Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita Silviana setiap kali terhenti. Ia selalu gagal menahan air matanya agar tak tumpah saat hendak menuturkan harapan-harapannya yang pupus seketika bersamaan dengan penutupan Bank Global pada 13 Januari 2005. "Semua uang pesangon saya dan suami kami tabung di situ. Rencananya buat beli rumah," kata perempuan 54 tahun ini saat ditemui Rabu pekan lalu.
Krisis ekonomi yang belum sepenuhnya habis berimbas pada Silviana, yang dikenai pemutusan hubungan kerja dari perusahaan distributor obat-obatan. Suaminya pun terpaksa berhenti bekerja sebagai pegawai rendahan di sebuah bank swasta pada 2000. "Total pesangon kami berdua Rp 500 juta. Itu hasil kerja saya sejak usia 19 tahun," ujar Silviana, yang kini masih tinggal di rumah kontrakan di Sunter, Jakarta Utara. Untuk menambal kebutuhan sehari-hari, ia dan suaminya kini bekerja sebagai penunggu gereja di kawasan Roxi.
Uang hasil puluhan tahun banting tulang itulah yang sekarang ia harap bisa diperolehnya lagi. Bersama 136 rekan senasib yang tergabung dalam Ikatan Nasabah Bank Global, mereka memperjuangkan sekitar Rp 150 miliar dana yang sudah hampir sembilan tahun tertahan. Dan, beberapa pekan lalu, harapan itu kembali bergelora saat mereka diberi tahu bahwa Mahkamah Agung telah mengeluarkan fatwa terkait dengan tuntutan mereka.
Bunyi fatwa Mahkamah Agung itu sangat jelas: "…Menteri Keuangan wajib segera mengeluarkan surat keputusan untuk melakukan pembayaran kepada nasabah-nasabah PT Bank Global Internasional Tbk…". Dikeluarkan pada 13 Februari lalu, fatwa ini adalah jawaban atas pertanyaan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, yang melayangkan suratnya pada awal Desember tahun lalu.
Fatwa Mahkamah Agung yang baru mereka ketahui telah keluar itu menjadi senjata terbaru para nasabah untuk kembali meminta haknya. Mereka juga melaporkan kasusnya ke Dewan Perwakilan Rakyat melalui Komisi Keuangan dan Perbankan. "Sudah kami jadwalkan pemanggilan Menteri Keuangan untuk menanyakan hal ini," kata Ketua Komisi Keuangan Emir Moeis. Rapat itu rencananya digelar pada Senin pekan ini. "Kasihan mereka yang sudah menunggu bertahun-tahun. Dan nyatanya para nasabah memenangi gugatannya."
Anna Lukman, Koordinator Ikatan Nasabah, mengatakan gugatan mereka tak muluk-muluk. "Kami hanya menuntut uang kami kembali seperti yang terakhir tercatat di buku tabungan, tanpa bunga. Jadi sebenarnya kami sudah sangat merugi karena nilai uangnya sudah jauh berkurang akibat inflasi."
Memberi keterangan bersama Lena, sesama nasabah, Anna membantah keras anggapan bahwa duit para nasabah itu terkait dengan pemilik Bank Global yang kabur, Irawan Salim. "Kami ini nasabah biasa, tak tahu kalau manajemen dan pemilik bank melakukan kejahatan," ujar mereka. "Di antara kami ada yang tukang jahit, ada juga yang menabung untuk naik haji. Jangan karena kesalahan pengelola bank, kami yang harus menanggung akibatnya. Pemerintah seharusnya melindungi nasabah seperti kami."
Jalan panjang gugatan mereka dimulai sejak 2006, ketika Menteri Keuangan dijabat Sri Mulyani. Kerepotan menanggapi tuntutan para nasabah yang meminta uangnya dikembalikan, Sri Mulyani kemudian menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta petunjuk. Dalam surat pada 28 Maret tahun itu, Menteri Keuangan mengatakan, berdasarkan ketentuan legal, simpanan para nasabah ini tidak dijamin pemerintah karena kecurangan atau kealpaan bank. Tapi, kata dia, "…pada tataran materi/substansi, peraturan itu sendiri bisa dirasakan kurang adil bagi sebagian masyarakat."
Kerumitan situasi itu pula yang kemudian jadi alasan Sri Mulyani untuk menyarankan para nasabah agar menempuh jalur hukum ke pengadilan. Jika dikabulkan, ujar dia dalam surat yang sama, pemerintah akan memiliki dasar yang kuat untuk melakukan pembayaran.
Gugatan dilayangkan, dan ternyata menang di Pengadilan Tata Usaha Negara pada Juli 2007. Tapi rupanya pemerintah berbalik enggan membayar dan justru mengajukan permohonan banding. Sikap yang sama tetap terjadi bahkan setelah pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung menguatkan putusan sebelumnya. Terakhir putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung pada 3 Juni 2009 masih tak berubah. Intinya menyatakan pemerintah wajib membayarkan dana para nasabah.
Masih mencoba menghindar, yang dilakukan Menteri Keuangan pengganti Sri Mulyani, Agus Martowardojo, adalah meminta fatwa hukum dari Mahkamah Agung. Ia meminta penegasan apa yang harus dilakukan pemerintah terkait dengan masalah ini. Tiga bulan kemudian, fatwa yang diminta diberikan, dan isinya tak beranjak dari putusan-putusan sebelumnya.
"Sekarang pemerintah mau pakai alasan apa lagi untuk menghindar?" kata Vera Febrianti, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari Fraksi Partai Demokrat. Anggota lain dari PDI Perjuangan, Dolfie O.F. Palit, menambahkan, "Semua jalan legal sudah ditempuh para nasabah itu dan mereka menang. Pemerintah harus konsisten mematuhi hukum."
Menurut Emir Moeis, selain soal Bank Global, ada beberapa kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap yang belum dijalankan pemerintah dan akan turut dibicarakan dalam rapat Senin ini. "Pemerintah tidak boleh bersikap seperti itu," katanya. Sayang, Muhamad Chatib Basri, yang baru dilantik menjadi Menteri Keuangan pada Mei lalu menggantikan Agus Martowardojo, mengaku belum banyak tahu kasus ini. "Saya belum dengar soal fatwa itu. Nanti saya cek."
Y. Tomi Aryanto, Angga Sukma Wijaya
Sembilan Tahun Setelah Pembekuan
Megap-megap kekurangan modal pada bulan-bulan terakhir 2004, PT Bank Global Internasional Tbk akhirnya dihabisi riwayatnya melalui pencabutan izin oleh Bank Indonesia pada 13 Januari 2005. Sejak itu, pemeriksaan oleh otoritas keuangan dan polisi menemukan berbagai praktek bobrok manajemen dan pemilik bank. Banyak dana nasabah diselewengkan. Sebagian lagi tak dicatatkan sesuai dengan aturan.
Akibatnya, ratusan miliar rupiah duit pihak ketiga itu tak lolos verifikasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk diganti dalam Program Penjaminan Simpanan pemerintah. Para nasabah yang merasa dirugikan pun menggugat. Berikut ini riwayatnya.
2004
Oktober: Bank Global masuk pengawasan khusus Bank Indonesia.November: Nasabah mulai resah. Reksa dana Prudence Dana Mantap yang dibeli dari Bank Global dan depositonya tak bisa dicairkan.
Desember: BI dibantu polisi mengamankan dokumen Bank Global yang diduga akan dihilangkan. Bank Global diputuskan dibekukan. Polisi mulai memeriksa direksi bank dan menahan beberapa dari mereka. Direktur Utama Irawan Salim kabur ke luar negeri.
2005
13 Januari: BI mencabut izin PT Bank Global Internasional Tbk.
Februari-Maret: Proses verifikasi BPKP, dilanjutkan dengan pembayaran dana nasabah oleh pemerintah. Ratusan miliar rupiah simpanan dianggap bodong dan tak dijamin.
22 September: Masa berlaku Program Penjaminan Pemerintah berakhir. Masih ada Rp 150 miliar dana 136 nasabah belum dibayarkan.
2006
28 Maret: Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta petunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan nasabah Bank Global. Para nasabah mulai menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
2007
12 Juli: PTUN Jakarta mengabulkan gugatan nasabah.
14 Desember: Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menguatkan putusan PTUN.
2008
8 Mei: Putusan kasasi Mahkamah Agung memenangkan gugatan nasabah.
2009
3 Juni: Putusan peninjauan kembali MA memenangkan gugatan nasabah.
2012
3 Desember: Menteri Keuangan Agus Martowardojo meminta fatwa MA terkait dengan putusan kasasi dan peninjauan kembali yang mengalahkan pemerintah.
2013
13 Februari: MA mengeluarkan fatwa, mewajibkan pemerintah menaati putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan memerintahkan melakukan pembayaran.
8 Juli: DPR mendesak pemerintah tak menunda dan mengelak lagi dari kewajibannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo