KEJUTAN minyak sekarang bukan harganya yang naik, tapi malah
sebaliknya. Harga minyak OPEC yang rata-rata resminya US$ 34
sebarrel, sejak sebulan terakhir ini terus turun, dan sekarang
hanya US$ 29 sebarrel. Apakah ini berarti ekonomi negara
industri membaik, sesudah dilanda resesi?
Para pengamat ekonomi umumnya sependapat bahwa turunnya harga
minyak bisa merupakan hal yang positif untuk ekonomi negara
industri. Turunnya harga minyak berarti turunnya biaya, terutama
untuk industri yang padat energi. Laba industri ini bisa
bertambah, dan mereka memperoleh tambahan uang untuk investasi
baru. Investasi ini diperlukan untuk menghadapi tambahnya
permintaan yang mungkin segera muncul karena tambahnya daya beli
konsumen.
Di AS, misalnya, harga bensin sudah turun, dan menurut
perhitungan, tiap penurunan harga minyak dengan US$ 1, berarti
penghematan US$ 5,5 milyar, yaitu uang berlebih di tanan
konsumen yang siap dibelanjakan. Di Eropa, pompa-pompa bensin
sejak musim dingin yang bariu lewat, 3uga saling berlomba untuk
menurunkan harga.
Di samping itu, para pengamat ekonomi juga berpendapat bahwa
harga minyak yang terus turun akan berakibat turunnya inflasi.
Di AS biaya energi merupakan komponen 11% pada indeks harga
konsumen. Kata Donald Ratajczak, ekonom Universitas Georgia:
"Untuk setiap pengurangan US$ 2 harga minyak, berarti penurunan
setengah persen indeks inflasi."
Dengan turunnya inflasi, para bankir bisa menurunkan tingkat
bunga, karena mereka tak perlu lagi menambah "premi risiko
inflasi" dalam tingkat bunga yang dikenakannya. Kalau bunga
turun, gairah investasi dari perusahaan-perusahaan juga akan
bertambah.
Kalau ekonomi negara industri membaik, apakah berarti ekonomi
negara berkembang juga ikut membaik? Ada yang bilang memang
seyogianya begitu, karena bertambahnya permintaan negara
industri berarti kemungkinan naiknya ekspor negara berkembang.
Tapi di lain pihak, turunnya harga minyak telah memukul negara
pengekspor minyak.
Surplus dana OPEC yang tersimpan di bank-bank AS dan Eropa kini
mulai mengering, dan ini dikhawatirkan bisa menaikkan tingkat
bunga, karena dana makin terbatas. Dan ini bisa terjadi pada
saat perusahaan-perusahaan besar dan negara-negara berkembang
membutuhkan kredit untuk pembelanjaan pembangunan. Begitu
merosotnya dana OPEC sekarang ini, hingga banyak di antara
mereka--kecuali Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab--bukan
lagi penyedia dana di Pasar Uang Eropa,tapi beralih menjadi
pengutang tetap.
Indonesia sendiri yang produksi minyaknya sudah turun sekitar 8%
selama dua bulan terakhir akan mengalami defisit neraca
pembayaran yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan di APBN
1982/83 yang akan mulai 1 April ini. Sementara ekonom menaksir
Indonesia bisa mengalami defisit US$ 2,5 milyar pada neraca
pembayarannya, dan bukan US$ 586 juta seperti yang diproyeksikan
pada APBN.
Apakah harga minyak OPEC memang terlalu tinggi? Menteri Minyak
Arab Saudi Syeik Zaki Yamani selalu menentang harga minyak yang
tinggi karena khawatir, harga minyak yang terlalu tinggi
justru akan mendorong negara-negara industri konsumen minyak
melakukan investasi pada sumber energi alternatif. Yang
dikhawatirkan Zaki Yamani memang sudah mulai nyata. Tenaga
nuklir dan batu bara sudah mulai digunakan secara intensif di AS
dan Eropa Barat. Bahkan yang terjadi lebih lagi: Usaha
penghematan berhasil lebih cepat dari yang diperkirakan. Energi
yang digunakan untuk memproduksi satu ton baja di AS turun 68%,
dan di Jepang turun 40% Konsumsi energi per kapita di AS juga
turun 20%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini