Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Padaharja tak boleh mati

Pabrik spiritus padaharja di tegal, jawa tengah, nyaris ditutup, karena rugi melulu. disebabkan harga yang mahal dan adanya izin impor pemerintah untuk methanol yang melimpah.(eb)

27 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PABRIK spiritus Padaharja di Tegal, Jawa Tengah, megap-megap. Berdiri sejak 1955, pabrik yang terus merugi itu akan segera tamat riwayatnya. "Daripada mati konyol lebih baik ditutup," tutur Budiono, 60 tahun, Dirut Padaharja. Dalam suratnya belum lama ini yang ditujukan ke kantor Bina Lindung, Dep. Tenaga Kerja dan Transmigrasi, ia sudah minta izin untuk itu. Kaditjen Bina Lindung terperanjat dan segera rapat yang juga dihadiri tokoh Kadin setempat. Keputusan rapat, berbau politik. Mengapa? Pertama-tama, karena mengingat pemilu, lewat BKS Alkohol/Spiritus diminta supaya Padaharja jangan ditutup dulu. Kedua, pada Budiono dijanjikan, sesudah pemilu nanti, harga tetes yaitu bahan baku spiritus, akan diturunkan . Janji ini cukup menghibur apalagi datang dari pemerintah . Tapi lepas dari itu, pabrik spiritus Padaharja, yang memproduksikan 1,5 juta liter spiritus setahun, sudah lama bernasib kurang beruntung. Masalahnya bukan sekedar harga tetes yang mahal, tapi yang cukup membikin runyam adalah izin impor pemerintah untuk methanol. Harga methanol, saingan spiritus itu cuma Rp 200 per liter, berarti lebih murah Rp 100. Dan meskipun spiritus dijual Rp 300 per liter, masih saja rugi. Dengan izin impor methanol dan anggapan bahwa mutunya sama dengan spiritus, pemerintah secara tak langsung mempersulit 13 pengusaha spiritus, termasuk Budiono. Naik Tiga Kali Methanol sebagai pengganti spiritus diperlukan tidak begitu banyak, sekitar 3 juta liter per tahun. Angka ini diperoleh dari kekurangan produksi spiritus yang per tahun mencapai 22 juta liter, sedangkan kebutuhan seluruhnya 25 juta liter. Kekurangan 3 juta liter itu berusaha ditutup pemerintah dengan mengimpor methanol. Tapi aneh sekali, impor methanol kok dibolehkan sampai 10 juta liter. Karuan saja pengusaha spiritus kelabakan. Dari segi harga mereka sudah tidak kuat bersaing, masih digebuk lagi dengan impor methanol yang melimpah. Tidak heran bila Budiono memperjuangkan agar impor semacam itu dihentikan saja. Tapi kemungkinan menolak methanol tipis adanya. Apalagi minat pemerintah lebih tertuju pada penurunan harga tetes, suatu hal yang sebelumnya juga sudah diusulkan Budiono. Sampai dua kali, bahkan. Alasannya: pabrik terancam. Usul pertama diajukan ketika harga bahan baku spiritus itu naik dari Rp 40.000 menjadi Rp 75.000 per ton. Kenaikan yang amat tiba-tiba itu kemudian diimbangi pemerintah dengan penurunan menjadi Rp 50.000 per ton. Tapi menurut Budiono inipun tidak banyak menolong, hingga ia minta harga itu diturunkan sekali lagi. Dan tanpa hasil. Bahan baku yang bernama tetes itu, pada mulanya hanya Rp 12.500 per ton. Waktu itu harga jual spiritus cuma Rp 165 per liter. Tapi dalam tahun 1981 saja, harga tetes naik tiga kali. Kenaikan pertama Rp 25.000, kedua Rp 40.000, terakhir Rp 75.000. Karena itu pulaiharga jual spiritus melesat jadi Rp 300 per liter. Di saat yang sama methano1 yzng cuma p 200 per liter mengalir deras di pasaran. Titik Terang Sejak enam bulan terakhir, 86 buruh di pabrik itu menerima gaji buta. Pabrik Padaharja sudah tidak mampu memproduksi, tapi masih mencobabertahan. Tiap hari, sekitar pukul 12 siang, para buruh menghambur keluar, mengelompok di sebuah rumah di hadapan pabrik. Di situ, masih dalam baju kerja yang bersih, mereka mengocok kartu, main remi atau yang lain, membunuh waktu. Gaji Rp 400 per hari plus beras 30 kg tiap bulan masih mereka terima. Tapi nanti, bagaimana? "Masih ada titik terang," ucap Budiono, sang majikan yang juga pemilik pabrik kok Garuda yang terkenal itu. Budiono berani menyebut-nyebut titik terang,. mungkin sekali karena sesudah ricuh harga yang kian memburuk pemerintah akan mengarahkan dan mengatur kembali tata-niaga methanol. Sesuai dengan kebutuhan industri urea forrladehyde sebanyak 30.000 ton, departemen perindustrian mengusulkan pada menteri perdagangan agar impor methanol dikurangi. Ini dimaksudkan agar tidak mendesak pasaran spiritus, sedangkan 6.500 ton dari kebutuhan methanol, sudah dapat disediakan oleh PT Kumatex. Di samping itu pemerintah bermaksud melarang penggunaan spiritus yang bahan baku atau bahan pembantunya methanol. Terutama untuk industri obat-obatan dan kosmetik. Pemerintah juga akan melarang penjualan methanol sebagai produk sampingan ke pasaran bebas, kecuali bila dijual sebagai bahan baku atau pembantu. Maksud baik pemerintah ini menggembirakan, hanya sampai kini ketentuan pelaksanaannya belum keluar juga. Drs. Untung Basuki, Ketua BKS Alkohol/Spiritus Pusat dalam suratnya 28 Februari yang dituiuan pada Padaharja, menjelaskan usaha mereka yang berkali-kali memohon penurunan harga tetes pada pemerintah. Tapi belum juga dapat dipertimbangkan karena selama ini harga jual tetes pada pabrik gula masih Rp 65.000 per ton. Tapi dengan selesainya masa giling tahun 1981, BKS Alkohol/Spiritus Pusat mengharap agar untuk masa giling 1982, Departemen Pertanian dapat menyesuaikan harga tetes untuk petani dan untuk pem,akaian lokal industri dalam negeri. Mungkin sekali yang dimaksud Budiono dengan titik terang adalah penyesuaian harga ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus