Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hantu di Tanah Gang Buntu

Mafia tanah diduga berperan dalam alih kepemilikan lahan PT Kereta Api Indonesia di Medan kepada swasta. Menjual nama Tomy Winata.

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERUAN antimafia menggema di sudut Jalan HM Yamin dan Jalan Timor, Medan, Rabu pekan lalu. Puluhan pegawai PT Kereta Api Indonesia Divisi Regional I Sumatera Utara berunjuk rasa di lokasi yang tepat berada di belakang kantor mereka. Ada yang membawa megafon, sisanya mengusung berbagai poster mengutuk eksekusi yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Medan di atas lahan yang bersebelahan dengan kantor mereka itu. "Tangkap mafia tanah yang merebut tanah negara," mereka berseru, berulang-ulang.

Seratus meter di ujung jalan berkumpul puluhan pria berpakaian preman. Satu peleton polisi menghalangi kedua kelompok itu bentrok, dengan menjauhkan posisi kedua kubu. Namun rombongan juru sita pengadilan tak berhasil masuk ke lahan yang akan dieksekusi. Mereka akhirnya membacakan putusan eksekusi dari jauh. "Tanah ini milik PT Arga Citra Kharisma," kata Abdul Rahman, sang juru sita. Eksekusi itu kemudian dianggap tak sah, dan akan diulang menunggu waktu yang tepat.

Cerita perebutan lahan ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Tapi, hingga kini, PT KAI mengklaim masih pemilik sah lahan itu. Luas tanah tersebut sekitar tujuh hektare, diapit Jalan Veteran, Jalan Timor, dan Jalan Madura, Kelurahan Gang Buntu, Medan Timur. Seraya sengketa berjalan, di atas lahan itu sudah berdiri Medan Center Point, kompleks mal termegah di Medan. Ada juga Hotel Karibia bintang lima dan Teguh Murni Memoriam Hospital yang tegak perkasa.

Hingga kini pembangunan mal dan apartemen bintang lima sedang berjalan di area yang berada di pusat kota itu. Suara bising mesin pemotong besi seakan-akan berlomba dengan pembenaman tiang pancang. Ratusan pekerja berhibuk setiap hari di area yang dipagari seng. "Seharusnya pembangunan itu tidak ada karena tidak ada izinnya," ujar Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan.

Direktur Aset Non-Produksi PT KAI Edi Sukmoro menuturkan, pada awal kemerdekaan, tanah itu diserahkan perusahaan kereta api Hindia Belanda, Deli Spoorweg Maatschappij, kepada pemerintah Indonesia. Lahan itu dulu diproyeksikan memperluas stasiun kereta api, sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan teknologi.

Kini stasiun kereta api Medan memang membutuhkan kawasan yang lebih luas karena peningkatan jalur kereta, khususnya menuju Bandar Udara Kuala Namu. Jarak lahan yang disengketakan dari stasiun hanya sekitar seratus meter. Dalam perjalanannya, tanah itu dibagi atas area A, B, C, dan D—sesuai dengan luas dan fungsinya (lihat infografis).

Di atas area A, C, dan D, sejak puluhan tahun lalu sudah dibangun perumahan bagi karyawan PT KAI dan berbagai fasilitas umum. Area B terbengkalai, dihuni gubuk-gubuk liar. Pada 1980-an, PT KAI berinisiatif memberdayakan area B dengan melibatkan Pemerintah Kota Medan dan swasta. "Ketika itu, kami tak sanggup mengelola sendiri," kata Edi Sukmoro. Di sinilah mulai timbul masalah.

Pada 1982, Pemerintah Kota Medan menggandeng PT Inanta. Tujuan pemanfaatan tanah tak jelas, nilai uang kerja sama juga tak pernah terungkap. Pada awal 1990-an, lahan itu berpindah tangan ke PT Bona Uli—juga dengan cara tak jelas. Perusahaan Jawatan Kereta Api—nama PT KAI kala itu—tak dilibatkan. Tiba-tiba, pada 1994, lahan itu sudah dikuasai PT Arga Citra Kharisma. "Ada mafia tanah yang bermain di lahan itu," ujar sumber Tempo yang tak mau diungkap identitasnya. Lalu muncullah nama Ishak Charlie dan Asiang.

Ishak dikabarkan pemilik PT Arga Citra Kharisma. Anaknya, Handoko, menjabat direktur utama perusahaan itu. Sejak lahan di Gang Buntu itu diambil PT Arga, aroma suap dan mengakali proses hukum semakin sengit. Ishak, kata sumber Tempo, menjadi otak peralihan tanah itu. Ia bekerja sama dengan Asiang, yang masih terhitung keponakannya. Pada setiap sengketa tanah di Medan, nama Ishak dan Asiang kerap disebut. Mereka juga selalu menang di pengadilan.

Keduanya bahu-membahu menggarap berbagai proyek lahan yang kemudian dikembangkan menjadi rumah toko dan perumahan. Seperti hantu, mereka tak pernah terlihat nyata di tiap urusan tanah. "Mereka ini mafia yang menggunakan tangan orang lain untuk merebut tanah orang," ucap Edi Ikhsan, Koordinator Pusaka, lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Medan. Edi Ikhsan menuliskan sepak terjang para mafia tanah di Sumatera Utara di dalam tesisnya.

Teman-teman Ishak dan Asiang, kata Edi Ikhsan, ada di mana-mana. Mereka dikenal sering memberi sangu kepada para pejabat lokal dan pusat. "Semua kena siram sama dia," ujarnya. Ia menceritakan, Ishak dan Asiang punya kemampuan mempersempit Sungai Deli, memindahkan sekolah dan masjid, hingga merobohkan situs bersejarah. "Tak pernah ada yang berani memperkarakan mereka."

Sumber Tempo yang mengetahui peralihan tanah PT KAI menceritakan, langkah pertama kedua makelar tanah itu adalah menggandeng Pemerintah Kota Medan untuk mendapatkan surat kerja sama. Nilai kerja sama ini Rp 3 miliar dan berlaku selama 20 tahun. "Uang setorannya lebih gede, belasan miliar," katanya. Pada saat ini, Wali Kota Medan nonaktif, Rahudman Harahap, sudah diperiksa Kejaksaan Agung karena dugaan kejahatan di balik surat kerja sama itu.

Dengan surat itu, PT Arga mulai membangun di area B. Mereka melirik area A, C, dan D. Ketika itu, ketiga area masih dihuni para pensiunan PT KAI. Mereka mengajukan surat kerja sama baru, dengan syarat PT Arga wajib membangun perumahan pengganti dan membayar sewa tanah. Selama proses ini, ujar Edi, seharusnya perjanjian itu tak boleh ada. "Tidak tertutup kemungkinan ada orang PT KAI yang nakal," katanya.

PT Arga kemudian menggugat PT KAI, Pemerintah Kota Medan, dan Badan Pertanahan Nasional. Ketiga lembaga negara itu dianggap tak kunjung menyerahkan tanah tersebut kepada PT Arga. Perusahaan ini menang hingga tingkat kasasi. PT Arga merasa berhak atas tanah itu karena sudah membangun perumahan pengganti di daerah lain dan membayar uang pengganti. "Jumlah uang penggantinya Rp 13 miliar," ujar Hakim Tua Harahap, pengacara PT Arga.

Menurut Edi Sukmoro, secara logika PT KAI tak mungkin kalah karena memiliki surat yang sah sejak zaman Hindia Belanda. PT Arga tak pernah membangun rumah pegawai yang dijanjikan. Uang ganti rugi dinilai sudah tak sebanding dengan harga tanah, yang kini diperkirakan mencapai Rp 3 triliun. Uang Rp 13 miliar itu kini masih mengendap di Pengadilan Negeri Medan. "Kami seharusnya mendapat lebih besar dari jumlah itu," katanya.

Ishak dan Asiang memang tak pernah kalah. Kesultanan Deli, PT Perkebunan Nusantara II, serta instansi lain sering berhadapan dengan mereka dan selalu keok. Sumber Tempo lain mengatakan jaringan keduanya terbentang dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Karena itu, strategi Ishak dan Asiang merebut tanah milik pihak lain selalu memanfaatkan pengadilan. Pengusaha asal Medan yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah, Yopie S. Batubara, mengatakan paham betul sepak terjang Ishak. Keduanya pernah berhadapan di pengadilan dalam kasus perebutan lahan Hotel JW Marriott. Yopie kalah. "Ada dua sertifikat yang muncul di pengadilan. Salah satunya dimiliki Ishak," ucapnya.

Asiang dulu dikenal sebagai juragan judi di Medan. Dalam menjalankan bisnisnya, ia sering menjual nama taipan Tomy Winata. Begitu pula untuk menguasai lahan PT KAI di Medan. "Banyak pengusaha dan pejabat yang jiper karena dia selalu membawa-bawa nama TW," kata sumber Tempo.

Tomy mengaku kenal Asiang, tapi tak pernah mencampuri bisnisnya. Dalam kasus alih kepemilikan lahan PT KAI ini, "Saya tidak memiliki kepentingan di dalam kasus tanah kereta api," ujarnya lewat pesan pendek. Asiang, hingga akhir pekan lalu, tak jelas keberadaannya. Sedangkan Ishak Charlie enggan meladeni wawancara. "Saya memang pemilik PT Arga Citra Kharisma," katanya lewat telepon. Ia tak mau mengomentari sebutan mafia tanah kepadanya dan Asiang.

Edi Sukmoro mengatakan seharusnya PT Arga tak boleh membangun di area A, C, dan D. Selama dalam sengketa, tak mungkin perusahaan itu memiliki izin mendirikan bangunan. Asisten Administrasi dan Umum Pemerintah Kota Medan Ikhwan Habibi Daulay mengatakan PT Arga memang tak memiliki IMB di atas area A, C, dan D.

Pihaknya mengaku sudah melarang PT Arga melanjutkan pembangunan. "Lokasinya juga kami jaga dengan menempatkan Satpol PP," ujarnya. Tapi, dari pantauan Tempo selama ini, tak pernah ada petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang menjaga area itu. Yang berjaga di sana selalu petugas pengamanan internal perusahaan.

Edi Sukmoro mengatakan pihaknya kini tak punya teman untuk melawan PT Arga. Langkah terakhir mereka adalah mengumpulkan bukti baru ke memori peninjauan kembali—yang akan mereka ajukan ke Mahkamah Agung. Satu langkah lagi, kata dia, aset negara itu akan jatuh ke tangan swasta untuk selamanya. "Kami mencoba mengumpulkan sisa semangat yang ada."

Mustafa Silalahi, Soetana Monang Hasibuan (Medan)


Digilir Tiga Perusahaan

Harapan PT Kereta Api Indonesia di Kelurahan Gang Buntu, Medan, nyaris padam. Selangkah lagi tanah 7 hektare milik mereka bisa berpindah tangan. Rebutan lahan seharga Rp 3 triliun itu berlangsung hampir tiga dekade. PT KAI selalu kalah.

1950
Perusahaan kereta api pemerintah Belanda mewariskan 27 ribu hektare lahan ke pemerintah Indonesia.Semuanya menjadi aset PT Kereta Api Indonesia.

1982
PT KAI dan Pemerintah Kota Medan meneken perjanjian kerja sama untuk mengelola lahan B seluas 3,4 hektare. Pihak ketiga yang menggunakan tanah itu mesti membangun rumah karyawan PT KAI di lahan A, C, dan D total seluas 3,9 hektare.

1982
Pemerintah Kota Medan menggandeng PaT Inanta untuk mengelola lahan B. Tak jelas hendak dibangun apa di atas tanah itu.

1994
PT Bona mengalihkan lahan ke PT Arga Citra Kharisma milik Ishak Charlie alias Ahak. Perusahaan ini memegang hak guna bangunan di lahan B hingga 2014.

12 Februari 2010
Pejabat sementara Wali Kota Medan, Rahudman Harahap, meneken surat perjanjian kerja sama dengan PT Arga, yang berlaku selama 20 tahun.

September 2011
PT Arga menggugat PT KAI, Pemerintah Kota Medan, dan Badan Pertanahan Nasional berkaitan dengan lahan A, C, dan D. Ketiganya dianggap menghalangi kepemilikan PT Arga atas lahan itu, setelah mereka mengklaim mengganti rugi dengan uang dan membangun rumah karyawan PT KAI. Gugatan dikabulkan.

Januari 2012
PT KAI mengajukan permohonan banding di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Mereka kalah.

April 2013
Mahkamah Agung menolak kasasi PT KAI.

3 Juli 2013
Pengadilan Negeri Medan gagal mengeksekusi putusan MA karena dihadang ratusan karyawan PT KAI.

Beralih Tangan atau Hilang
Di tempat lain, banyak tanah PT KAI yang beralih tangan. Upaya beperkara di pengadilan pun tak menjanjikan.

1. Kelurahan Pulo Brayan Bengkel, Medan 80 hektare
Ancaman: Sebagian lahan sudah ditimpa sertifikat lain.

2. Jalan Sutomo, Medan
Sudah hilang. Kini berdiri Hotel Angkasa, berbintang empat.

3. Area sekitar Stasiun Jurnatan, Semarang
Luas: 2 hektare sudah berdiri kompleks rumah toko. PT KAI kalah di pengadilan.

4. Tanah di Basko Hotel, Padang
Luas: 2.223 meter persegi masih menunggu putusan kasasi di Mahkamah Agung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus