PABRIK spiritus Padaharja di Tegal, Jawa Tengah, megap-megap.
Berdiri sejak 1955, pabrik yang terus merugi itu akan segera
tamat riwayatnya. "Daripada mati konyol lebih baik ditutup,"
tutur Budiono, 60 tahun, Dirut Padaharja. Dalam suratnya belum
lama ini yang ditujukan ke kantor Bina Lindung, Dep. Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, ia sudah minta izin untuk itu. Kaditjen
Bina Lindung terperanjat dan segera rapat yang juga dihadiri
tokoh Kadin setempat.
Keputusan rapat, berbau politik. Mengapa? Pertama-tama, karena
mengingat pemilu, lewat BKS Alkohol/Spiritus diminta supaya
Padaharja jangan ditutup dulu. Kedua, pada Budiono dijanjikan,
sesudah pemilu nanti, harga tetes yaitu bahan baku spiritus,
akan diturunkan .
Janji ini cukup menghibur apalagi datang dari pemerintah . Tapi
lepas dari itu, pabrik spiritus Padaharja, yang memproduksikan
1,5 juta liter spiritus setahun, sudah lama bernasib kurang
beruntung. Masalahnya bukan sekedar harga tetes yang mahal, tapi
yang cukup membikin runyam adalah izin impor pemerintah untuk
methanol.
Harga methanol, saingan spiritus itu cuma Rp 200 per liter,
berarti lebih murah Rp 100. Dan meskipun spiritus dijual Rp 300
per liter, masih saja rugi. Dengan izin impor methanol dan
anggapan bahwa mutunya sama dengan spiritus, pemerintah secara
tak langsung mempersulit 13 pengusaha spiritus, termasuk
Budiono.
Naik Tiga Kali
Methanol sebagai pengganti spiritus diperlukan tidak begitu
banyak, sekitar 3 juta liter per tahun. Angka ini diperoleh dari
kekurangan produksi spiritus yang per tahun mencapai 22 juta
liter, sedangkan kebutuhan seluruhnya 25 juta liter. Kekurangan
3 juta liter itu berusaha ditutup pemerintah dengan mengimpor
methanol.
Tapi aneh sekali, impor methanol kok dibolehkan sampai 10 juta
liter. Karuan saja pengusaha spiritus kelabakan. Dari segi harga
mereka sudah tidak kuat bersaing, masih digebuk lagi dengan
impor methanol yang melimpah. Tidak heran bila Budiono
memperjuangkan agar impor semacam itu dihentikan saja.
Tapi kemungkinan menolak methanol tipis adanya. Apalagi minat
pemerintah lebih tertuju pada penurunan harga tetes, suatu hal
yang sebelumnya juga sudah diusulkan Budiono. Sampai dua kali,
bahkan. Alasannya: pabrik terancam. Usul pertama diajukan ketika
harga bahan baku spiritus itu naik dari Rp 40.000 menjadi Rp
75.000 per ton. Kenaikan yang amat tiba-tiba itu kemudian
diimbangi pemerintah dengan penurunan menjadi Rp 50.000 per ton.
Tapi menurut Budiono inipun tidak banyak menolong, hingga ia
minta harga itu diturunkan sekali lagi. Dan tanpa hasil.
Bahan baku yang bernama tetes itu, pada mulanya hanya Rp 12.500
per ton. Waktu itu harga jual spiritus cuma Rp 165 per liter.
Tapi dalam tahun 1981 saja, harga tetes naik tiga kali. Kenaikan
pertama Rp 25.000, kedua Rp 40.000, terakhir Rp 75.000. Karena
itu pulaiharga jual spiritus melesat jadi Rp 300 per liter. Di
saat yang sama methano1 yzng cuma p 200 per liter mengalir
deras di pasaran.
Titik Terang
Sejak enam bulan terakhir, 86 buruh di pabrik itu menerima gaji
buta. Pabrik Padaharja sudah tidak mampu memproduksi, tapi masih
mencobabertahan. Tiap hari, sekitar pukul 12 siang, para buruh
menghambur keluar, mengelompok di sebuah rumah di hadapan
pabrik.
Di situ, masih dalam baju kerja yang bersih, mereka mengocok
kartu, main remi atau yang lain, membunuh waktu. Gaji Rp 400 per
hari plus beras 30 kg tiap bulan masih mereka terima. Tapi
nanti, bagaimana? "Masih ada titik terang," ucap Budiono, sang
majikan yang juga pemilik pabrik kok Garuda yang terkenal itu.
Budiono berani menyebut-nyebut titik terang,. mungkin sekali
karena sesudah ricuh harga yang kian memburuk pemerintah akan
mengarahkan dan mengatur kembali tata-niaga methanol. Sesuai
dengan kebutuhan industri urea forrladehyde sebanyak 30.000
ton, departemen perindustrian mengusulkan pada menteri
perdagangan agar impor methanol dikurangi.
Ini dimaksudkan agar tidak mendesak pasaran spiritus, sedangkan
6.500 ton dari kebutuhan methanol, sudah dapat disediakan oleh
PT Kumatex. Di samping itu pemerintah bermaksud melarang
penggunaan spiritus yang bahan baku atau bahan pembantunya
methanol. Terutama untuk industri obat-obatan dan kosmetik.
Pemerintah juga akan melarang penjualan methanol sebagai produk
sampingan ke pasaran bebas, kecuali bila dijual sebagai bahan
baku atau pembantu. Maksud baik pemerintah ini menggembirakan,
hanya sampai kini ketentuan pelaksanaannya belum keluar juga.
Drs. Untung Basuki, Ketua BKS Alkohol/Spiritus Pusat dalam
suratnya 28 Februari yang dituiuan pada Padaharja, menjelaskan
usaha mereka yang berkali-kali memohon penurunan harga tetes
pada pemerintah. Tapi belum juga dapat dipertimbangkan karena
selama ini harga jual tetes pada pabrik gula masih Rp 65.000 per
ton. Tapi dengan selesainya masa giling tahun 1981, BKS
Alkohol/Spiritus Pusat mengharap agar untuk masa giling 1982,
Departemen Pertanian dapat menyesuaikan harga tetes untuk petani
dan untuk pem,akaian lokal industri dalam negeri. Mungkin sekali
yang dimaksud Budiono dengan titik terang adalah penyesuaian
harga ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini