NOPEMBER tahun lalu likwidasi PT Prkebunan XXX Subang
ditangguhkam direksi lama diberhentikan dan beberapa komisaris
perusahaan ditunjuk sebagai pengelola sehari-hari. Para karyawan
bernapas lega setelah sebelumnya ketakutan akan kemungkinan
"dirumahkan" menghantui mereka. Tapi kegembiraan itu ternyata
berumur pendek.
Akhir Pebruari lalu keluar keputusan Menteri Pertanian. Isinya:
15 perkebunan milik PTP XXX dipecah dan dimasukkan dalam 3 - PTP
di Jawa Barat, yakni PTP Xll, PTP Xlll dan PNP XIV Cirebon.
"Dengan begitu PTP XXX sekarang jadi PTP kosong karena tidak
punya perkebunan," kata seorang pimpmannya.
Rupanya Menteri Pertanian tidak melihat kemungkinan lain. Sejak
diambil alih pada 1964 (semula punya P&T Land), perkebunan ini
terus mundur. Produksi anjlog, luas areal tanaman menurun.
Akibat pemborosan dan salah urus PTP ini terus merugi.
Hutangnya sampai awal tahun ini sudah membengkak mencapai Rp 4,5
milyar, melebihi modal yang ada. "Itu hutang yang di wariskan
pimpinan lama," tangkis seorang pejabat teras PTP ini. Maksudnya
hutang warisan P.P. Dwikora IV yang mengelola perkebunan itu
sampai 1973 ditambah dengan salah pengelolaan pimpinan PTP XXX
sebelumnya. Staf Bantuan Menteri Pertanian (SBM) yang ditugaskan
mengawasinya sejak 1977 rupanya tidak melihat perkebunan
tersebut bisa ditolong lagi. Jadi harus dilikwidir (dihapuskan).
Telegram
"Banyak kemajuan yang dicapai setelah pimpinan dipegang
Soekardjo," kata seorang karyawan. Soekardjo Wirjosiswojo, RAA
Adiningrat dan Brigjen Barlan Setiadijaya, ketiganya komisaris
PTP XXX, Nopember lalu ditunjuk menjadi pengelola harian
perkebunan ini.
Kemajuan apa? "Tiap bulan kini PTP XXX untung rata-rata sekitar
Rp 80 juta," kata sumber yang sama. Padahal sebelumnya tiap
lan kerugian mencapai sekitar Rp 37 juta. Hingga perkebunan
ini sudah berhasil membayar hutang pada PTP Xll dan PTP Xlll
sebesar Rp 255,3 juta yang tahun lalu dipinjam untuk membayar
gaji karyawan PTP XXX.
Langkah perbaikan Soekardjo termasuk juga menghentikan kegiatan
PT Kilangbara, perusahaan milik oknum pimpinan lama yang
sebelumnya mensuplai hampir semua kebutuhan perkebunan dengan
cara yang tidak wajar. Untuk mengatasi pemborosan gaji direksi
yanL sebelumnya sekitar Rp 1 juta per bulan diturunkan jadi Rp
340.000.
Kalau sudah ada langkah-langkah perbaikan, mengapa pemecahan itu
dilakukan? "Likwidasi itu memang tidak bisa lagi ditawar,"kata
seorang pejabat Departemen Pertanian. Sedang laporan adanya
keuntungan itu menurut seorang dari Staf Bantuan Menteri "tidak
bisa dipegang". Alasannya: perusahaan jelas sudah hancur tak
terurus, tidak ada biaya pemeliharaan perkebunan sedang upah
buruh minim. "Lagi sebetulnya Soekardjo kan sudah duduk sebagai
komisaris -- dus pimpinan -- sejak 1973. Toh nyatanya hutang
menumpuk terus," katanya.
Bagaimana nasib karyawan? Soal ini yang menyebabkan likwidasi
ditangguhkan, sebab kabarnya Presiden Soeharto berpesan agar
dalam penyelesaian PIP XXX ini tidak ada karyawan yang
dirumahkan. Jalan keluarnya: para karyawan dipindahkan ke PTP
XII, PTP XIII dan PNP XIV. Hingga semua pihak dapat
diselamatkan, baik karyawan maupun kekayaan negara. "Jelas
karyawan tak dirugikan, gaji mereka malahan lebih baik dari yang
mereka terima sebelumnya," kata sumber SBM. Upah buruh harian
berkat bantuan ketiga PTP tadi memang sudah naik dari Rp 285
sehari menjadi Rp 400 sehari.
Komentar dari pimpinan PTP XXX ridak bisa diperoleh. Agaknya ini
karena danya 3 telegram dari Kodam Vl Silivangi, Sekjen
Departemen Pertanian dan SBM yang melarang pejabat perkebunan
ini buka suara. Menteri Pertanian sudah membentuk Tim Pelaksana
Pemasukan Aktiva dan Passiva PTP XXX pala PTP Xll, PTP Xlll dan
PNP XIV. Tuas tim yang dipimpin Fairus Lubis ini adalah untuk
meninventarisir aktiva dan passiva PTP XX termasuk revaluasi
asset (kekayaan) untuk kemudian dialihkan ke ketiga perkebunan
itu. Tim ini diberi waktu 3 bulan sejak Pebruari. Dan ujung
kerja tim ini mudah diduga Likwidasi PTP XXX.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini