SHEIK Mohamad Said Farisy, Walikota Jeddah, terperanjat juga
ketika melihat-lihat bangunan di Jakarta. Bernama Nazzla,
isterinya yang cantik itu dia menghabiskan waktunya
melihat-lihat beberapa tempat rekreasi, terutama di Ancol itu.
"Saya amat gembira, saya melihat sesuatu yang mclebihi dugaan
saya semula," katanya.
Kedatangan Walikota Farisy, yang termasuk keluarga besar Saud
juga, rupanya ingin menggalakkan hubungan bisnis dengan
Indonesia, terutama di bidang kontrakting. Di depan Asosiasi
Kontraktor Indonesia (AKI), sang Wali Jeddah itu minta tenaga
kerja dan tehnisi lebih banyak dari sini. Rupanya kehadiran
orang Korea dan Taiwan yang makin tumplek di Arab Saudi telah
menimbulkan persoalan. Sebab nilai hidup mereka amat berbeda
dcngan orang Arab. Maka Al-Farisy yakin "banyak yang dapat
dikerjakan Indonesia di Arab Saudi, terutama di tanah suci di
mana orang bukan Muslim tak bisa masuk."
Meskipun agak terlambat, dan masih dalam tingkat sub-kontraktor,
beberapa perusahaan terkenal di sini memang sudah dapat proyek
lumayan. Seperti PT Pembangunan Jaya, Bangun Cipta Sarana,
Tehnik Umum punya Eddy Kowara, Elnusa dan PT Permai Housing.
Bahkan PT Pagar Mas, punya Bambang Sidharta ikut kebagian tender
dalam proyek pembangunan hotel 16 tingkat di Mekkah, dengan 165
kamar lux. Proyek milik Pangeran Ahmad bin Abdulaziz itu
membutuhkan 200 tenaga kerja Indonesia. Ada juga permintaan
25.000 m3 marmar buatan PT Pualam per tahun. Tapi untuk
memproduksikan jumlah sebanyak itu dibutuhkan 3 mesin
berkapasitas 30 ribu m3 setahun. Tapi yang kini ada baru satu
mesin, melulu mensuplai kebutuhan di dalam negeri.
Menurut Eddy Kowara, Ketua AKI, secara resmi 3 kontraktor
Indonesia baru masuk di Arab Saudi pada 1977 dengan nilai
pekerjaan hanya US$ 15 juta. Tapi kini yang beroperasi di sana
sudah 14 perusahaan dengan kontrak seluruhnya US$ 160 juta.
Adapun tenaga kerja Indonesia di sana semuanya baru 4.000 orang
(Korea Selatan sudah 80.000 orang).
AKI berharap tahun depan bisa mencapai nilai kontrak $ 300 juta.
Sedang Korea Selatan, yang mendapat dukungan penuh
pemerintahnya, selama 1975 saja sudah mencapai nilai kontrak $
504 juta. Tapi 11 bulan kemudian jumlah itu sudah meroket
menjadi $ 2,1 milyar, naik hampir 4 kali lipat. Kini nilai
kontrak berbagai perusahaan Kor-Sel di Arab Saudi sudah mencapai
$ 7 milyar. "Mereka menguasai bahasa setempat cepat skali,"
kata Dir-Ut Kowara.
Mimpi Semilyar
Banyak yang setuju Indonesia tak bisa dibandingkan dengan
Kor-Sel. Juga dengan Taiwan yang sama gigihnya. Tapi bisakah
Indonesia mencapai $ 750 juta saja, seperti ditargetkan AKI
untuk 1982? Menurut Udaya Hadibroto, Dir-Ut Elnusa yang punya
proyek di Riyadh dan Taif, impian $ 1 milyar bukan mustahil
dicapai Indonesia, kalau saja tenaga kerja yang dikirim ke Arab
Saudi mencapai 60.000 manusia, sama banyaknya dengan jumlah
jemaah haji kita yang ke tanah suci tahun lalu.
Dir-Ut Udaya beranggapan kampanye meningkatkan kegiatan ekspor
ke Timur Tengah -- yang berdasarkan SK Presiden dipimpin Tim
Kegiatan Ekspor ke Timur Tengah -- belum jelas benar tujuannya.
Sasaran tim tersebut adalah menggaet US$ 1 milyar dalam 5 tahun,
sejak berdirinya pada Juli 1977.
Tapi Udaya tampaknya skeptis sasaran itu bisa tercapai, karena
"belum didukung penuh oleh pemerintah sendiri secara bulat,
seperti jelas dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia dan
Menteri Perdagangan sendiri yang mengatakan bahwa usaha ini
masih dianggap 'eksperimen'. Dalam bisnis tak ada eksperimen,
yang ada adalah promosi . . . yaitu usaha meyakinkan untuk
memperoleh kontrak dan melaksanakannya dengan memuaskan
langganan . . . "
Banyak hal dikemukakan Udaya Hadibroto dalam tulisannya di
majalah Prisma bulan ini. Kalau sasaran $ 1 milyar itu ingin
tercapai, maka "otomatis pemerintah kita harus menyediakan
fasilitas bank minimal $ 350 juta: $ 50 juta berupa performance
bond guarantee, $ 200 juta berupa ad vance payment bond
guarantee, $ 100 juta cash sebagai penambah modal kerja."
Dia berpendapat pekerjaan civil, listrik dan elektronika adalah
bahan-bahan yang "mampu kita kuasai dan bisa kita jual secara
total ke sana bukan tenaga kerjanya saja tapi disertai jasa-
jasa manajemen dan sebagainya." Dia menilai sudah waktunya
pemerintah melindungi dan menumbuhkan perusahaan-perusahaan
nasional.
Berbeda dengan Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar yang amat
berpegang pada tender resmi dan formal itu, di Arab Saudi, kata
Udaya, "masih banyak fleksibilitas, terutama relasi amat
menentukan." Sehingga "tidak mungkin mendapat kontrak dengan
hanya datang beberapa hari atau minggu tiap kali perlu. Kita
harus menetap di sana diakui dan diterima kehadiran kita di
sana, dilihat dan diuji kesabaran, kemantapan dan kwalitas kita,
baru nanti diberi kesempatan memenangkan ten-der . . . kalau
bersaing: harga, mutu dan relasi. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini