SEMAKIN banyak orang berkantung tebal bermain di bursa saham. Pekan lalu, pusat perdagangan saham dan obligasi di Jalan Merdeka Selatan itu membuka pintu lagi bagi sejumlah yayasan dana pensiun. Dirjen Moneter Oscar Suryaatmadja menyambut baik yayasan dana pensiun itu dan mengajaknya untuk meningkatkan penghasilan di bursa efek, tanpa dikenai pajak penghasilan. Jumlah yayasan dana pensiun yang diakui Departemen Keuangan tak kurang dari 120 buah. "Mereka mempunyai dana sekitar Rp 6 trilyun," kata Ketua Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal) Marzuki Usman. Ketua Bapepam itu mengharapkan yayasan dana pensiun ini akan memborong saham dan obligasi yang dalam waktu dekat akan dijual di Bursa Efek Jakarta, Bursa Paralel Jakarta, dan Bursa Efek Surabaya yang akan diresmikan Juni mendatang. Minat penjual saham juga terus mengalir. Pekan lalu, Bapepam mengizinkan penjualan saham PT Sofyan Hotel (Rp 1,2 milyar) dan PT Supreme Cable Manufacturing Corporation (Rp 35,9 milyar). Masih ada beberapa lagi yang antre untuk go public. Kebetulan para pembeli kini tak terlalu mempersoalkan deviden. "Masyarakat kita kini lebih senang mencari kenaikan laba modal (capital gain) daripada mencari dividen -- kata Halim Jusuf, pialang PT Danatama Makmur. Hal itu terlihat dalam beberapa RUPS (rapat umum pemegang saham) yang berlangsung April ini. Para pemegang saham PT Sepatu BATA, PT BAT, dan PT Merck -- yang sudah go public -- tak mempersoalkan besarnya dividen yang tak sampai 10% dari harga saham. Bahkan mereka setuju sebagian besar laba itu ditahan perusahaan. "Dengan demikian, perusahaan mempunyai cadangan modal kerja. Tentu, perusahaan bisa menekan biaya operasi, sehingga keuntungan meningkat," kata Yannes Naibaho, Kepala Divisi Investasi PT Danareksa. Buntutnya, diperkirakan harga saham meningkat, dan para pemilik saham memperoleh capital gain lebih tinggi daripada sekadar deviden. Namun ada kekhawatiran, jangan-jangan saham baru akan diborong orang asing. Maklum, lembaga-lembaga keuangan internasional yang melirik Bursa Efek Jakarta (yang dikelola Bapepam) serta Bursa Paralel Jakarta (yang dikelola PT Bursa Paralel), semakin banyak. Pemodal dari Jepang dan Hongkong, kelihatan sangat sigap. Misalnya, pekan lalu, sebuah perusahaan dari Jepang menyatakan minatnya ingin memborong saham Hotel Sofyan yang belum genap setengah bulan ditawarkan itu. Padahal, sebelumnya, menurut Ketua PPUE Syahrizal, sedikitnya sudah ada tiga perusahaan Jepang yang bermain di bursa. Sedangkan di Hongkong, menurut koran South Cina Morning Post 24 April, minimal sudah terbentuk tiga lembaga keuangan Indonesian Fund. Antara lain Jardine Flemming, yang sudah membeli saham bernilai US$ 12 juta lewat PT Danareksa. Belakangan, Jardine tak puas hanya sebagai pembeli. Kabarnya, perusahaan itu hendak mendirikan sebuah lembaga keuangan non-bank-berpatungan dengan PT Multicor -- untuk bisa lebih leluasa bermain di bursa saham. Dewasa ini orang asing memang hanya boleh membeli saham dari 8 perusahaan (antara lain, Hotel Borobudur, Hotel Prapatan, dan Sucaco yang sudah go public). "Itu pun sudah habis," kata Kitty Twysel, Direktris PT (pialang) Intan Artha. Mungkinkah orang asing dicegah memborong saham? "Imbauan itu sulit dilakukan. Contoh saja, saham baru Sucaco yang ditawarkan bernilai hampir Rp 36 milyar. Apakah ada orang kita yang mampu membeli seluruhnya?" kata Dirut Danareksa R. Subagyo. Saham Sucaco memang cukup mahal. Saham bernilai nominal Rp 1.000 itu mulai dijual, Jumat pekan lalu (28 April), seharga Rp 6.200 per lembar. Yang bisa menyediakan dana Rp 620.000 dalam kelipatan 100 lembar -- untuk mendapatkan satu lot saham itu, tentunya, tak banyak.Max Wangar, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini