HASAN Nazih, direktur pengelola National Iran Oil Co., kabarnya
diundang menghadiri pertemuan istimewa negara-negara anggota
pengekspor minyak (OPEC) di Jenewa 26 Maret besok. Bagi Nazih,
56 tahun, yang muncul setelah revolusi Iran, pertemuan di Jenewa
itu merupakan suatu pengalaman penting dalam hidupnya. Tak punya
latar belakang dalam bisnis minyak, bekas yuris hukum perdata
itu baru-baru ini merasa kikuk juga ketika harus memberi
konperensi pers.
Iran, yang di masa Shah dikenal sebagai produsen minyak terbesar
sesudah Arab Saudi, selama 69 hari sejak meletusnya revolusi
anti Shah tak mengekspor minyak setetespun. Baru 5 Maret lalu
kilang-kilang di kota minyak Abadan dibuka kembali, mengekspor
minyak sebanyak 1 juta barrel (lihat TEMPO 17 Maret).
Tapi tanpa adanya konflik sekalipun, Iran tampaknya tak mematuhi
keputusan Abu-Dhabi lagi, sekalipun untuk minyak yang sudah
dikontrak para pembeli. Sebaliknya, seperti terjadi awal pekan
lalu, kebijaksanaan baru NIOC adalah menjual minyaknya kepada
pembeli yang paling berani. Disebut-sebut beberapa langganan
seperti Mitsui 8 Co. Ashland Oil di AS dan maskapai kongsi
Inggeris-Belanda Shell, telah berani membeli dengan US$ 20 per
barrel.
Menunggu April
Keputusan di Abu Dhabi untuk menaikkan harga secara bertahap
sebanyak 14,5% sejak awal Januari s/d akhir Desember nanti,
pagi-pagi tampaknya sudah ditinggalkan. Tapi sayangnya,
Indonesia sampai sekarang hanya bisa gigit jari melihat semua
itu. Soalnya semua ekspor minyak Indonesia yang sekitar 1,1 juta
barrel sehari sudah dikontrak para langganan, terutama J epang
dan Amerika. Sehingga, seperti kata seorang pembantu dekat
Dir-Ut Pertamina Piet Harjono, "apa lagi yang mau dispot."
Tapi mengapa bisa menyisihkan sekitar 280.000 barrel untuk
Muangthai? Bantuan kepada tetangga kita yang menderita kesulitan
bahan bakar itu, menurut ir. Wijarso, Direktur pada Ditjen Migas
kepada TEMPO, adalah "sisa-sisa yang masih bisa dikumpulkan "
Hingga bisa dipastikan sulit untuk memenuhinya kalau ada
tetangga lain yang tibatiba menjerit gara-gara dianda krisis
minyak yang kedua kalinya ini.
Mungkinkah dalam waktu dekat ini Indonesia secara resmi
menaikkan harga minyaknya, melebihi keputusan OPEC di Abu-Dhabi?
"Mungkin saja," kata Piet Harjono. Dalam suatu interpiu dengan
TEMPO baru-baru ini, Dir-Ut Piet menjelaskan bahwa kontrak
penjualan minyak itu biasanya berlaku untuk satu kwartal saja.
Kwartal kedua akan dimulai awal April ini. Aba-aba kenaikan
harga minyak itu juga sudah diungkapkan Menteri Pertambangan dan
Enerji Dr. Subroto ketika meresmikan lapangan minyak baru punya
Pertamina di Cemara, 70 Km sebelum Cirebon, akhir pekan lalu.
Sekalipun sebelumnya Subroto menyatakan Indonesia "tak
terburu-buru ikut menaikkan harga minyaknya. "
Berapa persen? Itu baru ketahuan sekembali Menteri Subroto dari
Jenewa. Tapi kenaikan minyak Indonesia yang sekarang, untuk
berbagai jenis crudenya, rata-rata masih berada di bawah yang
diputuskan sidang di Abu-Dhabi. Kenapa Indonesia selalu bersikap
"moderat" dalam memainkan harga minyaknya, memang menjadi
pertanyaan beberapa pengamat. Tapi, seperti kata Wijarso, "kita
ini kan termasuk kecil dalam OPEC, hingga perlu melihat yang
lain-lain dulu sebelum mengambil sikap."
Melihat pasarnya yang sebagian besar ke Jepang dan Tepi Barat
AS, dua negeri donor terbesar, bisa dimaklumi mengapa Indonesia
tak menempuh cara Aljazair yang juga mewakili sekitar 10% dari
produksi OPEC. Adalah Aljaair dan Libia yang sejak beberapa
waktu lalu mengurangi penjualan (kontrak) minyaknya kepada para
pembelinya dengan alasan "kesulitan teknis". Tapi diduga itu
adalah alasan agar mereka bisa menyisihkan minyak yang lebih
banyak untuk penjualan spot.
Kurang etis? Mungkin saja. Tapi dunia minyak yang licin dan
setiap waktu bisa mendebarkan jantung negara-negara industri,
pernah mengenal embargo tahun 1973, yang juga ditempuh secara
sepihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini