Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harga Yang Menyimpang Naik

Hasan Nazih pengelola minyak Iran diundang dalam pertemuan OPEC. Iran menjual minyaknya kepada pembeli yang berani. Indonesia selalu bersikap moderat dalam memainkan harga minyaknya. (eb)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASAN Nazih, direktur pengelola National Iran Oil Co., kabarnya diundang menghadiri pertemuan istimewa negara-negara anggota pengekspor minyak (OPEC) di Jenewa 26 Maret besok. Bagi Nazih, 56 tahun, yang muncul setelah revolusi Iran, pertemuan di Jenewa itu merupakan suatu pengalaman penting dalam hidupnya. Tak punya latar belakang dalam bisnis minyak, bekas yuris hukum perdata itu baru-baru ini merasa kikuk juga ketika harus memberi konperensi pers. Iran, yang di masa Shah dikenal sebagai produsen minyak terbesar sesudah Arab Saudi, selama 69 hari sejak meletusnya revolusi anti Shah tak mengekspor minyak setetespun. Baru 5 Maret lalu kilang-kilang di kota minyak Abadan dibuka kembali, mengekspor minyak sebanyak 1 juta barrel (lihat TEMPO 17 Maret). Tapi tanpa adanya konflik sekalipun, Iran tampaknya tak mematuhi keputusan Abu-Dhabi lagi, sekalipun untuk minyak yang sudah dikontrak para pembeli. Sebaliknya, seperti terjadi awal pekan lalu, kebijaksanaan baru NIOC adalah menjual minyaknya kepada pembeli yang paling berani. Disebut-sebut beberapa langganan seperti Mitsui 8 Co. Ashland Oil di AS dan maskapai kongsi Inggeris-Belanda Shell, telah berani membeli dengan US$ 20 per barrel. Menunggu April Keputusan di Abu Dhabi untuk menaikkan harga secara bertahap sebanyak 14,5% sejak awal Januari s/d akhir Desember nanti, pagi-pagi tampaknya sudah ditinggalkan. Tapi sayangnya, Indonesia sampai sekarang hanya bisa gigit jari melihat semua itu. Soalnya semua ekspor minyak Indonesia yang sekitar 1,1 juta barrel sehari sudah dikontrak para langganan, terutama J epang dan Amerika. Sehingga, seperti kata seorang pembantu dekat Dir-Ut Pertamina Piet Harjono, "apa lagi yang mau dispot." Tapi mengapa bisa menyisihkan sekitar 280.000 barrel untuk Muangthai? Bantuan kepada tetangga kita yang menderita kesulitan bahan bakar itu, menurut ir. Wijarso, Direktur pada Ditjen Migas kepada TEMPO, adalah "sisa-sisa yang masih bisa dikumpulkan " Hingga bisa dipastikan sulit untuk memenuhinya kalau ada tetangga lain yang tibatiba menjerit gara-gara dianda krisis minyak yang kedua kalinya ini. Mungkinkah dalam waktu dekat ini Indonesia secara resmi menaikkan harga minyaknya, melebihi keputusan OPEC di Abu-Dhabi? "Mungkin saja," kata Piet Harjono. Dalam suatu interpiu dengan TEMPO baru-baru ini, Dir-Ut Piet menjelaskan bahwa kontrak penjualan minyak itu biasanya berlaku untuk satu kwartal saja. Kwartal kedua akan dimulai awal April ini. Aba-aba kenaikan harga minyak itu juga sudah diungkapkan Menteri Pertambangan dan Enerji Dr. Subroto ketika meresmikan lapangan minyak baru punya Pertamina di Cemara, 70 Km sebelum Cirebon, akhir pekan lalu. Sekalipun sebelumnya Subroto menyatakan Indonesia "tak terburu-buru ikut menaikkan harga minyaknya. " Berapa persen? Itu baru ketahuan sekembali Menteri Subroto dari Jenewa. Tapi kenaikan minyak Indonesia yang sekarang, untuk berbagai jenis crudenya, rata-rata masih berada di bawah yang diputuskan sidang di Abu-Dhabi. Kenapa Indonesia selalu bersikap "moderat" dalam memainkan harga minyaknya, memang menjadi pertanyaan beberapa pengamat. Tapi, seperti kata Wijarso, "kita ini kan termasuk kecil dalam OPEC, hingga perlu melihat yang lain-lain dulu sebelum mengambil sikap." Melihat pasarnya yang sebagian besar ke Jepang dan Tepi Barat AS, dua negeri donor terbesar, bisa dimaklumi mengapa Indonesia tak menempuh cara Aljazair yang juga mewakili sekitar 10% dari produksi OPEC. Adalah Aljaair dan Libia yang sejak beberapa waktu lalu mengurangi penjualan (kontrak) minyaknya kepada para pembelinya dengan alasan "kesulitan teknis". Tapi diduga itu adalah alasan agar mereka bisa menyisihkan minyak yang lebih banyak untuk penjualan spot. Kurang etis? Mungkin saja. Tapi dunia minyak yang licin dan setiap waktu bisa mendebarkan jantung negara-negara industri, pernah mengenal embargo tahun 1973, yang juga ditempuh secara sepihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus