BISNIS memburu dolar semakin ramai. Sehingga tidaklah aneh kalau PT Sofyan Hotels (SH), yang kini mengelola tiga hotel di Jakarta, buru-buru mencari dana tambahan untuk memoles diri. Pertengahan Mei nanti, SH resmi masuk ke pasar modal. SH menebar dua juta sahamnya, dengan harga nominal masing-masing Rp 1.000. Dengan demikian, SH menjadi hotel ketiga -- setelah Prapatan dan Borobudur -- yang go public. Kebutuhan akan suntikan dana, tampaknya, memang tak bisa dihindarkan lagi. Sebab SH -- yang punya hotel di wilayah Jakarta Pusat, Timur, dan Selatan itu -- kini sedang berusaha melengkapi beberapa sarana pelayanannya. Mulai dari fitness center, bilyar, restoran Padan, sampai ruang resepsi. Lebih dari itu, sebuah rencana besar sudah dicanangkan: membangun hotel baru lagi, di atas tanah seluas 2.000 meter persegi di Menteng, Jakarta Pusat. Hanya saja, ya itu tadi, dibutuhkan suntikan modal yang tidak sedikit. Untuk pembelian tanah, hotel yang dirancang berbintang tiga dan berkapasitas 100 kamar itu, misalnya, membutuhkan dapa US$ 750 ribu atau sekitar Rp 1,3 milyar lebih. Menurut Sofyan Ponda, pendiri yang menjadi komisaris utama, SH membutuhkan tambahan investasi Rp 4 milyar. Karena itu, ia lari ke bursa saham. Dengan konsekuensi, porsi pemilikan sahamnya menyusut. Semula, seluruh saham SH dimiliki sama besar oleh Sofyan dan anaknya, Riyanto Sofyan, yang menjadi Dirut SH. Kini mereka berdua hanya menguasai 50% atau masing-masing 1 juta lembar saham. Agaknya yang mendorong Sofyan go public bukan cuma kebutuhan dana. Masa depan keluarga pun -- Sofyan punya empat mantan istri -- menjadi pertimbangan utama. "Saya tidak ingin, kalau kelak mati, anak-anak berebut warisan," ujarnya. Karir bisnisnya menonjol sejak kecil. Sofyan menjadi tumpuan hidup ibu dan tiga adiknya setelah ditinggalkan ayahnya tatkala ia berusia empat tahun. Masa kanak-kanaknya diisi dengan berjualan kue cucur sampai sabun beko. Setelah mengundurkan diri dari Tentara Pelajar, Sofyan berjualan buku di Pasar Senen, Jakarta. Sofyan mengawali bisnis hotel pada 1970. Di kawasan Gondangdia, sebuah rumah disulapnya menjadi Hotel Menteng -- berkapasitas 20 kamar. Rupanya, ia merasa in di bidang ini. "Bisnis hotel ini tahan terhadap gejolak ekonomi," ujarnya. Artinya, kalau terjadi devaluasi, misalnya, nilai aset, yang berupa tanah dan gedung, tidak akan anjlok. Berpatungan dengan seorang mitranya Datuk Basa, Sofyan membangun Hotel Menteng II, dan III di bilangan Cikini Raya. Tahun 1983 ia berpisah dengan Pak Datuk, dan memperoleh bagian Hotel Menteng III (sekarane Cikini Sofyan Hotel), yang berkapasitas 115 kamar. Dari keuntungan yang diperolehnya, walaupun kecil-kecilan, disisihkan untuk membangun hotel-hotel mini. Seperti Rensa Sofyan Hotel, yang hanya berkapasitas 15 kamar, dan Tebet Sofyan Hotel (55 kamar). Sedangkan yang di Cikini, terus di-make up hingga memiliki fasilitas seperti sekarang, dan bertitel 3 bintang. Dan hasilnya, lumayan. Dengan harta total Rp 3 milyar, SH berhasil meraih omset Rp 220 juta sebulan. Itu karena tingkat pengisian tamu selalu di atas 80%. "Tujuh puluh persen adalah turis-turis asing," kata Sofyan. Makanya, Sofyan berusaha bisa membangun hotel baru. Memikat pelancong mungkin tak semudah menarik pembeli saham hotel berskala kecil itu. Mungkin SH akan diuntungkan oleh "uang panas" yang, belakangan, ikut memanaskan pasar modal. Dengan harga perdana Rp 1.250 per lembar, kelihatannya Saham SH akan cepat ludes.Budi Kusumah, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini