Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUYANTO bingung membaca surat yang baru saja diantar petugas pos, dua pekan lalu. Warga Desa Mangundikaran, Kecamatan Kota Nganjuk, Jawa Timur, itu dipanggil untuk mengambil duit bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).
"Lho, Pak, kok aku dapat ini?" ia bertanya kepada Mukhlason, ketua rukun tetangga di lingkungannya. "Lha, saya tidak pernah memasukkan nama sampean ke daftar," kata Mukhlason tak kalah kaget, seperti diceritakan Suyanto kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Pria 58 tahun itu pensiunan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan jabatan terakhir kepala bagian di kantor perwakilan Kota Nganjuk. Dia juga dikenal sebagai pengusaha kelapa muda. "Saya malu menerima," ujar Suyanto. Jatah Rp 300 ribu tak mampir ke dompet, tapi langsung diserahkan kepada tetangganya, Harini. Janda 57 tahun itu hidup bersama anak sulungnya yang menjadi pengamen jalanan.
Dana bantuan tunai itu merupakan kompensasi atas kenaikan harga bahan bakar minyak. Pemerintah mengalokasikan Rp 9,3 triliun bagi 15,5 juta rumah tangga sasaran untuk empat bulan. Setiap bulan mereka mendapat Rp 150 ribu. Pencairan dana dilakukan dalam dua tahap, melalui kantor pos.
PT Pos Indonesia memberikan layanan pencairan pemberian BLSM tahap pertama, mulai 1 Juli lalu, di 410 kabupaten dan 98 kota. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono optimistis pendistribusian akan rampung 15 Juli nanti.
Informasi perkembangan pencairan dana diumumkan melalui http://www.kompensasi.info. Per Jumat pukul 11.30 pekan lalu, realisasi pendistribusian dana baru 17,74 persen atau 2.754.478 rumah tangga dengan nilai Rp 826.296.600.000.
Tempo menemukan proses distribusi dana bantuan semrawut. Banyak warga dan janda miskin tak kebagian. Sebaliknya, ibu-ibu yang mengenakan kalung, gelang, dan cincin emas berada di barisan pengantre. Sambil menunggu, mereka sibuk memencet-mencet tombol BlackBerry atau Samsung Galaxy Tab.
Aparat desa mengeluh data warga miskin penerima bantuan tak sesuai dengan yang diajukan. Lurah Mangundikaran, Gangsar, mencontohkan Harini yang tak masuk daftar. Padahal nama janda miskin itu telah diajukan sejak empat tahun lalu. "Tapi tidak pernah muncul."
Kepala Desa Clering, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, malah memutuskan tidak membagikan kartu penerima bantuan karena data penerima kacau. "Data yang menjadi rujukan daftar keluarga miskin tidak akurat," kata Ali Mahmudi, Kepala Desa Clering. Ia sempat meminta perbaikan data pada 2012, tapi Badan Pusat Statistik tidak merespons.
Di Kantor Pos Kabupaten Jember, Jawa Timur, sebanyak 60 petugas kewalahan menangani 13.232 penerima dana bantuan dari Kecamatan Patrang, Kaliwates, dan Sumbersari. Kantor pos di depan alun-alun Kota Jember itu disesaki warga yang antre.
Hujan yang mengguyur Kota Jember pada Selasa pekan lalu tak menyurutkan warga. Mereka menempuh jarak hingga 10 kilometer demi mendapatkan Rp 300 ribu. Ada yang berombongan, menyewa mobil pickup. "Urunan per orang Rp 10 ribu," ujar Sutiyah, warga Kelurahan Baratan, kepada Tempo.
Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin menjelaskan, daftar penerima bantuan mengacu pada hasil pendataan program perlindungan sosial BPS. Pencacahan dilakukan pada 2005, 2008, dan 2011 terhadap seluruh karakteristik rumah tangga sasaran dengan penyempurnaan metodologi.
Data itu diolah oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, sebagai Basis Data Terpadu yang digunakan untuk sumber penentuan rumah tangga sasaran. Hasilnya: 15,5 juta rumah tangga sasaran atau sekitar 62 juta penduduk. Asumsinya, satu rumah tangga terdiri atas empat orang.
Per Maret 2013, BPS mencatat 28,07 juta orang atau sekitar 7 juta rumah tangga miskin. Artinya, menurut Suryamin, 15,5 juta rumah tangga sasaran penerima bantuan langsung kali ini telah mencakup penduduk kategori sangat miskin, miskin, hampir miskin, dan rentan miskin. Dibanding daftar penerima bantuan tunai 2008, Suryamin menjamin data kali ini lebih akurat.
Agung Laksono berjanji akan bekerja sama dengan pemerintah daerah memverifikasi data. "Kalau ada yang berubah, kami rasa tak lebih dari satu persen."
Retno Sulistyowati, Tika Primandari, Hari Tri Wasono (Nganjuk), Bandelan Amarudin (Jepara), Mahbub Djunaidy (Jember)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo