EKSPOR nonmigas kini semakin disorot dan digalakkan. Macam-macam berita - muncul dari setiap komoditi, tidak terkecuali kayu gergajian. Ini dikumandangkan oleh Sofyan Siambaton, Ketua Pemasaran ISA (Asosiasi Pengusaha Kilang Kayu Terpadu Indonesia) dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, awal pekan lalu. Ia memperkirakan, tahun ini ekspor kayu gergajian akan meningkat 50 persen - dari US$ 495 juta (1987) menjadi sekitar US$ 750 juta tahun ini. Perhitungannya, kendati volume ekspor hanya akan naik sekitar 250 ribu m3 (tahun lalu hanya 2,5 juta m3), harga jual akan terus merangkak naik. Lihat saja, kalau tahun lalu harganya hanya sekitar US$ 250 per m3, tahun ini mulai menanjak hingga US$ 275. Selain itu, diduga bahwa kayu lapis yang selama ini menjadi andalan dari komoditi ekspor nonmigas akan semakin banyak digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Dan kalau sudah begitu, siapa lagi yang akan menggantikan, kalau bukan kayu gergajian ? Nah, kalau para pengusaha yang tergabung dalam ISA (460 pengusaha) tampak bergairah, lain halnya orang-orang yang bergerak di industri hilir, seperti mebel dan pembuat komponen dari kayu lainnya. Mereka menjerit. Bahan baku sulit didapat, padahal pesanan dari luar negeri terus mengalir. Ini misalnya dialami James Suprapto, Dirut PT Bagus Murah Utama, yang memproduksi daun pintu. James terpaksa menolak- pesanan dari Amerika, yang minta dikirimi secara kontinu 20 ribu unit per bulan. "Saya taksanggup, karena tidak mudah memperoleh bahan baku," ujarnya. Akhirnya, James hanya melayani pesanan dari Eropa, yang hanya 10 ribu unit, dengan nilai US$ 400 ribu. Lalu ada kesulitan lain. Sarana angkutan laut yang tidak memadai membuat kedatangan bahan baku tidak dapat diperhitungkan. "Memang bisa diatasi dengan stok untuk waktu panjang, tapi itu 'kan membutuhkan kapital yang banyak," ujarnya. James juga menunjuk harga yang dirasakan semakin hari semakin naik. Kini harga kayu jenis puna mencapai Rp 200 ribu per m3, padahal enam bulan lalu hanya Rp 125 ribu. Para penjual kayu langganannya di Jambi dan Kalimantan kini mulai tahan harga. "Mereka selalu ingin cash, dan kalau kita tak bisa bayar, berarti tidak memperoleh bahan baku," ujar pengusaha yang tidak memiliki HPH itu. Lain lagi keluhan pengusaha hilir yang lebih kecil. Mereka sulit memperoleh bahan baku, karena tak mampu mengajukan pesanan minimal, yang 100 m3. Akibatnya, bahan baku terpaksa dicari di pasar-pasar bebas yang harganya jauh lebih tinggi. Kenapa harus 100 m3i? "Itu sudah minimal sekali, sebab kami 'kan harus memperhitungkan ongkos-ongkos angkut," kata Sofyan. ISA sebenarnya telah memperhitungkan kebutuhan kayu para industriwan yang tidak memiliki HPH, maka didirikan PT Sari Karina Nusa (SKN) -- trading company yang siap melayani kebutuhan kayu dari jenis apa pun. Tapi, ya itu tadi, permintaan minimal yang ditetapkan masih belum terjangkau para pemakamya. Sedangkan perahu maunya mengangkut minimal 400 m3. Jadi, tidaklah aneh kalau selama ini SKN belum pernah mendapat pesanan dari mereka. Dan para pemilik HPH lebih suka mengekspor ketimbang menjual di pasar lokal. Seorang produsen kayu terkemuka berkata, "Sudah permintaannya sangat kecil, mereka ingin harga yang murah, plus kredit tiga bulan," ujarnya. Lain dengan kalau mengekspor, "kami selalu mendapat uang tunai." Lantas bagaimana dengan nasib industri hilir? Sebuah konsep tengah disiapkan ISA untuk mengatasinya. "Kami sedang merancang sistem raslo bagi para produsen kayu," kata Sofyan. Kelak akan ada keterkaitan yang erat antara aktivitas hulu dan hilir. Misalnya saja, setiap produsen kayu gergajian diharuskan menjual di dalam negeri, minimal 10% dari yang diekspornya. Sebuah gagasan yang menarik memang, tapi kapan? Budi Kusumah dan Priyono B. Sumbogo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini