Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam waktu dekat kelegaan boleh jadi akan dirasakan oleh jutaan penerima kredit usaha tani (KUT) di seluruh Tanah Air. Rapat antara pemerintah, Bank Indonesia, dan DPR, Rabu dua pekan lalu, berujung pada kesepakatan dalam penyelesaian nasib pinjaman macet sekitar 15 juta kepala keluarga tersebut.
Sebagian besar dari kredit tersebut tak lagi memiliki masa depan alias macet total. Nilainya, hingga akhir 2002, mencapai Rp 7,89 triliun. Hanya ada satu cara menyelamatkan neraca bank penyalur agar tetap "sehat": kredit dihapuskan dari pembukuan atau diputihkan.
Masalahnya, apakah semua kredit tersebut dahulu benar-benar sampai ke tangan mereka yang dituju. Dan semuanya macet karena faktor yang masuk akal atau sengaja hendak dikemplang?
Baik pemerintah maupun para wakil rakyat sama-sama maklum, kebocoran memang terjadi di mana-mana. Ini meliputi kredit yang tersalur sejak 1995 hingga 2000, tapi yang terbanyak KUT yang tersalur pada periode 1998-1999, yakni Rp 7,53 triliun.
"Kekacauan" terparah yang terjadi semasa kabinet Presiden B.J. Habibie itu berawal ketika pemerintah memutuskan agar penyaluran KUT diubah polanya dari pinjaman langsung bank ke petani menjadi pola channeling.
Dalam model ini, KUT disalurkan oleh bank kepada petani melalui perantaraan koperasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Alasan perubahan itu, kata mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Adi Sasono, karena penyaluran langsung memakan waktu terlalu lama. Akibatnya, dana yang cair acap tak sesuai dengan pola musim tanam. Pemerintah lalu menyederhanakan proses administrasi, dengan menerabas prinsip kehati-hatian bank. Ternyata justru di sinilah celah kebocoran yang menyebabkan dana itu merembes ke kantong mereka yang tak berhak.
Laporan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, yang kini dipimpin Alimarwan Hanan, dalam rapat dua pekan lalu menyebutkan: dari KUT yang tersalur secara langsung selama Oktober 1998 hingga Maret 1999 sebesar Rp 973,5 miliar, sampai kini macet hingga Rp 527,3 miliar.
Sedangkan KUT yang tersalur melalui pola perantaraan hingga Oktober 1999, ketika pemerintahan beralih ke Abdurrahman Wahid, jumlahnya jauh lebih besar, total yang macet mencapai Rp 5,76 triliun.
Alimarwan kurang sepakat dengan rencana pemutihan KUT. Penghapusbukuan, katanya, harus didahului verifikasi untuk memilah mana kredit yang benar-benar tak mungkin terbayar dan mana yang raib karena diselewengkan. Tugas yang dibebankan kepada kementeriannya itu dianggapnya berat.
Apalagi struktur organisasi kantornya berubah dari semula departemen menjadi kementerian negara, yang tak memiliki perwakilan di daerah. "Ini sulit. Kami bisa didemo tiap hari."
Alternatif yang ditawarkan Alimarwan adalah restrukturisasi utang. Pada saat bersamaan proses hukum bagi debitor bandel tetap berjalan. Untuk itulah kementerian ini mengusulkan agar kredit macet itu diubah sebagai pinjaman pemda tingkat II. "Dan akan menjadi dana bergulir selama 10 tahun," kata dia. "Utang harus dibayar."
Mereka yang di daerah agaknya juga tidak sreg dengan ide populis menjelang pemilihan presiden ini. Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, bahkan bergerak lebih cepat. Di tengah ketidakjelasan kebijakan penyelesaian kredit ini, mereka membentuk Tim Penanggulangan KUT pada 23 Oktober 2002. Beranggotakan berbagai unsur, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pemerintah kabupaten, dan beberapa aktivis koperasi, tim ini bertugas melakukan penagihan, penyitaan, dan penjualan aset untuk menyelamatkan uang negara.
Hasilnya, pada tahap pertama sebanyak Rp 1,7 miliar dapat disita dari tujuh koperasi. Nilai itu terhitung kecil dibandingkan dengan Rp 24,7 miliar yang diduga telah diselewengkan. Tahap kedua, Rp 1,6 miliar dapat ditarik dalam enam bulan. "Dana telah dikumpulkan, meskipun kami baru melakukan proses klarifikasi. Kesadaran mengembalikan utang mulai muncul," kata Harry Mulyana Sastrakusumah, salah satu anggota tim.
Apabila pemutihan itu jadi dilaksanakan, Harry bertekad mengabaikannya. Penagihan akan tetap dilakukan terhadap pinjaman KUT sejak 1996 hingga 1998 senilai Rp 351 miliar yang tersalur melalui 293 koperasi, yayasan, dan LSM.
Tim ini memperkirakan, dari jumlah itu hanya 34 persen yang benar-benar sampai ke kelompok tani. Sisanya tersangkut di penyalur yang tak bersentuhan dengan pertanian, atau bahkan lembaga fiktif yang hanya mencatut nama para petani. "Dan cuma 14 persen yang kembali menurut tanggal jatuh tempo."
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Musdiman, juga tak setuju pada pemutihan. Langkah itu dianggapnya tidak mendidik petani dan hanya akan menguntungkan pihak yang menyelewengkan uang negara ini. "Itu tidak adil," katanya. Karena dari Rp 61 miliar lebih tunggakan KUT di Sragen, hanya 80 persen yang berada di tangan petani. Selebihnya ada pada koperasi atau LSM, dan diduga terselewengkan. "Petani yang tadinya membayar diprovokasi, akhirnya ikut-ikutan ngemplang."
Sialnya, proses hukum yang sudah berjalan pun membuat Musdiman kecewa. Dalam berbagai kasus, hukuman yang dijatuhkan kepada para penjarah KUT tak sebanding, atau bahkan ada yang bebas melenggang. Kekecewaan yang sama Rabu pekan lalu meliputi puluhan orang dari Forum Penyelamat Dana Rakyat pimpinan Decky Hisyanto di Kantor Kejaksaan Negeri Bale Bandung.
Mereka terpaksa menelan ludah pahit begitu mendengar penjelasan Kepala Kejaksaan Negeri Bale Bandung Babul Khoir bahwa kasus dugaan korupsi dana KUT yang melibatkan tersangka seorang anggota DPRD Jawa Barat dan calon legislator Kabupaten Bandung tidak bisa dilanjutkan. Alasannya: bukti yang ada kurang kuat.
Satu-satunya perkara yang sampai ke meja hijau terjadi di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Soegeng Ismoe dan Soetrisno, Ketua Presidium Pusat Peran Serta Masyarakat Malang dan bendaharanya, akhirnya didudukkan sebagai terdakwa.
Mereka didakwa menggelapkan Rp 8,7 miliar lebih dari total Rp 25,972 miliar dana KUT yang diterima lembaganya. Namun, dalam sidang pada Januari 2001, majelis hakim yang dipimpin Achmad Iswandi mengetukkan palu untuk membebaskan keduanya.
Tomi A., Deden (Cianjur), Abel dan Bibin (Malang), Imron Rosyid (Sragen), Rana Akbar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo