SEBUAH lecutan lagi pada industriwan mobil yang tengah ragu-ragu berpacu menuju industri pembuatan mobil lokal total. Kali ini bukan dari Menteri Perindustrian, tapi Menteri Keuangan. Baru-baru ini Menkeu melontarkan SK 551 dan 552 yang isinya memberikan kebebasan bea masuk bagian-bagian utama kendaraan bermotor niaga yang diimpor terurai sama sekali. Tapi, intinya, sebenarnya semakin menciutkan fasilitas impor bahan baku mobil. Yang dikenai pembebasan bea impor ialah komponen-komponen terurai, seperti sistem mesin dan rem, transmisi, kemudi, kopling, as roda depan dan belakang, kipas, serta kodok-kodok (piston) pembakaran untuk kendaraan niaga. Sejauh ini, impor komponen-komponen tersebut juga tak dikenai bea masuk. Tapi SK baru itu, yang rupanya atas saran Menteri Perindustrian, bisa diartikan bahwa suku cadang yang dulu boleh diimpor tanpa bea kini akan kena 5% -30%. Rangsangan tersebut tampaknya untuk memaksa industri automotif tetap melaju ke industri penuh (full manufacturing), yang ditargetkan tercapai tahun 1988/1989. Sasaran semula, tahun 1985/1986, dipatok berdasarkan kecenderungan perkembangan pasaran mobil yang menanjak tajam di tahun 1979 - 1980. Ternyata, peningkatan itu cuma mencapai 207.804 unit pada 1981, kemudian merosot sehubungan dengan adanya resesi. Penjualan tahun lalu tinggal 152.331 unit, dan diperkirakan tahun ini cuma akan terjual 130.000 unit. Kemerosotan paling drastis terjadi pada penjualan mobil-mobil jenis komersial. Hal ini paling dirasakan PT Krama Yudha, yang pernah merajai jalan-jalan raya dengan Colt Mitsubishi. Pekan lalu, ketua Krama Yudha Group, Sjarnubi Said, mengaku menderita rugi Rp 12,5 milyar. Sjarnubi memperkirakan, kelesuan pasar mobil masih akan berlangsung sampai akhir 1986. Namun, partner Krama Yudha, Mitsubishi Motors (Jepang), masih melihat pasaran mobil akan cerah lagi. Karena itu, Krama Yudha tetap meluncur dalam proses menuju industri penuh. Tapi perusahaan-perusahaan mobil lain masih getir. Misalnya PT Indo Mobil Utama, perakit beberapa tipe mobil Suzuki. Direktur utamanya, Soebronto Laras, mengakui, memang ada peningkatan penjualan mobil Suzuki, terutama jenis Super Carry. Tapi penjualan mobil-mobil Suzuki sebanyak 24.000 unit tahun lalu belum bisa mempercepat laju produksi mesin sendiri. "Minimal 50.000 unit per tahun, baru ekonomis," ujar Soebronto kepada Budi Kusumah dari TEMPO. Suzuki memang sudah memasang pabrik perakitan mesin mobil yang berkapasitas 3.000 unit. Tapi, sampai Agustus, masih dalam proses percobaan produksi 1.500 unit per bulan. Direktur PT Toyota Astra Motor (TAM), Sumitro Surachmad, juga menyatakan masih berat melaju sesuai dengan penanggalan menuju full manufacturing. Penjualan berbagai merk mobil Toyota tahun lalu sekitar 30.000 unit - 50% adalah jenis komersial (Kijang). Skala ekonomis bagi perhitungan Toyota, minimal 60.000 unit per tahun. TAM, yang sudah merencanakan produksi per bulan 5.000 unit, ternyata baru bisa mencapai 2.000 kendaraan niaga dan 200 unit truk. Sementara ini, di luar pabrik-pabrik mobil itu banyak perusahaan sudah siap menjadi subkontraktor, penyuplai berbagai komponen, dari velg, knalpot, sampai karoseri. TAM telah mengontrak 30 subkontraktor sedangkan Indo Mobil memiliki 60 subkontraktor. Mutu dan kelangsungan suplai suku cadang tersebut tah lagi menjadi masalah. Yang jadi soal, ada subkontraktor yang malah mempertahankan harga tinggi, sedangkan perakit mobil justru sedang berusaha menekan biaya serendah-rendahnya. SK Menkeu yang dirasakan sebagai cemeti tadi, toh, menimbulkan tanda tanya yang menggairahkan. Meskipun jelas dimaksudkan untuk komponen-komponen mesin mobil komersial, bisa saja terjadi pemasangan pada mobil-mobil sedan. Kalau memang demikian, biaya perakitan sedan yang kini dikenai bea impor 100% bisa bergairah lagi. Menurut ketua Gaakindo (Gabungan Agen Tunggal dan Asembler Kendaraan Bermotor Indonesia), Soebronto Laras, sedan berharga Rp 10 juta mungkin bisa turun jadi Rp 9 juta. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini