Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Heboh cepek

Para bankir sempat sibuk melayani nasabah untuk menukarkan uang mereka dengan pecahan logam Rp 100 yang berpenampang tebal. Konon ada isu uang tersebut bisa ditukar lagi dengan uang bernilai lebih tinggi.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU beberapa waktu lalu, para bankir sibuk melayani nasabah yang menukarkan rupiahnya ke dolar, kini tiba giliran kasir dibikin repot. Cuma bedanya, mereka yang datang kini biarpun membawa rupiah - bukan untuk ditukarkan ke dolar atau mata uang asing lainnya. Agak aneh, memang, karena mereka datang untuk menukar rupiah ke rupiah lagi. Lebih aneh lagi, uang yang ditukar nilainya tidak besar, malah cuma recehan. Jadi? Mereka berharap, kepingan logam pecahan Rp 100,00, bisa ditukarkan dengan yang bernilai lebih tinggi. Entah itu Rp 500,00 ataupun Rp 1.000,00. "Saya sampai bingung, karena dalam seminggu ini ada beberapa orang seperti itu yang datang pada kami," kata seorang kasir di BNI 46. Tidak jelas, memang, bagaimana asal muasalnya. Hanya saja, di kalangan pedagang dan kondektur bis, dalam dua pekan terakhir beredar kabar bahwa ada beberapa kolektor yang mau membeli pecahan logam Rp 100,00 dengan harga sampai 15 kali lipat. Tapi recehan Rp 100,00 yang dicari itu adalah yang berpenampang tebal, bukan yang tipis yang kini banyak beredar. Konon, menurut sebuah sumber, logam nikel yang terkandung dalam pecahan itu memiliki nilai intrinsik yang lebih besar ketimbang nilai nominalnya. Sehingga, kalau dilebur sebagai logam biasa, bisa mendatangkan keuntungan lumayan. Dan kolektornya pun konon juga, tidak hanya perorangan biasa, tapi ada juga kasir dari sebuah bank swasta di Jakarta. Jadi, Anda tak perlu heran, kalau sekali waktu naik bis, atau belanja di Jakarta, sulit untuk memperoleh Rp 100,00 tebal. Sebab, para pedagang seperti Ibu Endang, yang berjualan kelontong di pasar Ciplak, Jakarta Timur, masih sayang mengeluarkannya. Sialnya, ia bingung ke mana harus dijual. Padahal, kini Ibu Endang sudah memiliki recehan Rp 100,00 tebal, sepenuh satu kaleng biskuit Khong Guan ukuran besar. "Saya cuma dengar dari teman anak saya, katanya sih bisa ditukar di toko emas di Cileduk," ujarnya. Tapi setelah dicek ke beberapa toko emas di Cileduk, tak satu pun yang mengaku pernah menerima penukaran. Hanya seorang pedagang emas di Pasar Glodok, mengatakan pernah berhasil menukar 100 keping menjadi Rp 120 ribu. Kok bisa? Begitu mendengar isu tersebut, ia langsung menukarkan uangnya di sebuah bank dengan pecahan logam Rp 100,00 tebal. Kemudian, dibawanya hasil tukaran itu pada seorang temannya yang membisikkan berita istimewa itu. Ia berhasil. "Tapi hanya sekali itu, sebab teman saya ternyata tidak bisa menukarkan kembali ke nilai yang lebih besar," ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang hampir sama tersungging juga di bibir para bankir. "Itu kabar bohong. Mana ada bank yang mau membayar Rp 1.000,00 untuk uang logam Rp 100,00," kata seorang pimpinan Cabang BDN. Sayangnya, pihak Peruri (Perusahaan Uang RI), yang mencetak pecahan itu pada tahun 1973 tak bersedia menerangkan berapa banyak pecahan yang dicetaknya. Dan berapa pula bahan baku nikel yang digunakan ketika itu. Begitu pula pihak Bank Indonesia, yang menjadi sumber order bagi Peruri. Sampai pekan ini, BI tak hendak membuka rahasia nilai intrinsik yang terkandung dalam uang "cepek-an", yang sudah lama menyusut dari peredaran ini. Yang pasti, terdapat perbedaan mencolok antara Rp 100,00 berpenampang tebal dan Rp 100,00 berpenampang tipis. Yang pertama, tentu saja, bobotnya jauh lebih berat. Begitu pula gambar-gambar yang tercetak, sangat jauh berbeda. Pada yang tebal tidak ada gambar gunungan, walaupun rumah Minangkabau-nya dilengkapi dengan pohon kelapa. Pada bagian sisi yang tebal tercetak tulisan "Bank Indonesia", sedangkan sisi pada recehan tipis hanya berupa gerigi. Satu hal lagi, pada yang tipis tertera tahun pencetakannya dengan jelas: 1978. Pokoknya, tidak sulit membedakan dua pecahan tersebut. Tapi logikanya, kalaupun pecahan itu mengandung nilai yang lebih tinggi dari nilai nominalnya, mengapa hebohnya baru sekarang? Apakah benar, orang-orang itu baru terpikir untuk menimbang, dan menghitung-hitung nilainya belakangan ini? Dan apa pula motivasi BI mencetak uang yang nilai intrinsiknya lebih tinggi? Atau BI terrnasuk pihak yang tidak mengerti, seperti kita ini? B.K., Diah P. dan Bachtiar Abdullah (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus