Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ini listrik murah

PLTU Bukit Asam diresmikan Presiden Soeharto. 80% kapasitasnya untuk penambangan batu bara PT Bukit Asam. PLN lebih gemar memakai batu bara karena lebih hemat dibanding PLTD & PLTG. PLN medan merugi.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANCING listrik dengan umpan listrik, agaknya itulah uraian tugas yang dipercayakan pada PLTU Bukit Asam, Sumatera Selatan. Mengapa begitu? Soalnya, 80% dari kapasitasnya yang sebesar 2 X 65 megawatt (MW) itu akan digunakan untuk penambangan batu bara PT Bukit Asam. Pada gilirannya, batu bara akan dikirimkan dengan kereta api dan kapal laut ke PLTU Suralaya di Jawa Barat. Di sini batu bara akan diolah menjadi listrik, lalu dialirkan ke seluruh Pulau Jawa melalui jaringan interkoneksi se-Jawa. Diresmikan Presiden Soeharto, Rabu pekan lalu, PLTU ini - menghabiskan biaya Rp 62 milyar - dibangun di Desa Batu Gerigis, di atas tanah seluas 42 hektar. Sisa kapasitas yang 20% akan dimanfaatkan untuk Sumatera Selatan, sebagai tambahan untuk daya terpasang yang cuma 148,45 MW. Pada masa mendatang, kapasitas itu tentu meningkat, karena yang diresmikan Presiden barulah tahap pertama, dari empat tahap pembangunan PLTU Bukit Asam. Penggunaan batu bara sebagai bahan baku listrik memang sedang digemari PLN. Pasalnya, milah cara menghasilkan listrik paling murah setelah pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Pemanfaatan PLTU Batu Asam saja, menurut Menteri Subroto, "Menghemat 1,6 juta ton BBM setiap tahun." Sebenarnya, PLN sudah memulai upaya ini sejak tahun 1970-an. Beroperasinya PLTU Suralaya unit I dan 2 dan PLTA Saguling serta Cirata beberapa tahun belakangan ini, misalnya, berhasil menurunkan porsi pemakaian BBM di PLN, dari 70% menjadi di bawah 50%. Lumayan juga kalau dihitung-hitung. Menurut catatan Dirjen Listrik dan Tenaga Baru, biaya rata-rata produksi listrik dari PLTA adalah Rp 41,65/kWh dan PLTU batu bara Rp 85,98/kWh. Maka, dengan harga jual rata-rata PLN sebesar Rp 90/ kWh, cuma dua jenis pembangkit ini yang menghasilkan "keuntungan". Maklum, pembangkit yang lain ongkos produksinya di atas Rp 90/kWh. PLTG, misalnya, bisa mencapai Rp 191,43/kWh. PLN Medan adalah contoh ketekoran yang aktual. Gara-gara dua unit PLTU andalannya rusak, sejak Januari lalu, daerah ini mengalami giliran pemadaman yang cukup parah. Maklum, PLTU yang terletak di Belawan ini adalah penghasil dua pertiga listrik di Medan. Maka, terpaksa 22 pembangkit lain yang ada, yang berupa diesel (PLTD) dan gas (PLTG), dioperasikan penuh. Ini pun tak cukup. Kebutuhan listrik Medan bisa mencapai 187 MW jauh di atas kemampuan ke-22 pembangkit yang cuma 105 MW itu. Sedangkan biaya produksinya diperkirakan rata rata Rp 120/kWh. Wal hasil, karena harus mcng andalkan PLTD dan PLTG yang lebih mahal, kantor PLN unit dua Medan akan merugi Rp 16 milyar tahun ini. Padahal, tahun lalu unit inl sudah termasuk kategori "untung". Pemerintah memang sudah mengambil tindakan darurat. Menurut Kepala PLN Wilayah II Soesanto, pemerintah sudah membeli sebuah PLTG dari Jerman Barat berkapasitas 117 MW. Dengan ini diharapkan masalah kelistrikan Medan dapat diselesaikan Juni mendatang. Bahwa PLTG yang dipilih kendati biaya operasinya mahal - adalah karena pemasangannya paling cepat. Bahwa batu bara mulai dipilih untuk Jawa "Itu karena potensi PLTA di Jawa sudah jenuh," kata seorang pejabat perencana PLN pusat. Menurut Dr. Zuhal, Direktur Pengkajian Sumber Daya Nonmineral BPPT potensi itu akan terpakai penuh bila proyek Cirata 2 selesai dibangun tahun 1993. "Pada saat itu kapasitas PLTA di Jawa mencapai 2.523 MW dan PLTU batu bara mencapai 3.800 MW," katanya. Pemakaian batu bara diperkirakan baru akan jenuh pada tahun 2010, yakni pada saat Indonesia membakar 46 juta ton batu bara setahun. Sekarang, PLN baru menghabiskan 4 juta ton batu bara setahun. Ini berarti pembangunan PLTU batu bara boleh jalan terus. Bambang Harymurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus