KALAU harga beras yang cenderung naik tidak sampai dipersoalkan, ini bukanlah berarti bahwa sektor pangan itu gemah ripah kondisinya. Dalam sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin Rabu pekan lalu, Presiden Soeharto mene~gaskan perlunya peningkatan diversifikasi pangan, disamping mengingatkan adanya peningkatan konsumsi beras per kapita (TEMPO, 4 Juni 1988). Sebagai orang yang paham sekali seluk-beluk perberasan, Pak Harto berpendapat bahwa ancar-ancar pengadaan dan produksi beras di masa yang akan datang sudah harus ditetapkan dari sekarang. Untuk Indonesia, yang berpenduduk 170 juta jiwa lebih, pengadaan pangan - kendati sudah berswasembada beras - tetaplah harus dipentingkan. Karena itu, tidak ada salahnya bila lebih dulu melongok stok beras di berbagai penjuru. Depot Logistik (Dolog) Jawa Timur, misalnya, sampai awal Juni lalu sempat menampung hampir 290 ribu ton beras. Padahal, sebelumnya diperkirakan, depot itu cuma bisa mengumpulkan 137 ribu ton. Prestasi? Ternyata, tidak bisa dikatakan begitu. Jika hasil penampungan yang 137 ribu ton itu dibandingkan dengan kapasitas pengadaan beras 1988-89, yang diperkirakan mencapai 700 ribu ton, nah, Anda tentu geleng-geleng kepala. Lho, mengapa cuma sekian? Memang, sumber TEMPO di Dolog tersebut bersikeras menyatakan, "Kami tetap mengusahakannya, minimal 550 ribu ton bisa tercapai." Namun, satu hal pasti: ada yang tidak lancar dalam urusan stok beras. Memang, panen raya belum berakhir, karena tertunda dua bulan - biasanya akhir Januari atau Februari. Kini coba kita lihat berbagai daerah penghasil beras, dari Ja-Bar hingga Ja-Tim. Di Karawang misalnya, onggokan padi berjejer di pinggir jalan, bak serentetan bukit kecil. Tapi Jika pandangan dialihkan ke petak-petak sawah, padi yang mulai menguning hampir-hampir lak ada lagi. Di Bali, yang terkenal dengan sistem pengairan subaknya, ~sayup-sayup masih umpak sawah menguning, sementara sudah .~da petak-petak yang baru saja ditanami. ~Menurut Kepala Dolog Bali, Soetopo, panen raya baru mulai bulan Juni ini. Ia yakin, pengadaan beras di sana aman. Perkara harga, itu soal lain. Bulan Mei lalu, Dolog Bali, yang berani membeli beras sampai Rp 36,00 di atas harga dasar (Rp 344,00 per kg), tak bisa bersaing dengan pedagang. Saat itu harga di pasaran Rp 400,00. "Kita ini 'kan bukan pedagang swasta, yang bisa membeli tinggi atau rendah sesuai dengan pasaran," ujar Soetopo, yang gemar olah raga bela diri itu, kepada Djoko Daryanto dari TEMPO. Gambaran seperti itu juga terjadi di Dolog daerah lain, seperti Ja-Teng, Ja-Bar, Sumatera Utara. Dolog, sebagai aparat Bulog, membeli dari KUD atau pedagang. Sedangkan KUD memperoleh gabah dari petani. Kini KUD rupanya tak banyak bisa berbuat, kendati masih bisa membeli di atas harga dasar gabah kering giling yang Rp 210,00 per kg itu (harga beras Cianjur di Jakarta sekarang: Rp 570,00 per kg, harga beras Pandanwangi yang tertinggi: Rp 900,00 per kg). Apa yang terjadi? Tersebutlah Maulana Sitepu, 30 tahun, seorang petani dari Desa Tanjung Mulia, Deli Serdang, Sum-Ut. Ia lebih suka menjual panenannya ke tengkulak dari Binjai terletak sekitar 50 km dari desanya ketimbang menjual ke KUD. Hasil panennya Mei yang baru lalu dihargai tengkulak Rp 250,00 sampai Rp 260,00 per kg. Tentu saja dia kontan berpaling dari KUD. Bukan saja transaksi dengan tengkulak lebih menguntungkan, menjual ke KUD sungguh sangat merepotkan. "Kita masih dibebani macam-macam persyaratan, seperti kadar air, butir patah,"ujar Sitepu terus-terang. Tampaknya, kaum petani kian pintar memilih. Dan tidak cuma itu. Di sekitar Kebumen, Purworejo, dan Cilacap (laTeng), lalu di sekitar Indramayu (Ja-Bar), dan juga di Kabupaten Karo serta Kabupaten Simalungun (Sum-Ut), ada sejumlah petani yang mencoba pola tanam gaya baru. Sawah mereka isinya bukan semata-mata rumpun padi - yang mengandung janji harapan Ibu Pertiwi, seperti tertera dalam lirik lagu ciptaan Liberti Manik nan syahdu itu. Akan tetapi, tempat yang dulu padinya kelihatan hijau beriak-riak, kini justru lebih banyak ditumbuhi pohon jeruk. Pemandangan ini dalam beberapa tahun mendatan~ salah-salah bisa berubah secara total. Jangan heran, karena sekarang saja jenis jeruk yang ditanam sudah aneka rupa. Ada jeruk Siam, Cina Licin, Siam-Mesir, Eter, dan ~acencia Lokal - terakhir ini sejenis sunkist tapi warna kulitnya hijau. Apakah kelak pemandangan di Indramayu akan mirip California, AS? Mungkin saja. Awal Maret lampau, Dinas Pertanian di sana mencatat bahwa ada seluas 4.000 hektar sawah d~ Kecamatan Juntinyuat yang ditanami pohon jeruk. Dulu, sewaktu masih ditanami padi, hasilnya per hektar Rp 2 juta, kini dengan jeruk, hasil per hektar melonjak lima kali lipat, menjadi Rp 10 juta. Jelas, orientasi petani sudah berubah. Mereka tidak lagi sepenuhnya mengandalkan padi, tapi mulai beralih ke jeruk, yang pasti jauh lebih menguntungkan. Konsekuensinya, produksi berasnya turun, mungkin cuma cukup untuk kebutuhan keluarga saja. Hal itu cepat atau lambat bisa merontokkan swasembada beras, yang menuntut kenaikan volume produksi seiring dengan pertumbuhan penduduk maupun kenaikan tingkat konsumsi. "Ya, memang. Kalau terlalu luas, mengganggu juga" kata Mentan Wardoyo, hati-hati. Sekalipun begitu, tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan. Seperti kata Wardoyo, setelah jeruk dipanen tiga empat kali, tanamannya akan mati. "Milie~ atau tanahnya tidak cocok," ujar Menteri. "Sawah 'kan ada lapisan kedapnya. Kalau akar jeruk sudah mencapai lapisan kedap itu, pertumbuhannya bakal jelek dan akhirnya mati." Di samping jeruk, gangguan lain juga muncul dari penyusutan lahan sawah yang, menurut Dirjen Pertanian Tanaman Pangan Muin Pabinru, rata-rata - antara 1981 dan 1986 - per tahunnya 38 ~ribu hektar. Sedangkan pencetakan sawah baru, dalam kurun yang sama, cuma 32 ribu hektar. Karena itulah, menurut Muin, untuk mempertahankan swasembada, harus melalui intensifikasi. "Peluang meningkatkan produktivitas itu masih besar," katanya yakin. Angka perkembangan realisasi dan rencana areal tanam usaha intensifikasi adalah dua hal yang berperan dalam hal ini. Untuk tahun 1988, areal suprainsus, yang bisa menghasilkan 4,3 ton setara beras, ada seluas 1,2 juta hektar. Sedangkan areal insus sekitar 5 juta hektar, areal intensifikasi umum sekitar 2,7 juta hektar. Dengan peta areal seperti itulah produksi beras Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai 28,9 juta ton. Itu meningkat dari perkiraan semula yang 28,3 juta ton. Tidak aneh, karena, menurut Wardoyo, dalam beberapa tahun ini antara angka sementara produksi dan angka tetap terdapat perbedaan sekitar 3,4~ %. Tapi sejak tahun 1985, perbedaan itu menipis sekitar 2,9%. "Dengan perbedaan seperti itu, kita akan bisa mencapai 28,9 juta ton," tytur Wardoyo. Bahkan tahun depan, peningkatan produksi beras akan dipacu 4%, menjadi sekitar 30,1 juta. Caranya? Areal intensifikasi ditingkatkan. Rincian rencananya, menurut Muin Pabinru, sebagai berikut: hampir 1,8 juta hektar areal suprainsus, sekitar 5,2 juta hektar areal msus, dan 2,3 juta hektar areal intensifikasi umum - total areal 9,3 juta hektar. Tapi itu baru rencana. Dalam realisasinya kelak, diharapkan tidak sampai memaksa petani. Ini dikatakan staf Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan di Universitas Gadjah Mada, Dr. Gunawan Sumodiningrat. "Sebaiknya, terlebih dulu dikaji, siapa yang paling banyak menarik keuntungan dari swasembada beras," katanya pcnuh selidik. Di samping itu, kalau dorongan swasembada muncul bukan dari produscn atau petani, maka haruskah ia dipertahankan ? Gunawan berpendapat, swasembada membutuhkan biaya inggi. Salah satu akibatnya, nilai tukarnya jadi rendah. Dan gejala seperti itu sudah tampak sekarang. "Swasembada itu akan terjadi sendiri jika dorongan muncul dari produsen," ucapnya serius. Tapi Gunawan tidak mengingkari bahwa swasembada itu memang penting. Sebab, swasernbada membebaskan kita dari ketergantungan pada pihak luar. Prof. Dr. Sayogyo, Ketua Progrm Studi Kejuruan Sl di Fakultas Sosial Ekonomi Pertanian IPB Bogor, berpendapat demikian juga. "Swasembada beras tetap masih perlu," katanya. Ia memberi contoh bagaimana pada tahun 1973 Indonesia sempat impor sampai 1,3 juta ton, sementara produksi dalam negeri kurang dari satu juta ton. Sedangkan persediaan beras dunia saat itu cuma 5 juta ton. Dalam keadaan seperti itu, "kita bisa diatur dan ditekan oleh importir, yang mungkin ditunggangi kepentingan politik yang besar," tuturnya. Tapi bila tak impor, mimpi buruk masa Orde Lama muncul lagi. Waktu itu harga beras membubung, antre di mana-mana, dan ancaman kelaparan kongkret sekali adanya. Tak salah bila swasembada menjadi tekad dan keharusan. Dalam GBHN pun jelas swasembaa itu diteruskan. Dengan kata lain, Indonesia tidak akan impor beras (lihat S~asembada, Ya . . .). Di sisi lain, swasembada juga meningkatkan kesejahteraan petani. "Pemerintah harus memberi contoh dan memperketat penggunaan sawah kelas satu. Jangan sampai, misalnya, dijual kemudian untuk lahan industri," pesan Sayogyo. Tidak kurang penting adalah swasembada pangan. Diberinya contoh, Nusa Tenggara Timur, yang penduduknya dulu biasa makan jagung, sebaiknya jangan diarahkan untuk makan beras. "Seharusnya di sana swasembada jagung," tambah Sayogyo. Dengan demikian, diversifikasi pangan tak akan terlalu merepotkan. Juga tak perlu kampanye yang berkesan membodohi, seolah-olah ada jenis makanan lain yang bernilai gizi tinggi. Apalagi, seperti dikatakan Wardoyo, "Kita secara umum 'kan masih menganggap bahwa makanan seperti singkong dan ub~i Jalar mutunya rendah ketimbang beras." Lagi pula, kalau penduduk mampu beli beras - biarpun ada kampanye diversifikasi - tentu yang dibelinya, ya, beras juga. Dan kebutuhan seperti ini bisa ditunjang oleh swasembada, terutama pada 1985, tatkala stok beras di Bulog melimpah. Daerah-daerah yang minus beras dikirimi, sehingga masyarakat mendapat peluang untuk belajar kenal dengan nasi. Dalam waktu singkat mereka pun tahu, nasi itu nikmat sekali. Wajar bila kemudian konsumsi beras meningkat terus. Menutu Soetjipto Wirosardjono, Wakil Ketua Biro Pusat Statistik, konsumsi itu beranjak dari 21,95 juta ton pada 1986 (131,8 kg per kapita) menjadi 22,59 juta ton tahun lalu (132,7 kg per kapita). Dan tingkat konsumsi itu akan naik terus. Gejala ini terutama bisa dilihat pada golongan ekonomi lemah, buruh kasar bangunan, misalnya. Karena tingkat konsumsi menanjak, produksi beras pun harus mengimbangi gerak ke atas itu. Tapi, kata Soetjipto, keseimbangan ini masih mengandung problema, karena belum menggambarkan keseimbangan di daerah-daerah. Ada yang minus, ada yang surplus. Disusul dengan masalah alokasinya. Belum soal daya beli dan pengadaan bahan pangan lainnya. "Tanpa memperhatlkan itu, swasembada pangan tak terjamin, dalam pengertian, rawan pangan di suatu daerah bisa saja terjadi," ujarnya. Jelas, yang seperti itu tak dikehendaki pemerintah. Maka, pelestarian swasembada yang dimulai pada 1984 itu diupayakan sekuat tenaga. Stok beras di gudang-gudang Bulog disorot, karena lembaga itu ditugasi menstabilkan harga di tingkat petani maupun konsumen. Stok itu pula yang menjadi bahan spekulasi para pedagang. Seperti pada panen raya bulan-bulan lalu, harga beras di tingkat petani lambat turunnya, tak seperti pada panen raya dalam kurun 3 tahun sebelumnya. Kendati pengadaan Bulog, seperti dikatakan Dirjen Pertanian Tanaman Pangan Muin Pabinru, sampai dengan 21 Mei lalu mencapai 825 ribu ton setara beras. Itu hampir sama dengan jumlah pengadaan tahun lalu, pada kurun waktu sama, yang mencapai 837 ribu ton. Sementara itu, pengadaan tahun ini diperkirakan sekitar 2 juta ton. Berarti masih 1.175 ribu ton lagi yang harus dikumpulkan Bulog. Dan Wardoyo sudah mengatakan, agar stok menjelang akhir Maret 1989 tidak kurang dari 800 ribu ton. Tapi Soetjipto berpendapat, masih perlu diingat bahwa ada stok di tempat lain, di samping simpanan Bulog. Memang, Bulog per tahunnya cuma menyerap beras nasional tak sampai 10% dari produksi nasional. Sementara itu, stok lainnya yang besar justru berada di masyarakat dan pedagang. Adalah stok di masyarakat itu yang sulit ditakar jumlahnya. Bahwa Bulog agak sulit mengumpulkan beras - meski kini sedang panen raya dan Bulog membeli di atas harga dasar - hal itu membersitkan kesan tentang produksi nasional yang rawan. Setidaknya diragukan potensinya. Walaupun angka BPS (Biro Pusat Statistik) sudah bicara tentang adanya peningkatan produksi. Lantas kekhawatiran terancamnya swasembada beras tak terlepas dari fakta yang menyangkut keseimbangan antara tingkat konsumsi dan tingkat produksi. Menurut Soetjipto, konsumsi itu bisa mengecoh. Katanya, di masyarakat yang kian modern ini, banyak konsumsi beras yang dimakan di luar rumah tangga. Misalnya makan siang di warung atau restoran, yang sama sekah dl luar pengecekan BPS. Sementara itu, studi yang dilakukan BPS mencerminkan kebutuhan beras di lingkungan rumah tangga saja. Bertolak dari sini, sudah bisa ditebak tentang produksi yang mungkin tidak mencukupi. "Padahal, selama beberapa tahun berturut-turut, produksi kita selalu surplus," kata Soetjipto. Tapi kini stok beras di gudang Bulog jauh dari menggembirakan. Kalau begitu, bagaimana harus memantau adanya surplus beras? Baru belakangan BPS melakukan pendataan stok di rumah tangga dan pedagang. Hasilnya? "A~ngka kongkret belum ada," katanya. Diperkirakan, stok 1987 di rumah tangga mencakup kebutuhan tiga bulan, sekitar 5,8 juta ton. Sedangkan stok di pedagang 2,5 juta ton. Jangan lupa, angka-angka itu diukir oleh jerih payah petani yang mencangkul di sawah. Lihatlah nasib Sayuti di Desa Paya Kasih, Langkat, Sumatera Utara, yang menggantungkan hidupnya hanya dari bertani. Sesudah 15 tahun bergelimang lumpur, ia baru punya televisi hitam putih, yang biasa dikerubuti tetangganya sepanjang jam siaran. Harta lainnya cuma sepeda butut, yang dipakai ke mana-mana, termasuk menghadiri kondangan. "Bisa makan sehari-hari dan menyekolahkan anak, sudah syukur," katanya~ tabah, merendah. Ia tak khawatir. Apalagi kalau ia mendengar Menteri Pertanian, yang menyatakan bahwa peningkatan produksi beras - dalam upaya pelestarian swasembada - itu juga berarti meningkatkan penghas~lan petani. Suhardjo Hs., Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini