ASEAN menjerit, karena Kongres AS --baru-baru ini menelurkan sebuah rancangan undang-undang untuk membendung impor minyak kelapa dan minyak sawit. RUU itu pada intinya mewajibkan, agar minyak eks daerah tropis dipasangi label berbunyi: "men- gandung atau tidak mengandung gemuk jenuh"(satu rated fat). RUU tadi lahir dari kampanye American Soyabeans Association (ASA) yang sudah dilancarkan sejak tahun silam. Lewat kampanye itu, ASA, yakni asosiasi para petani kacang kedelai Amerika, menggembar-gemborkan bahwa minyak sawit, minyak kelapa, dan minyak nabati lainnya dari daerah tropis berkadar asam jenuh berbahaya, yang bisa menyebabkan penyakit darah tinggi. Ini kampanye politis, karena "tuduhan berbahaya" belum terbukti benar. Tapi Kongres AS percaya, dan keluarlah RUU tadi. Menteri Pertanian AS Richard Lyng, yang berkunjung ke Indonesia bulan lalu, menyatakan, RUU itu akan diveto Presiden Ronald Reagan. Tetapi veto tidak dengan sendirinya membersihkan citra buruk yang ditempelkan ASA terhadap minyak sawit dan minyak kelapa. Padahal, kedua komoditi itu tergolong penghasil devisa yang cukup besar bagi Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Memang, Amerika buan pasar penyerap minyak nabati dari ASEAN. Minyak sawit Malaysia yang diekspor ke sana hanya sekitar 4% (165.000 ton). Sedangkan dari ekspor Indonesia yang berjumlah 566.000 ton, hanya sekitar 20.000 ton yang masuk ke pasar AS. "Jadi, sebenarnya, RUU AS itu tidak akan terlalu merugikan kita langsung," kata Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras, Hasjrul Harahap, kepada TEMPO pekan lalu. Namun, Hasjrul berpendapat, citra jelek itu perlu dibersihkan. "Anggapan bahwa kelapa sawit mengandung asam jenuh yang berbahaya, itu salah besar," ujarnya. Menurut Hasjrul, upaya membersihkan citra telah dilakukan lewat protes. Seusai pertemuan di Kuala Lumpur, dua pekan silam, Organisasi Antar-Parlemen ASEAN mengeluarkan pernyataan keras terhadap RUU yang dirancang Kongres Amerika itu. Deputi Ketua Parlemen Filipina, Antonio Cuenco, mengungkapkan bahwa ASEAN akan membatasi perdagangan dengan AS jika UU itu disahkan. Sebab, sekitar 15 juta rakyat Filipina dan 1,5 juta petani Malaysia sangat menggantungkan hidupnya pada minyak kelapa dan minyak sawit. Data jumlah pengusaha, petani, dan buruh Indonesia yang terlibat dalam bisnis minyak kelapa sawit memang belum ada, tetapi jelas cukup banyak. Selain protes, ASEAN juga telah sepakat untuk mengumpulkan dana, buat membiayai penelitian yang kelak membuktikan bahwa minyak sawit itu sehat. Penelitian akan dilakukan oleh lembaga yang berkompeten di AS. Untuk biayanya- pemerintah dan pengusaha sawit di Malaysia saja seperti diberitakan The New Straits Times sudah mengumpulkan sekitar Mal$ 6.000.000. Mengapa ASA menjelekkan mutu minyak negara-negara tropis? Kabarnya, selain ingin melindungi pasar Amerika, juga karena mereka kalah bersaing di pasar internasional, antara lain di pasar India dan Pakistan. Harus diakui, pasar di Jazirah Asia Selatan yang berpenduduk lebih dari 900 juta itu sangat mempengaruhi harga minyak sawit. Menurut Ir. Derom Bangun dari perusahaan kelapa sawit PT Socfindo di Medan, naiknya harga minyak sawit tahun silam, antara lain, karena permintaan India dan Pakistan. Indonesia sendiri baru menjajaki pasar di kedua negara itu, tetapi Malaysia dan AS telah bersaing ketat di sana. Tahun silam Malaysia mengekspor 947.000 ton minyak sawit, sedangkan AS mengekspor 300.000 ton minyak kedelai ke India. Persaingan di situ rupanya cukup sengit. Malaysia menuding Amerika telah banting harga, tapi Menteri Pertanian AS Richard Lyng bilang, dumping bukan permainan mereka. "Kami menentukan harga minyak nabati lebih tinggi dari minyak sawit," kata Lyng di Kuala Lumpur pekan silam. AS justru balik menuduh Malaysia, yang banting harga dengan sistem koktil. Laporan yang dikeluarkan Komisi Perdagangan International AS (USITC) belum lama ini mengatakan, ada minyak sawit Malaysia telah dicampur dengan minyak sawit Indonesia, untuk bisa dijual lebih murah. Soalnya, biaya produksi kelapa sawit Indonesia dianggap paling murah, hanya US$ 150 per ton (1986), di Malaysia sekitar US$ 230 per ton. Dan biaya produksi minyak kedelai di AS jauh lebih mahal: sekitar US$ 330 per ton. Minyak kedelai mahal karena produksinya hanya setahun sekali, sedangkan minyak sawit bisa diproduksi sepanjang tahun. Kendati ada koktil, untung saja harga minyak sawit belum sampai jatuh. Di awal 1987, harganya masih berkisar US$ 200-300 per ton, akhir 1987 naik jadi US$ 400 per ton. Bulan lalu, malah sempat naik lagi sampai sekitar US$ 500 per ton. Kenaikan harga itu terutama karena naiknya permintaan India dan Pakistan. Tapi harga bagus tampaknya tidak akan bertahan tahun 1988 ini. PORLA (Palm Oil Registration and Licencing Authority) - lembaga pemantau minyak sawit yang beroperasi di Malaysia sejak 1977 - memperkirakan produksi minyak sawit tahun ini bakal naik 7.5% diatas tahun lalu, sehingga mencapai rekor 8,2 juta ton. Rekor itu tercapai karena produksi sawit dari Muangthai, Papua Nugini, Filipina, dan beberapa negara Amerika Latin. Malaysia dan Indonesia adalah dua produsen terbesar, yang menghasilkan (6,33 juta ton), atau 77% produksi dunia. Pangsanya tahun ini akan turun jadi 75%, kendati produksi Malaysia dan Indonesia sebenarnya bakal naik 8%. PORLA meramalkan kenaikan produksi akan menyebabkan persaingan dengan minyak kedelai lebih ketat. Tahun silam harga minyak sawit per ton lebih mahal sampai USt 22 di atas harga minyak kedelai, tapi tahun ini bisa jatuh US$ 88 di bawah harga minyak kedelai. Kendati demikian, masih ada yang optimistis. Maklum, India baru saja dilanda kekeringan. Selain itu, pasar AS diharapkan tidak menciut, kalau saja RUU dari Kongres diveto Reagan. Tapi sumber itu tidak bicara tentang usaha mencari pasar baru. M.W., Sidartha P. (Jakarta), Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini