Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tinjau Ulang Kebijakan Pindah Ibu Kota

Pemerintah diminta berfokus menangani pandemi.

10 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembangunan jalan tol Balikpapan-Samarinda di Kabupaten Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan, Agustus 2019. REUTERS/Willy Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk menunda pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur mendapat dukungan dari berbagai pihak. Penanganan kesehatan masyarakat dianggap lebih prioritas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilihat dari sisi anggaran, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyatakan keputusan pemerintah tepat. Pemindahan ibu kota negara membutuhkan dana hingga Rp 466 triliun. Meski Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya menanggung 19 persen dari totalnya, alokasi dana untuk proyek tersebut akan membebani negara yang sedang berfokus pada penanganan Covid-19.

Tahun ini saja, pemerintah melebarkan defisit APBN hingga 5,07 persen. Angkanya diperkirakan bertambah menjadi 6,3 persen pada akhir tahun nanti. Sementara itu, pada 2021, defisit APBN telah dipatok sebesar 5,5 persen dan secara bertahap turun menjadi 2,7 persen pada 2023. “Jika ditambah program ibu kota negara, pelebaran defisit akan terlalu besar dan dikhawatirkan sulit kembali ke kisaran 3 persen,” kata Faisal.

Selain mempertimbangkan alokasi, pemerintah harus memperhatikan penyerapan anggaran jika program ibu kota baru dilanjutkan di tengah pandemi. Faisal khawatir beban eksekusi anggaran semakin berat. Pasalnya, penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 masih lambat.

Faisal mengatakan pemerintah sebaiknya tidak memecah fokus terhadap penanganan Covid-19 saat angka kasus masih terus melonjak. Pemulihan ekonomi, menurut dia, sangat bergantung pada keberhasilan penanganan Covid-19.

Penundaan pemindahan ibu kota negara dipastikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa. Dia menyatakan pandemi mengubah kondisi perekonomian Indonesia sehingga proyek harus ditunda. Untuk sementara, pemerintah memfokuskan diri pada penanganan Covid-19. “Namun pekerjaan esensial, seperti master plan, detail plan, dan pekerjaan infrastruktur dasar yang bakal menopang ibu kota negara, tetap dilanjutkan,” kata dia.

Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Totok Lusida, juga menyatakan dukungannya terhadap penundaan pemindahan ibu kota negara. “Sebelum Covid-19 sebenarnya kami sudah minta ditunda karena waktu itu properti cenderung sepi,” ujar dia. Setelah ada wabah Covid-19, pengusaha masih berfokus bertahan dari pandemi.

Anggota REI sebelumnya berencana menanamkan investasi di ibu kota baru. Tak tanggung, dana sekitar Rp 1.000 triliun siap digelontorkan untuk menggarap sektor properti di lokasi ibu kota baru. Mereka menilai proyek ini menjanjikan, lantaran tanah telah disiapkan pemerintah sehingga dananya dapat dimanfaatkan untuk membangun prasarana, seperti kawasan hunian dan rumah sakit.

Totok menyatakan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa sempat bertemu dengan anggota REI untuk membahas kerja sama pembangunan di ibu kota baru. Komunikasi kembali terjadi sekitar Mei lalu, tapi kemudian belum ada kepastian lagi. “Kami pikirkan survive dulu,” kata dia.

Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Zenzi Suhadi, menyatakan penundaan ini dapat menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk meninjau ulang programnya. “Untuk memikirkan kewajibannya terlebih dulu menyelamatkan Jakarta,” ujar dia.

Salah satu alasan pemerintah memindahkan ibu kota ialah kondisi muka air tanah di Jakarta wilayah utara. Permukaannya turun 7,5-10 sentimeter per tahun. Menurut Zenzi, pemerintah seharusnya mengatasi permasalahan ini sebelum mencari tempat baru.

Dia juga sempat menyoroti kajian Bappenas mengenai daya dukung alam ibu kota negara di dua kabupaten di Kalimantan Timur, yaitu Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara, dengan luas mencapai hampir 190 ribu hektare. Menurut dia, kajian tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan. “Beban lingkungan Kalimantan Timur juga sudah berat,” ucap dia.

Salah satu poinnya adalah kriteria tahan bencana di Kalimantan Timur. Menurut Zenzi, provinsi tersebut masih rentan terhadap gempa dan bencana hidrologi, seperti tsunami dan kekurangan air. Belum termasuk kabut asap saat musim kemarau.

YOHANES PASKALIS | VINDRY FLORENTIN


18

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus