Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOTO Pertamina "Kini Kami Berubah", yang dicanangkan pada Desember 2003, bisa kehilangan makna. Itu tak lain gara-gara keputusan direksi Pertamina dalam pembagian pendapatan proyek pipa gas Jawa Timur dengan Trans Javagas Pipeline. Dalam kesepakatan amendemen perjanjian yang diteken pada 20 April silam itu, Pertamina mendapat pembagian 56,55 persen, sisanya untuk Trans Javagas.
Jatah Pertamina ini naik sedikit dari sebelumnya. Dalam perjanjian lama yang diteken pada 1992, kedua pihak membagi pendapatan sama rata dari tarif pemanfaatan pipa sebesar US$ 0,36 per mmbtu. Sumber TEMPO menyayangkan kesepakatan tersebut. Pertamina, kata sumber tadi, mestinya bisa menekan Trans Javagas untuk menyetujui permintaan direksi Pertamina yang lama pada saat dipegang Baihaki Hakim.
Ketika itu Baihaki kukuh minta pembagian diubah dari 50:50 menjadi 70 persen untuk Pertamina, dan sisanya untuk anak perusahaan Bimantara (49 persen) ini. Sampai turun dari jabatannya pada September 2003, Baihaki tak mau mengubah permintaannya. Kini direksi baru di bawah Ariffi Nawawi memilih jalan kompromi dengan perusahaan yang komisaris utamanya masih Bambang Trihatmodjo itu.
Apa yang salah? Bukankah Pertamina lebih diuntungkan dalam perjanjian baru ini? Direktur Keuangan Pertamina, Alfred H. Rohimone, mengatakan pembagian angka tersebut muncul berdasarkan kajian konsultan independen yang ditunjuk kedua pihak, yakni BNP Paribas. Pembagian tersebut juga sudah memperhitungkan biaya atau kewajiban yang ditanggung kedua pihak. "Sudah final, tinggal ditandatangani. Tapi masih ada negosiasi untuk dibawa ke arbitrase," kata Alfred.
Hal yang sama diungkapkan komisaris Trans Javagas, Anton Tjahjono. Menurut Anton, kesepakatan itu mesti dijabarkan dalam perjanjian di luar pengadilan (out of court settlement) karena kasus ini sudah masuk ke badan arbitrase internasional. Setelah diteken kedua pihak, perjanjian itu akan diajukan ke majelis arbitrer dan disahkan sebagai keputusan majelis arbitrer.
Kasus ini memang bukan soal kecil. Amendemen perjanjian lama ini menyangkut duit US$ 1,37 miliar (Rp 12,3 triliun). Duit sebesar itulah yang akan dibagi dua. Dengan perjanjian lama yang akan berakhir pada 2014, kedua pihak akan mendapat sekitar US$ 683,28 juta. Dalam perhitungan Pertamina, jika pembagian dipertahankan menurut kontrak lama, perusahaan minyak negara ini secara riil hanya akan menerima US$ 653,78 juta, karena Pertamina harus mengeluarkan ongkos nonrutin US$ 29,5 juta. Dengan amendemen ini, Pertamina menerima pembagian pendapatan bersih US$ 772,8 juta atau ada selisih US$ 119 juta (Rp 1 triliun).
Selain itu, Trans Javagas sudah memasukkan kasus ini ke arbitrase internasional di Swiss pada 14 Maret 2003. Trans Javagas jengkel karena negosiasi amendemen perjanjian lama tak kunjung kelar meski sudah menghabiskan waktu hampir 30 bulan. Alfred mengaku, Pertamina tidak bisa banyak menuntut karena kontraknya memang menyebut pembagian pendapatan sama rata. Jika Pertamina tetap bersikeras, arbitrase internasional yang akan memutuskan. "Kita bisa dihukum membayar ganti rugi US$ 600 juta. Pertamina bisa mati," ujarnya.
Kisruh ini bermula pada Desember 2000, ketika Direktur Utama Pertamina waktu itu, Baihaki Hakim, membentuk tim untuk meneliti proyek pemasangan pipa tersebut. Tim ini menemukan fakta, ada mark-up (penggelembungan nilai proyek) sangat besar. Trans Javagas ternyata tidak mengerjakan sendiri proyek tersebut, dan mensubkontrakkan ke Nippon Steel senilai US$ 247,6 juta. Sementara itu, Trans Javagas mengklaim ke Pertamina sebesar US$ 420 juta, atau ada selisih US$ 172,4 juta atau sekitar Rp 380 miliar (kurs waktu itu sekitar Rp 2.200).
Selain itu, perusahaan milik Bimantara ini mendapat proyek pemasangan pipa 430 kilometer (Kangean, Madura-Gresik) itu tanpa tender. Pertamina juga mencatat, pendapatan yang diperoleh Trans Javagas dari proyek ini hingga 12 Maret 2001 mencapai US$ 599 juta. Pertamina yakin, pendapatan sebesar itu sudah lebih besar dari pinjaman Trans Javagas dari Bank Mitsubishi Tokyo dan Bank Dagang Negara.
Lebih dari itu, perjanjian ini juga timpang. Selama tujuh tahun pertama operasi (1994-2001), pendapatan proyek ini masuk ke kas Trans Javagas. Baru pada tahun ke-8, pendapatan dibagi dua. Anehnya, seluruh biaya operasional menjadi beban Pertamina. Atas dasar itu Baihaki mengajukan amendemen perjanjian tersebut dan meminta pembagian pendapatan 70 persen untuk Pertamina.
Kedua pihak akhirnya duduk di meja perundingan. Sementara itu, hasil pendapatan dari proyek tersebut dimasukkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank of America. Sengketa memuncak ketika Baihaki menolak meneken pencairan dana milik Trans Javagas senilai US$ 162 juta, pada September 2001. "Saya tidak mau memutihkan sesuatu yang menimbulkan masalah. Saya berani minta perubahan demi kepentingan negara," kata Baihaki.
Pembangunan pipa gas di Jawa Timur pada 1992 memang di luar kelaziman. Pengamat perminyakan dan gas Ramses Hutapea mengatakan, kontrak pembangunan pipa gas oleh Trans Javagas melanggar kontrak bagi hasil yang diteken Arco dan Pertamina. Sesuai dengan aturan kontrak bagi hasil, yang berwenang membangun pipa tadi adalah Arco, atau Pertamina, karena pembangunan pipa menjadi bagian dari biaya operasi pengembangan gas yang pembayarannya melalui cost recovery. "Kok, ini swasta yang justru membangun pipa dengan jaminan biaya pemanfaatan pipa dibayar konsumen BUMN. Jadi, negara menjaminkan proyek swasta. Ini kan lucu?" kata Ramses.
Apalagi saat ini, kata Ramses, Trans Javagas masih mendapat pembagian pendapatan meskipun proyek tersebut sudah diserahkan sepenuhnya ke Pertamina. "Jadi, pipa itu sebenarnya aset siapa?" ia bertanya. "Lucunya lagi, pembagian itu tercantum dalam kontrak." Kontrak ini sendiri dibuat pada zaman Pertamina dipimpin (almarhum) Faisal Abda'oe. DPR sebetulnya sudah mencium ada yang tidak beres dalam kontrak tersebut, bahkan sudah membentuk panitia khusus pada Juni 2001.
Ketua panitia Pertamina, Emir Moeis, mengungkapkan hasil pengkajian timnya memang menemukan ketidakseimbangan dalam kontrak tersebut. Seharusnya, kata Emir, tidak ada lagi pembagian pendapatan kepada Trans Javagas, karena pengembang sudah kembali modal dan memperoleh untung. Kalaupun akhirnya skema pembagian pendapatan tak bisa dihindari, persentasenya tidak boleh lebih dari 10 persen. "Saat itu apa pun dibuat untuk Keluarga Cendana, sehingga secara hukum kontrak itu kuat. Terjadilah penyalahgunaan kekuasaan," kata Emir, yang juga Ketua Komisi Keuangan DPR RI.
Panitia juga memberikan rekomendasi kepada Pertamina agar memperjuangkan perubahan kontrak yang lebih seimbang. Sayangnya, direksi Pertamina yang sekarang tak mau menindaklanjuti temuan tim Pertamina masa Baihaki, juga rekomendasi panitia khusus DPR. Karena itu, kata Emir, panitia khusus Pertamina DPR RI akan melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebaiknya Emir bergegas, senyampang perjanjian belum final. Jangan sampai gara-gara ancaman arbitrase internasional, Pertamina mengorbankan motonya yang dibuat susah payah itu.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo