NYONYA Tirafiah boru Sipahurar akhirnya memperoleh kembali
sekitar 14 hektar (7 tumpuk) kebun karetnya. Tidak itu saja.
Mahkamah Agung dalam keputusannya April 1982 juga memperkuat
keputusan pengadilan-pengadilan sebelumnya: janda berusia lebih
60 tahun itu juga mendapat ganti rugi berupa empat buah rumah
milik orang-orang yang dituntutnya.
Sejak 1977 Nyonya Tirafiah menggugat kebun karet peninggalan
suaminya di Hutaraja, Batangtoru, Tapanuli Selatan. Di
Pengadilan Negeri Padang Sidempuan ia mengaku kebun itu telah
direbut dan digarap oleh empat orang penduduk Desa Hutaraja
sejak 21 tahun yang lalu. Karena itu ia menuntut agar kebun
karet itu dikembalikan kepadanya dan agar para penggarap
mengembalikan getah karetnya (sebagai ganti rugi) selama disadap
21 tahun.
Pengadilan Negeri Padang Sidempuan mengabulkan tuntutan nyonya
itu. Ketika Nani boru Limbong, Nurdin Nainggolan, Mak Nurdin dan
Tibin Lubis, yaitu para tergugat, mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Medan, Tirafiah tetap dimenangkan -- bahkan
diperkuat Mahkamah Agung, kemudian. Instansi peradilan tertinggi
ini malahan menyebutkan, bila para tergugat tak sanggup
mengembalikan getah hasil penyadapan mereka selama 21 tahun,
sebagai gantinya rumah-rumah mereka akan dilelang. Menurut
perhitungan Nyonya Tirafiah, tiap tumpuk (2 hektar) karetnya
bila disadap menghasilkan 20 kg getah sehari. Sehingga bila
disadap 20 hari saja dalam sebulan, berarti setahun menghasilkan
33.600 kg--700 ton lebih selama 21 tahun. Karena ke4 tergugat
tak mungkin mengembalikan getah karet itu, maka diputuskan rumah
mereka dilelang.
Tak ada persoalan sebenarnya. Bahkan pelelangan empat buah rumah
milik para tergugat akhir bulan lalu berjalan lancar, meski
disertai deraian air mata para bekas pemiliknya. Tinggal
sekarang, penduduk Hutaraja terheran-heran, karena mereka,
terutama para tetua desa, tahu pasti kebun karet itu benar-benar
milik empat orang yang digugat Tirafiah.
Menurut surat-surat yang diajukan Tirafiah ke pengadilan, areal
itu sudah ditanami karet oleh Wilfried Lumbantobing, suami
Tirafiah yang sudah meninggal dunia. "Padahal penduduk bertanam
getah di sini baru pada waktu pemberontakan PRRI, sekitar 1956
hingga 1959," ungkap A. Nainggolan, 84 tahun, penduduk tertua di
Desa Pulau Pakkat, tetangga Hutaraja. Nainggolan, bekas Kepala
Desa Pulau Pakkat yang membawakan wilayah kebun karet tadi,
yakin kebun itu bukan milik Tirafiah.
Penduduk Pulau Pakkat yang lain, Panikkali, bahkan menyebutkan,
di areal kebun karet itu berikut tanah sekitarnya pada tahun
1954 disetujui oleh Kepala Dewan Negeri di sana sebagai tempat
bertanam cabai dan pisang. "Tapi sejak 1956 diperkenankan
menanam karet," kata Panikkali. Ia juga menunjukkan, ukuran
batang-batang karet itu belum sebesar bila ditanam di zaman
Jepang.
Meskipun Ny. Tirafiah mengaku keluarganya pernah mengungsi dan
tinggal di Hutaraja sejak zaman Jepang (1944) hingga 1957, tak
ada satu penduduk desa itu yang membenarkan. Mereka hanya
mengakui keluarga Wilfried Lumbantobing pernah mengungsi dan
tinggal di Hutaraja sekitar 4 tahun saja, 1944 hingga 1948 --
dan selanjutnya menetap di Batangtoru (sekitar 7 km dari
Hutaraja) hingga sekarang.
Nyonya Tirafiah tetap berpendirian karet itu ditanam suaminya di
zaman Jepang. Ia diperkuat oleh Humas Pengadilan Negeri Padang
Sidempuan, Yoenoes, "surat jual beli kebun getah pada zaman
Jepang yang dimiliki Ny. Tirafiah lebih berkekuatan hukum
dibandingkan surat-surat para tergugat," kata Yoenoes. Karena
itu, kata Ny. Tirafiah, bila keempat orang itu tak puas, berarti
mereka melawan pemerintah.
Penduduk Hutaraja semula tak ingin campur tangan pada perkara
kebun itu. Karena mereka yakin benar, ke-4 tergugat pasti pada
akhirnya akan dimenangkan. Namun ketika keputusan Mahkamah Agung
keluar dan pelaksanaan lelang benar-benar dilakukan terhadap
rumah-rumah para tergugat, penduduk Hutaraja terperanjat. Kepala
Desa Hutaraja, Hasanuddin Harahap, berkali-kali mengajukan usul
ke PN P. Sidempuan agar pelelangan dibatalkan atau ditunda
--"tapi sampai sekarang tak ada jawaban," kata Hasanuddin
beberapa saat setelah pelelangan selesai.
Keempat rumah beratap seng berlantai dan berdinding papan itu
kini telah dimiliki sanak famili Tirafiah, sebagai pemenang
lelang. Adapun para bekas pemiliknya, terpaksa harus menumpang
di rumah keluarga mereka -- bahkan Nani boru Limbong bersama
lima anaknya pernah harus tidur di emper bekas rumahnya itu
selama sepuluh malam, sebelum ditampung seorang familinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini