STRUKTUR dana perbankan di Jakarta, pada kuartal kedua berselang, berubah cukup mencolok. Ada pengurangan dana cukup besar dari rekening giro Rp 344 milyar. Di pihak lain, posisi deposito berjangka di pelbagai bank peserta kliring di Jakarta bertambah hampir Rp 430 milyar dibandingkan kuartal pertama. Adakah keduanya berhubungan? Berkurangnya posisi rekening giro itu, boleh jadi, berkaitan erat dengan saat kebanyakan perusahaan harus melunasi pajak mereka. Perusahaan, kini, juga tidak bisa menunda pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berlama-lama karena begitu barang diserahkan, pajak harus dibayar tak lama kemudian - memakai dana giro. Tapi tak tertutup kemungkinan, pengurangan dana giro itu terjadi karena pemilik dana memindahkannya ke deposito. Sampai awal Juli lalu, memang, tingkat suku bunga deposito di pelbagai bank masih menggiurkan. Yang berjangka sebulan bergerak antara 15% dan 18%. Sedang yang setahun bergerak antara 18% dan 22%. Tingkat suku bunga itu, di luar dugaan banyak orang, ternyata masih tidak berubah kendati tingkat bunga deposito dolar diluar negeri sudah bergerak turun 1% sampai 2%, sejak awal tahun ini. Di Singapura, deposito dolar berjangka satu bulan, misalnya, kini rata-rata hanya 4,5%, atau turun sekitar 0,5% dibandingkan Mei. Sedang yang berjangka setahun, pada periode itu, sudah turun 1% - dari rata-rata 6% jadi 5%. Tetap tingginya suku bunga deposito rupiah di sini, tentu, menarik para pemilik uang. Masuk akal kalau jumlah deposito dari Januari sampai Mei saja naik Rp 782 milyar - dari Rp 6.334 milyar jadi Rp 7.116 milyar. Perubahan struktur dana perbankan ini rupanya kurang disukai gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar. Sebab, tingginya suku bunga deposito itu, tentu, mengakibatkan suku bunga pinjaman tidak akan turunturun. Usaha mempengaruhi suku bunga ini sebenarnya sudah dilakukan bank sentral dengan menurunkan tingkat diskonto Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dari 20,5% jadi 19,5% (18 Mei), lalu diturunkan lagi (4 Juli) jadi 18%. Pengaruhnya, ternyata, baru terasa dalam menekan suku bunga pinjaman antar bank, yang turun dari 9,5% jadi 5%. Kesabaran Gubernur Arifin tampaknya sudah habis. Pekan lalu, ketika meresmikan pembukaan kantor cabang BI di Dili, Timor Timur, dia mengimbau agar bank mau menurunkan suku bunga deposito dan pinjaman mereka. Gubernur beranggapan bahwa situasi moneter menunjukkan, bank-bank sudah selayaknya menurunkan tingkat bunga deposito dan pinjaman mereka. Sebelum menyampaikan secara terbuka, konon, Gubernur sudah mengimbau para bankir pemerintah secara lisan lewat telepon. Pertengahan Juli itu, sejumlah bank pemerintah, seperti BNI 1946, Bank Bumi Daya, dan Bank Pembangunan Indonesia, mulai menurunkan bunga deposito berjangka setahun mereka dari 18% jadi 17%. Yang enam bulan juga turun dari 17,5% jadi 16,5%. Tapi untuk suku bunga deposito berjangka satu dan tiga bulan, mereka rata-rata memasang 14%-15% dan 15%-16,5%. Sementara itu, di bank swasta nasional dan asing rata-rata 1% sampai 3% di atas tingkat itu. Bahkan Bank Susila Bakti berani memberikan bunga 19% dan 21% untuk deposito satu dan tiga bulan. Kata Haryono Sumohadiwidjojo, direktur utama BSB langkah itu dimaksudkan untuk menghimpun dana sebesar-besarnya untuk membiayai kebutuhan nasabahnya. Usaha membiayai kegiatan jangka pendek dibandingkan investasi memang sangat menonjol. Kenaikan laju pemberian pinjaman, dari Januari sampai pertengahan Juni. sebesar Rp 848 milyar - sekitar Rp 605 milyar di antaranya dipakai untuk membiayai kegiatan jangka pendek. Menurut direktur kredit Bapindo, Subekti Ismaun, sektor usaha sebenarnya masih mampu menyerap kredit modal kerja 21%. "Asal saja mereka bekerja efisien dan pinjaman yang dilakukan dalam bentuk rupiah," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini