KABAR buruk dari Bali buat petani vanili. Sebuah diskusi antara eksportir - dan para ahli pertanian dari Universitas Udayana mencetuskan kejutan tak sedap. Harga jual vanili di negeri orang jatuh sampai 50 persen, dari sekitar 45 dolar per kilogram tahun lalu, menjadi hanya 25 dolar saja. Itu untuk kualitas nomor satu. Sedangkan untuk kualitas II dan III, kejatuhannyapun cukup drastis, dari 25 dolar ke 15 dolar. Ada apa lagi? Persaingan yang ketatlah, ternyata, yang telah menjungkirkan harga fanili. Belakangan Madagaskar, sebagai produsen terbesar, menyewa sekelompok advokat, untuk mengilik-ngilik Amerika agar menolak vanili Indonesia. Madagaskar menginginkan agar kuota Indonesia ditumnkan dari 15% menjadi 5%, dengan alasan, vanili Indonesia sangat tidak bermunl. Tapi ini alasan yang hampir mengena. Seperti diakui I B.R. Wiryanata, salah seorang eksportir, "Ada beberapa pengusahd kita yang tidak menghiraukan etiket bisnis internasional. Barang yang mereka kirimkan sering tidak sesuai dengan sampel. " Belum jelas, siapa yang punya ulah. Yang pasti, jatuhnya mutu produk memang muncul dari petaninya sendiri. Kendati hampir setiap malam mereka menyandang senapan angin untuk menjaga kebunnya, pencuri tetap beraksi. Akibatnya, daripada tanaman disikat orang, mereka terpaksa memanen lebih awal. Dan cara panen seperti ini, tentu saja, hanya akan menghasilkan vanili kualitas II dan III. Karena untuk kualitas I, yang disebut juga sebagai kualitas whole bean (WB), dibutuhkan waktu tanam delapan bulan. Tidak aneh kalau keinginan pemerintah, untuk lebih banyak mengekspor kualitas I, tidak tercapan Tengok saja mutu vanili yang diekspor pada tahun 1986. Dari 300 ton yang diekspor, 75% ke Amerika, hanya ada 2% yang termasuk kualitas WB. Sisanya berupa kualitas II dan kualitas III, masing-masing 37% dan 55%. Berarti ada 6% yang dianggap tidak berkualitas sama sekali. "Tidak ada penyebab lain, kecuali ketakutan petani pada pencuri. Sehingga mereka memetik tanamannya lebih awal, bahkan ada yang baru berusia dua bulan saja," ujar Karang, wakil dari Pimpinan Perusahaan Daerah Tingkat I Bali, yang merupakan daerah penghasll terbesar. Pertarungan di pasar ekspor boleh keras, tapi tidak berarti semua eksportir gelagapan. Beberapa eksportir justru merasa senang karena membeli vanili muda lebih murah harganya, dan tentunya lebih menguntungkan. Di samping itu, dengan membeli yang muda perputaran modal akan berjalan lebih cepat. "Meskipun vanili itu tidak termasuk dalam tingkatan kualitas mana pun, tetap saja mempunyai pasar tersendiri dan laku," kata Teguh Iskak Sugiarta, Direktur CV Karya Luhur, yang mengekspor ke Amerika. Menurut Teguh, di Amerika sendiri, tidak sedikit yang membutuhkan vanili nonkualitas, misalnya perusahaan yang memproduksi vanili sintetis. Konon, mereka membeli vanili kualitas rendah ini hanya sebagai pencampur. Tujuannya, agar para produsen sintetis bisa mencantumkan kata "mengandung vanili asli" untuk menarik selera konsumen. Singkat kata, bagi eksportir seperti Teguh, kualitas bukanlah hal yang menghambat bisnisnya. Ia mengakui, petani yang menjual vanili muda. tidak semua takut oleh pencuri, tapi banyak juga yang disengaja karena membutuhkan uang mendadak. "Apa pun alasannya, bagi kami tidak menjadi masalah. Sebagai pedagang, yang penting menguntungkan," ujarnya. Lain lagi alasan Ny. Putu Raka Suniati, Direktris CV Sari Ayu. "Sebenarnya, kami ingin mengekspor WB yang gampang laku, tapi sekarang sulit cari petani yang bisa menghasilkan jenis itu," ujarnya Tampaknya, begitu gampang para ekportlr vanili ini berkilah. Bagaimanapun Madagaskar bisa merupakan ancaman besar bagi mereka. Kini IVEA (Asosiasi Eksportir Vanili Indonesia) berembuk mencari jalan keluar untuk mematahkan serangan Madagaskar. Kalau gagal, para eksportir harus mencari pasar baru. Ini berat, bah. Budi Kusumah (Jakarta) dan Joko Daryanto (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini