas beberapa poin. Namun Desmi menolak menyebutkan poin-poin yang dimaksud. Dia beralasan akan mengkomunikasikan terlebih dulu dengan direksi. Perundingan itu, menurut sumber Tempo, sempat mandek beberapa pekan terakhir karena tim negosiator Priamanaya belum bisa menyampaikan hasil perundingan kepada Djan Faridz. "Bapak sedang pergi haji," seorang anggota staf Priamanaya menginformasikan.

Beberapa jam sebelum Djan Faridz terbang ke Tanah Suci, Tempo sempat meminta penjelasan mengenai renegosiasi perjanjian pengelolaan Pasar Tanah Abang Blok A. "Saya tidak tahu," kata dia dengan nada tinggi. Ia mengatakan tidak lagi berurusan dengan semua perusahaannya sejak menjadi pejabat negara. "Sejak jadi menteri, saya sudah keluar dari semua perusahaan yang saya miliki," ujarnya di Balai Kota Jakarta, 9 Oktober lalu.

Dengan demikian, Djan menambahkan, ia tidak lagi berurusan dengan persoalan pengelolaan Pasar Tanah Abang Blok A. "Tidak ada kaitan lagi dengan Blok A. Dan saya sudah tidak tahu-menahu dengan Blok A." Malah, ia mengatakan, saham yang dimiliki di perusahaannya telah dijual ke pihak lain sejak menjabat menteri. "Saya sudah tidak memiliki saham lagi," ucapnya.

Sumber Tempo yang mengetahui proses renegosiasi itu menyebutkan salah satu juru runding dari Priamanaya adalah Sartono, pengacara dari Kantor Hanafiah Ponggawa dan Rekan. "Pak Sartono yang tanda tangan di beberapa dokumen," ujar si sumber. Namun Sartono menolak memberi penjelasan. Ia membantah telah menghadiri pertemuan renegosiasi kontrak Blok A. "Setelah masalah ini masuk ke persidangan, bukan saya lagi yang menangani," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Sartono membenarkan statusnya masih sebagai kuasa hukum PT Priamanaya Djan International hingga saat ini. "Tapi saya mengurus soal lain."

Djan Faridz, menurut sumber Tempo, kaget ketika diberi tahu bahwa KPK mulai menelisik dugaan kerugian negara dalam kerja sama itu. Apalagi dua mantan Direktur Utama Pasar Jaya telah dimintai keterangan oleh komisi antirasuah itu. Saat itulah sempat terlontar pernyataan Djan untuk keluar dari Blok A.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama malah telah mengungkapkan keyakinannya bahwa Priamanaya akan mengembalikan pengelolaan Blok A kepada Pasar Jaya. "Saat ini sedang diurus prosedur pengembaliannya," kata Basuki, yang biasa disapa Ahok, di Balai Kota, 23 Juli lalu. Ia menargetkan tahun depan Pasar Jaya telah mengelola Blok A kembali. Menurut Direktur Utama Pasar Jaya Djangga Lubis, telah ada kesepakatan berdamai dengan Djan Faridz dengan merenegosiasi kontrak. "Pembicaraan sudah dilakukan beberapa kali."

Ahok menginginkan renegosiasi mengarah ke pengelolaan Blok A oleh pemerintah daerah. "Kemungkinan akan dikelola sendiri. Kalau sanggup, kami lebih milih kerjain sendiri," katanya Rabu dua pekan lalu. Ia menyebutkan beberapa alternatif untuk melanjutkan pengelolaan. Misalnya membentuk manajemen baru atau memperkuat PT Jakpro—badan usaha milik DKI Jakarta yang bergerak di bidang properti.

Jakpro, yang berisi orang-orang PT Pembangunan Jaya, diyakini mampu mengelola lebih profesional. Tidak tertutup pula kemungkinan Blok A dikelola oleh swasta melalui beauty contest. "Kalau memang kontraknya bagus dan menguntungkan, oke-oke saja."

Retno Sulistyowati, Amandra Mustika Megarani, Erwan Ernawan, Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus