Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas kertas, kebesaran PT Bank Mandiri Tbk. tak perlu diragukan. Tak ada bank lokal lain yang mampu menyaingi besaran aset dan modal Mandiri, yang per akhir kuartal pertama tahun ini masing-masing mencapai Rp 239 triliun dan Rp 23 triliun.
Dengan ukuran jumbo itu, Mandiri digadang-gadang sebagai bank lokal yang paling siap menjadi bank internasional, dengan modal di atas Rp 50 triliun, seperti tertuang dalam rancangan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Namun kebesaran itu kini mulai dibayang-bayangi kredit bermasalah, penyakit lama yang juga pernah menjangkiti empat bank pelat merah ketika kemudian digabung menjadi Bank Mandiri.
Salah satu petunjuk penting tentang ini terungkap dari pertemuan tertutup antara Komisi Perbankan DPR dan direksi Mandiri, yang dipimpin oleh E.C.W. Neloe, pada 10 Mei silam. Dalam acara itu, direksi memaparkan daftar kredit bermasalah 20 debitor senilai Rp 4,26 triliun.
Kredit bermasalah ini tidak termasuk ke dalam kelompok utang yang telah diusulkan dihapus dalam rapat umum pemegang saham 5 Mei lalu. Kala dikonfirmasi tentang kredit macet itu, Bank Mandiri tidak bersedia berkomentar. "Kalau sudah ramai begini, biasanya direksi memilih diam," ucap seorang juru bicara Mandiri, yang meminta tidak dikutip namanya. Tetapi ia tidak membantah kebenaran daftar debitor itu.
Jika dibandingkan dengan total kredit korporasi Bank Mandiri yang pada kuartal pertama tahun ini mencapai Rp 38,9 triliun, nilai kredit macet ke-20 debitor itu bisa dibilang kecil. Separuh dari fasilitas kredit yang macet itu nilainya malah tak sampai Rp 100 miliar.
Namun daftar itu menjadi menarik karena utang tersebut tak hanya datang dari fasilitas pinjaman untuk membeli aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tetapi, ada juga yang merupakan utang warisan dari legacy bank (bank yang turut melebur dalam Mandiri). Ada pula kredit korporasi yang disalurkan Mandiri?yang berarti berumur kurang dari tiga tahun?yang sudah macet.
Salah satu utang yang diwariskan oleh legacy bank, dan kini membebani buku Mandiri, adalah kredit ke PT Timur Jaya Cold Storage. D.E. Simanjuntak, Vice General Manager Timur Jaya, menyebut fasilitas kredit untuk Timur datang dari PT Bank Dagang Negara sekitar tahun 1980-an.
Dua puluh tahun setelah didirikan di Tanjung Balai pada 1967, Timur mendapat pembiayaan Rp 19 miliar untuk memperluas usaha ke Medan dan Langsa. Lahan bisnis yang semula penyewaan fasilitas pendingin dan pembuatan es juga turut meluas. Timur, yang dimiliki oleh Suyadi Agus, mulai terjun ke bisnis pemrosesan dan penjualan udang, ikan, dan kepah (clam).
Sayap bisnis Timur yang semakin membentang dibuntuti pula dengan pembengkakan utang. Pokok utang menjadi berlipat dua setelah bunga Rp 21 miliar ikut dikapitalisasi. Setelah pindah ke Mandiri, utang Timur malah semakin bengkak, hingga mencapai Rp 54,5 miliar. "Timur Jaya memang memiliki utang sebesar itu," tutur Simanjuntak. Tapi Simanjuntak keberatan jika utang perusahaannya digolongkan bermasalah. "Hingga tahun 2003, kami masih membayar bunga," ujar Simanjuntak.
Dalam daftar yang diterima TEMPO, utang Timur digolongkan ke dalam kredit kategori 3. Kredit dengan kolektibilitas seperti ini artinya masih ada pembayaran cicilan, meski prospek bisnisnya mulai diragukan.
Situasi bisnis Timur kini memang tengah suram. Ekspor udang beku, yang merupakan andalan Timur untuk mencari uang, tengah menghadapi kesulitan dalam penyediaan bahan baku, berupa udang black tiger.
Kesulitan Timur tak hanya berhenti di soal bahan baku. Simanjuntak mengeluhkan banyaknya pajak dan pungutan yang membebani Timur untuk bersaing dengan eksportir udang beku dari negara jiran. "Kita ini high cost dibandingkan dengan industri serupa di Malaysia," tuturnya. Dengan segala kesulitan itu, Simanjuntak yakin Timur tetap mampu melunasi pinjaman. "Aset kami Rp 143 miliar," ujarnya.
Hanya, tingkat penggunaan kapasitas Timur saat ini jauh dari normal. Ujung-ujungnya, Simanjuntak menuturkan rencana manajemen meminta tambahan pinjaman untuk diversifikasi produk. "Kami ingin menjadi produsen udang yang siap saji," kata Simanjuntak.
Kredit bermasalah juga datang dari kelompok debitor baru. Lativi, stasiun televisi swasta yang bernaung dalam kelompok Alatief Corporation, yang baru beroperasi sekitar tiga tahun, memiliki utang macet Rp 327,8 miliar.
Vice President Alatief Corporation, Harun Kussuwardhono, membenarkan bahwa perusahaannya menerima kredit dari Mandiri. Pinjaman itu digunakan Lativi untuk membiayai modal kerja (sekitar Rp 150 miliar) serta investasi peralatan (Rp 175 miliar).
Namun Harun membantah bahwa utang Lativi tergolong kredit macet. "Bank Mandiri telah setuju untuk merestrukturisasi utang kami," tutur Harun.
Lativi mengajukan permohonan restrukturisasi lantaran belum sanggup mencicil pokok utang sesuai dengan jadwal yang ditentukan. "Jadi, bukan kategori macet," kata Harun.
Untuk merampungkan restrukturisasi, Mandiri dan Lativi menunjuk PT Anugerah Cipta Investama sebagai penasihat keuangan. Gawean utama sang penasihat adalah menyusun proposal restrukturisasi utang. "Baru pada akhir Juli, kami tahu model restrukturisasinya seperti apa," Harun menambahkan.
Lativi gagal mencicil pokok utang menurut jadwal karena saat ini pendapatannya habis tersedot untuk berbelanja program acara. Harun yakin, di masa depan Lativi mampu memenuhi kewajibannya. Mengutip riset AC Nielsen yang menempatkan Lativi di posisi ke-6 dari 10 televisi swasta di Tanah Air, Harun menyebut potensi untuk tumbuh masih besar.
Yang mengkhawatirkan dari kredit ke Lativi ini adalah nilai jaminan yang boleh dibilang "ecek-ecek". Bocoran data yang diterima Tempo memperlihatkan jaminan untuk kredit yang berjangka tujuh tahun itu hanya Rp 18,2 miliar. "Mustahil jika jaminan kami hanya sebesar itu," kata Harun sengit. Dalam catatan Harun, kredit Lativi dijamin dengan aset stasiun TV yang keseluruhan nilainya ditaksir Rp 600 miliar.
Utang Lativi bukan satu-satunya pinjaman yang ditunggak oleh Alatief Corporation. Pasaraya, pengelola dua pusat belanja megah di Jakarta, juga mendapat gelontoran duit dari Mandiri. Dalam daftar debitor macet Mandiri, Pasaraya disebut mendapat dua fasilitas utang dengan nilai sekitar Rp 471 miliar. Satu fasilitas jatuh tempo pada tahun 2007 dan yang lain jatuh tempo dua tahun setelah itu. Kolektibilitas kedua fasilitas itu digolongkan Mandiri dalam kategori meragukan. "Kalau kredit Pasaraya tidak ada masalah. Yang bermasalah hanya Lativi," kata Harun.
Dari semua debitor dalam daftar tersebut, yang terbesar adalah kelompok Nusantara. Seperti telah luas diketahui, Nusantara merupakan payung bisnis dari duet pensiunan jenderal, Prabowo Subianto dan Luhut Pandjaitan.
Nusantara mengantongi pinjaman Rp 1,7 triliun untuk mengambil alih hak tagih atas Grup Kiani, yang nilai bukunya mencapai Rp 8 triliun, dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Pengalihan hak tagih menjadi kepemilikan perusahaan tersendat-sendat karena Nusantara kekurangan modal kerja. Mengundang investor baru, yang disepakati sebagai jalan keluar, ternyata bukan medan yang mudah ditaklukkan oleh kedua jenderal. Kini Nusantara tengah membujuk Asimor, yang disebut sebagai investor dari Australia, agar bersedia menjadi pemegang saham.
Menurut seorang pejabat Kiani, proses uji tuntas di tingkat operasional telah diselesaikan. Pendek kata, Asimor sudah sepakat tentang kebutuhan dana Kiani sebesar US$ 100 juta (sekitar Rp 900 miliar). "Dan mereka percaya Kiani bisa kembali bangkit," ucap sumber Tempo itu.
Thomas Hadiwinata, M. Syakur Usman, Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo