Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Konsep penghiliran sumber daya alam Prabowo Subianto berbeda dengan Joko Widodo.
Prabowo akan membuat program penghiliran 26 komoditas.
Presiden 2024-2029 ini akan memperkuat penghiliran di sektor nonmineral.
DALAM sidang kabinet paripurna pertama, Presiden Prabowo Subianto meminta para menteri merumuskan program penghiliran atau hilirisasi. Prabowo menekankan penghiliran akan menjadi kunci pemerintah mengatasi kemiskinan di Tanah Air. "Bikin daftar dan kita segera mencari dana sehingga kita bisa mulai hilirisasi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya," ujar Prabowo di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 24 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo menginstruksikan Menteri Investasi dan Hilirisasi, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Koordinator Perekonomian, serta Ketua Dewan Ekonomi Nasional lekas menginventarisasi proyek penghiliran tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal kampanye pemilihan presiden 2024, Prabowo bertekad melanjutkan kebijakan penghiliran sumber daya alam yang dirintis Presiden Joko Widodo.
Namun, hilirisasi ala Prabowo berbeda dengan hilirisasi zaman Jokowi. Penghiliran yang sudah dilakukan Jokowi lebih banyak di sektor sumber daya alam mineral. Sedangkan penghiliran yang akan dilakukan Prabowo bakal lebih luas cakupannya dan mengarah pada sumber daya nonmineral.
Anggota Tim Ahli Menteri ESDM Bidang Percepatan Infrastruktur Migas, Anggawira, menuturkan Prabowo akan menjalankan penghiliran yang sudah dibangun era Jokowi, dengan konsep berbeda. "Pak Prabowo akan melaksanakan program penghiliran dengan pendekatan yang lebih menyeluruh dan inklusif," katanya kepada Tempo, Ahad, 27 Oktober 2024.
Sementara Jokowi lebih mendorong penghiliran sektor tambang, kata Anggawira, Prabowo berencana memperluas cakupannya ke komoditas nonmineral yang memiliki potensi tinggi di pasar internasional. Ada 26 komoditas yang akan masuk program penghiliran pemerintahan Prabowo, terutama sektor kelautan, perikanan, dan kehutanan. Menurut Anggawira, selama ini sektor-sektor tersebut kurang optimal dalam rantai pasok global.
Selain itu, Prabowo ingin lebih menggali potensi energi hijau, seperti bahan bakar nabati dan panas bumi (geotermal). Salah satunya dengan penghiliran sawit melalui peningkatan komposisi pencampuran sawit dalam biodiesel hingga 60 persen atau B60. Pemerintah juga berencana mendorong produksi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dan gas alam terkompresi (compressed natural gas/CNG).
Anggawira mengatakan, Prabowo sudah berdiskusi dengan kalangan pengusaha untuk memahami tantangan ataupun potensi manfaat penghiliran bagi industri dalam negeri. Mantan Menteri Pertahanan itu menemui para pengusaha yang tergabung dalam Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia.
Anggawira, Ketua Umum Repnas, mengatakan pengusaha telah menyarankan skema penghiliran yang akan diterapkan pemerintahan Prabowo. Skema yang direkomendasikan lebih terfokus pada peningkatan kapabilitas teknologi dan infrastruktur di sektor hilir.
Misalnya, kata Anggawira, pemerintah bisa mendukung pembiayaan teknologi dan pelatihan tenaga kerja agar lebih siap mengelola pengolahan di dalam negeri. Selain itu, ada rencana pemberian insentif fiskal dan kemudahan perizinan kepada pelaku industri yang mau berinvestasi di sektor hilir. Langkah-langkah itu diharapkan bisa mendorong peningkatan nilai tambah lebih besar bagi komoditas yang baru masuk program penghiliran.
Khusus di sektor mineral, batu bara, minyak dan gas, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan penghiliran akan terus dilakukan. Kementerian sedang mematangkan skema penghiliran ke depan. Menurut dia, konsep penghiliran era Prabowo di sektor ini tak akan jauh berbeda dengan kebijakan yang telah dilakukan Jokowi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengingatkan Prabowo menghindari kesalahan program penghiliran era Jokowi. Menurut Faisal, Jokowi hanya mempertimbangkan manfaat penghiliran tanpa menghitung risikonya.
Dalam investasi penghiliran nikel untuk baterai kendaraan listrik, Faisal mencontohkan, muncul risiko disrupsi teknologi jika preferensi pasar bergeser ke bahan baku lain, seperti lithium iron phosphate. Hal ini dapat mengurangi permintaan nikel di masa depan. Imbasnya, kontribusi program penghiliran menjadi tak seberapa.
Karena itu, Faisal mengingatkan bahwa kebijakan penghiliran harus fleksibel serta mampu mengantisipasi risiko agar investasi tetap relevan dan menguntungkan dalam jangka panjang. Dengan demikian, pemerintahan Prabowo perlu memperhitungkan risiko pasar, perubahan preferensi, dan perkembangan teknologi.
Menurut Faisal, pilihan memperkuat penghiliran di sektor nonmigas sudah tepat. Hal itu bisa menjadi langkah strategis dalam menggenjot perekonomian. Pasalnya, beberapa sektor, seperti pertanian, perikanan, dan kelautan, memerlukan banyak tenaga kerja. Keterampilan yang dibutuhkan relatif lebih mudah diakses masyarakat dengan pendidikan menengah ke bawah sehingga lebih banyak pekerja yang bisa terserap dibanding sektor tambang. Penghiliran di sektor nonmineral juga cocok dengan profil pendidikan masyarakat Indonesia yang umumnya berpendidikan sekolah menengah atas ke bawah.
Penghiliran di sektor pertanian juga akan mendorong industri manufaktur yang mengolah hasil pertanian serta sektor hulu yang menyediakan bahan baku. Dengan demikian, program penghiliran di sektor ini berpotensi menciptakan banyak lapangan kerja dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, terutama di perdesaan.
Pengamat energi dari Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Iwa Garniwa, menilai ada banyak kelemahan dalam program penghiliran pada masa pemerintahan Jokowi yang lebih berfokus ke sektor tambang. Meski pemerintah menyatakan penghiliran nikel sukses meningkatkan nilai ekspor, kebijakan tersebut kontraproduktif dan tak banyak memberikan manfaat berarti bagi negara. Musababnya, keuntungan terbesar penghiliran nikel lebih banyak dinikmati pemilik tambang asing atau swasta.
Kepemilikan smelter nikel di dalam negeri banyak didominasi investor asal Cina. Indonesia diperkirakan hanya menikmati 30 persen keuntungan program penghiliran nikel. Sedangkan 70 persen sisanya lari ke para investor dari Cina.
Di sisi lain, hilirisasi nikel juga memicu penambangan nikel secara masif yang tidak menghiraukan kelestarian lingkungan. Padahal prinsip penghiliran semestinya tak hanya bertujuan mendapatkan nilai tambah, tapi juga mengurangi eksploitasi dan kerusakan lingkungan.
Smelter nikel juga turut menjadi penyumbang limbah. Penelitian yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios) serta Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara ikut andil dalam kerusakan lingkungan dan perairan di sana. Akibatnya, masyarakat di sekitar tambang dan smelter turut terkena dampaknya. Rusaknya lingkungan menyebabkan pendapatan pekerja sektor pertanian dan perikanan menurun.
Celios dan CREA memperkirakan penurunan pendapatan nelayan dan petani bisa mencapai US$ 234,84 juta atau sekitar Rp 3,64 triliun dalam 15 tahun ke depan. Kerugian nilai tambah ekonomi di sektor pertanian dan perikanan akibat program penghiliran tersebut diproyeksikan lebih dari US$ 387,1 juta atau sekitar Rp 6 triliun dalam 15 tahun.
Rektor Institut Teknologi PLN itu berharap pemerintah meninjau ulang regulasi penghiliran untuk mengutamakan kepentingan nasional. Dengan kebijakan yang lebih menguntungkan negara, penghiliran akan menghasilkan pajak dan lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Pemerintah juga bisa memaksimalkan penggunaan sumber daya dalam negeri, seperti pasokan listrik dari PLN dan kebutuhan energi dari Pertamina, sehingga manfaatnya lebih menyeluruh bagi perekonomian nasional.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo