JAKARTA – Kenaikan tingkat
inflasi tahun ini diperkirakan berlanjut. Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, memperkirakan tekanan inflasi disebabkan oleh peningkatan permintaan masyarakat seiring dengan pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu, Iskandar berujar bahwa inflasi tahun ini bakal dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas dan inflasi dunia. "Namun inflasi diperkirakan berada dalam rentang target 3 persen plus-minus 1 persen," ujar dia kepada Tempo, kemarin.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi tahun kalender atau tingkat inflasi dari tahun ke tahun sebesar 1,87 persen pada 2021. Angka ini naik tipis dibanding pada tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1,68 persen. Laju inflasi dua tahun berturut-turut ini lebih rendah bila dibanding pada 2019 yang sebesar 2,72 persen.
Ekonom dari Bank Permata, Josua Pardede, menuturkan tren kenaikan harga komoditas global memang akan mempengaruhi
harga energi karena harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) cenderung meningkat. Selain itu, pemerintah merencanakan penghapusan Premium serta Pertalite secara bertahap dalam rangka implementasi peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang mengatur soal baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru.
Pengisian bahan bakar di SPBU Tanah Abang, Jakarta, 23 Desember 2021. Tempo/Tony Hartawan
"Selain itu, terdapat potensi kenaikan harga BBM non-subsidi yang akan diikuti dengan kenaikan harga elpiji non-subsidi dan kenaikan tarif listrik," tutur Josua.
Menurut dia, dampak kombinasi dari kenaikan harga diatur pemerintah tersebut berpotensi mendongkrak tingkat inflasi pada 2022 di angka 3-3,5 persen dari tingkat inflasi tahun lalu yang cenderung masih di bawah 2 persen. Secara keseluruhan, kata Josua, inflasi komponen inti dan harga diatur pemerintah tahun ini diperkirakan cenderung meningkat.
"Adapun inflasi harga bergejolak diperkirakan relatif stabil, sejalan dengan upaya stabilisasi harga pangan melalui Tim Pengendalian Inflasi Nasional dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah," kata Josua.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai potensi peningkatan inflasi juga ditopang oleh beberapa kebijakan pemerintah, seperti kenaikan harga gas, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), serta peningkatan tarif
cukai rokok.
Pelayanan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran, 28 Desember 2021. Tempo/Tony Hartawan
Pada saat bersamaan, dengan asumsi pemulihan ekonomi pada tahun ini, permintaan barang dan jasa dari masyarakat secara umum akan ikut naik. "Kami perkirakan inflasi pada tahun ini sekitar 3 persen plus-minus 1 persen," ujar Yusuf. Namun, akibat adanya aneka kebijakan pemerintah tersebut, ia menambahkan, bukan tidak mungkin angka inflasi bisa menyentuh batas atas proyeksi inflasi, yaitu 4 persen, pada 2022.
Kepala
Badan Pusat Statistik, Margo Yuwono, mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok pada 2022 akan berdampak pada inflasi. Meski demikian, kata dia, dampaknya biasanya terjadi secara bertahap. Pasalnya, kenaikan cukai biasanya tak langsung berdampak naiknya harga rokok di tingkat konsumen atau eceran. "Hal itu berdampak secara akumulasi terhadap inflasi nasional. Namun banyak faktor yang mempengaruhi daya beli masyarakat itu saat memasuki 2022," ujar Margo.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menilai pemicu pemulihan daya beli masyarakat akan bergantung pada peningkatan produktivitas atau kinerja usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tanpa peningkatan kinerja atau produktivitas, pendapatan dan daya beli masyarakat tidak bisa meningkat cukup signifikan untuk menciptakan permintaan yang tinggi.
Dengan demikian, Shinta menuturkan, pengendalian pandemi dan pelonggaran seluruh aturan yang membatasi mobilitas dan kegiatan sosial masyarakat perlu dilakukan sepanjang 2022. Pada saat bersamaan, pemerintah juga perlu menstimulasi produktivitas usaha, seperti peningkatan akses keuangan usaha atau insentif investasi. Dengan demikian, pemulihan kinerja usaha bisa dimaksimalkan.
"Kemudian lapangan kerja bisa kembali diciptakan, pendapatan dan daya beli masyarakat bisa naik, serta konsumsi masyarakat bisa lebih kuat untuk mendukung normalisasi tingkat inflasi ke level pra-pandemi," tutur Shinta.
LARISSA HUDA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini