Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Getah Karet Nyonya Tirafiyah

Mahkamah Agung memenangkan gugatan ny. tirafiah boru sipahutar yang menuntut kebun karet peninggalan suaminya, para tergugat harus mengembalikan getah karet yang telah disadapnya selama 21 tahun.(hk)

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYONYA Tirafiah boru Sipahurar akhirnya memperoleh kembali sekitar 14 hektar (7 tumpuk) kebun karetnya. Tidak itu saja. Mahkamah Agung dalam keputusannya April 1982 juga memperkuat keputusan pengadilan-pengadilan sebelumnya: janda berusia lebih 60 tahun itu juga mendapat ganti rugi berupa empat buah rumah milik orang-orang yang dituntutnya. Sejak 1977 Nyonya Tirafiah menggugat kebun karet peninggalan suaminya di Hutaraja, Batangtoru, Tapanuli Selatan. Di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan ia mengaku kebun itu telah direbut dan digarap oleh empat orang penduduk Desa Hutaraja sejak 21 tahun yang lalu. Karena itu ia menuntut agar kebun karet itu dikembalikan kepadanya dan agar para penggarap mengembalikan getah karetnya (sebagai ganti rugi) selama disadap 21 tahun. Pengadilan Negeri Padang Sidempuan mengabulkan tuntutan nyonya itu. Ketika Nani boru Limbong, Nurdin Nainggolan, Mak Nurdin dan Tibin Lubis, yaitu para tergugat, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan, Tirafiah tetap dimenangkan -- bahkan diperkuat Mahkamah Agung, kemudian. Instansi peradilan tertinggi ini malahan menyebutkan, bila para tergugat tak sanggup mengembalikan getah hasil penyadapan mereka selama 21 tahun, sebagai gantinya rumah-rumah mereka akan dilelang. Menurut perhitungan Nyonya Tirafiah, tiap tumpuk (2 hektar) karetnya bila disadap menghasilkan 20 kg getah sehari. Sehingga bila disadap 20 hari saja dalam sebulan, berarti setahun menghasilkan 33.600 kg--700 ton lebih selama 21 tahun. Karena ke4 tergugat tak mungkin mengembalikan getah karet itu, maka diputuskan rumah mereka dilelang. Tak ada persoalan sebenarnya. Bahkan pelelangan empat buah rumah milik para tergugat akhir bulan lalu berjalan lancar, meski disertai deraian air mata para bekas pemiliknya. Tinggal sekarang, penduduk Hutaraja terheran-heran, karena mereka, terutama para tetua desa, tahu pasti kebun karet itu benar-benar milik empat orang yang digugat Tirafiah. Menurut surat-surat yang diajukan Tirafiah ke pengadilan, areal itu sudah ditanami karet oleh Wilfried Lumbantobing, suami Tirafiah yang sudah meninggal dunia. "Padahal penduduk bertanam getah di sini baru pada waktu pemberontakan PRRI, sekitar 1956 hingga 1959," ungkap A. Nainggolan, 84 tahun, penduduk tertua di Desa Pulau Pakkat, tetangga Hutaraja. Nainggolan, bekas Kepala Desa Pulau Pakkat yang membawakan wilayah kebun karet tadi, yakin kebun itu bukan milik Tirafiah. Penduduk Pulau Pakkat yang lain, Panikkali, bahkan menyebutkan, di areal kebun karet itu berikut tanah sekitarnya pada tahun 1954 disetujui oleh Kepala Dewan Negeri di sana sebagai tempat bertanam cabai dan pisang. "Tapi sejak 1956 diperkenankan menanam karet," kata Panikkali. Ia juga menunjukkan, ukuran batang-batang karet itu belum sebesar bila ditanam di zaman Jepang. Meskipun Ny. Tirafiah mengaku keluarganya pernah mengungsi dan tinggal di Hutaraja sejak zaman Jepang (1944) hingga 1957, tak ada satu penduduk desa itu yang membenarkan. Mereka hanya mengakui keluarga Wilfried Lumbantobing pernah mengungsi dan tinggal di Hutaraja sekitar 4 tahun saja, 1944 hingga 1948 -- dan selanjutnya menetap di Batangtoru (sekitar 7 km dari Hutaraja) hingga sekarang. Nyonya Tirafiah tetap berpendirian karet itu ditanam suaminya di zaman Jepang. Ia diperkuat oleh Humas Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, Yoenoes, "surat jual beli kebun getah pada zaman Jepang yang dimiliki Ny. Tirafiah lebih berkekuatan hukum dibandingkan surat-surat para tergugat," kata Yoenoes. Karena itu, kata Ny. Tirafiah, bila keempat orang itu tak puas, berarti mereka melawan pemerintah. Penduduk Hutaraja semula tak ingin campur tangan pada perkara kebun itu. Karena mereka yakin benar, ke-4 tergugat pasti pada akhirnya akan dimenangkan. Namun ketika keputusan Mahkamah Agung keluar dan pelaksanaan lelang benar-benar dilakukan terhadap rumah-rumah para tergugat, penduduk Hutaraja terperanjat. Kepala Desa Hutaraja, Hasanuddin Harahap, berkali-kali mengajukan usul ke PN P. Sidempuan agar pelelangan dibatalkan atau ditunda --"tapi sampai sekarang tak ada jawaban," kata Hasanuddin beberapa saat setelah pelelangan selesai. Keempat rumah beratap seng berlantai dan berdinding papan itu kini telah dimiliki sanak famili Tirafiah, sebagai pemenang lelang. Adapun para bekas pemiliknya, terpaksa harus menumpang di rumah keluarga mereka -- bahkan Nani boru Limbong bersama lima anaknya pernah harus tidur di emper bekas rumahnya itu selama sepuluh malam, sebelum ditampung seorang familinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus