Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ada piagam ada prioritas

200 pengusaha terkemuka mendapat penghargaan sebagai pembayar pajak terbesar. liem sioe liong mendu duki posisi teratas. hanya 15 bank swasta yang terpilih. pt djawa post masuk peringkat 168.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPAKAH yang paling gampang mengumpulkan konglomerat, selain Pak Harto? Jawabnya tak salah lagi: Menteri Keuangan J.B. Sumarlin. Atas undangan Pak Marlin, Senin pekan ini, Flores Room Hotel Borobudur dipadati oleh sekitar 200 pengusaha kakap. Seperti tahun-tahun lalu, mereka diundang untuk memperoleh penghargaan sebagai pembayar pajak terbesar tahun 1988. Maka di serambi yang gemerlapan itu, terlihat wajah-wajah yang sering menghiasi halaman media massa. Ada Liem Sioe Liong dengan Anthoni Salimnya, dan William Soeryadjaja dengan Teddy P. Rachmatnya. Juga beberapa nama besar: Sudwikatmono, Rachmat Gobel, Jos Soetomo, Robby Djohan, atau Putera Sampoerna. Itulah sebagian kecil dari 200 pengusaha terkenal, yang Senin pekan ini mendapat piagam penghargaan sebagai pembayar pajak perorangan terbesar. "Saya bayar Rp 16 milyar," kata Liem Sioe Liong, yang terpilih sebagai pembayar PPh Perorangan terbesar. Mendengar ini, tak sulit untuk menebak penghasilan Om Liem dalam setahun. Taruhlah dia membayar PPh 30%. Maka penghasilannya tak akan kurang dari Rp 54 milyar. Dan itu prestasi dua tahun lalu. Sekarang tentu berlipat ganda. Posisi kedua ditempati oleh Robert Budi Hartono alias Oei Hwie Tjiong. Dialah salah satu raja kretek dari Kudus, yang mengelola Pabrik Rokok Djarum. Entah berapa PPh pribadi yang dibayar Oei. Yang pasti, ia berhasil menjadikan Djarum seba- gai perusahaan yang beromset sekitar Rp 1,5 trilyun setahun. Di peringkat ketiga menyusul si mantan raja judi, Atang Latief. Baru sesudah itu peringkat keempat diduduki oleh Sigit Harjojudanto S., di samping tiga anggota keluarga Presiden Soeharto yang juga mendapat piagam. Mereka adalah Bambang Trihatmodjo (peringkat 30), Tommy Hutomo Mandala Putra, dan Indra Rukmana. Tak kurang menarik adalah perusahaan "baru" yang mendapat piagam sebagai pembayar PPh Badan terbesar. PT Freeport Indonesia Inc (FII) misalnya. Ini perusahaan PMA lama, yang tahun lalu pun, belum termasuk sebagai penerima piagam. Entah apa yang terjadi, Freeport mendadak muncul sebagai pembayar PPh Badan terbesar tahun 1988. Perusahaan yang bergerak di pertambangan tembaga ini, tahun 1988 membayar PPh sebesar 65,8 juta dolar, atau sekitar Rp 124 milyar. Kenapa tahun lalu tidak terpilih? "Wah, waktu dimintai data, laporan kami belum diaudit," kata Usman Pamun- tjak, Dirut FII. Menyusul dua bintang lama: Perum Telekomunikasi dan PT Indosat yang membayar Rp 70 milyar dan Rp 68 milyar. Posisi keempat ditempati oleh Bank Eksim (Rp 44,5 milyar), yang seperti tahun lalu mengungguli enam bank pemerintah lainnya. "Tahun depan, tampaknya kami akan kembali masuk ke dalam 10 besar," kata Iwan R. Prawiranata, Dirut Bank Eksim. Soalnya, laba yang diraih tahun 1989 (Rp 146 milyar), jelas lebih besar ketimbang laba 1988 yang hanya Rp 119,6 milyar. Di balik sukses bank-bank pemerintah, keganjilan justru muncul di sektor penyetoran PPh Badan bank swasta nasional. Menjadi tanda tanya, mengapa yang masuk ke dalam 200 pembayar PPh terbesar cuma 15 bank. Itu pun sebagian bank-bank papan bawah, seperti Bank Tani Nasional, Bank Tabungan Pensiun Nasional, dan Bank Bumi Arta Indonesia. Lantas, ke mana Bank Danamon dan Lippo, yang namanya kini berkibar-kibar di pasar modal? Entahlah. Pertanyaan serupa juga muncul di benak seorang pengusaha, yang mendapat penghargaan karena membayar PPh pribadi Rp 300 juta. Ia bingung, karena belum semua konglomerat masuk sebagai pembayar PPh terbesar. "Mana itu orang-orang Kadin seperti Sukamdani? Saya juga heran kenapa konglomerat seper- ti Dharmala tidak masuk," ujarnya. Tak kalah menarik, dari 200 pembayar PPh Badan ini, muncul perusahaan dari industri pers. Kalau yang masuk seperti PT Kompas Media Nusantara (di peringkat 32), dan PT Gramedia, tentu bukan kejutan. Memang dialah yang terbesar. Tapi kalau yang masuk PT Djawa Post (di peringkat 168), wah, ini sedikit istimewa. Koran Jawa Pos yang terbit di Surabaya, pada tahun 1982 hampir mati -- dengan oplah yang hanya 6.700 eksemplar. Setelah diambil alih oleh PT Grafiti Pers, oplahnya melesat. Tanpa gembar-gembor, pada 1988 ia mampu menyetor PPh Rp 1,5 milyar, dari laba sekitar Rp 4,3 milyar. "Modal kami hanyalah kerja keras," kata Dahlan Iskan, pemimpin umum koran itu, merendah. Sesudah membagi-bagi piagam penghargaan, pemerintah punya janji lain. "Saudara bukan hanya sekadar diakui sebagai pembayar pajak terbesar," kata Menkeu J.B. Sumarlin. Tapi, mereka juga akan mendapatkan prioritas dalam urusan restitusi. Dan juga, 200 perusahaan pembayar pajak terbesar itu, tidak akan terlalu ketat diawasi. Bravo! Budi Kusumah, Y. Soeryoatmodjo, Bambang Aji, Jalil Hakim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus